Sederhana namun menyentuh hati. Kira-kira kalimat itu lah yang mampu menggambarkan Mbah Kancil (Ismail Basbeth, 2020) yang berhasil mengemas sepenggal kisah hidup dari mantan seorang penari dengan ciamik. Dalam 8 menit, film ini menyorot Mbah Kancil yang menceritakan masa mudanya sewaktu menggeluti dunia seni pertunjukan. Mbah Kancil yang berusia 80 tahun ini membagikan kisah perjalanannya ketika pentas ke Jakarta bersama dengan kelompok Dagelan Pete pada tahun 1960-an.
Lantas, apa yang membuatnya menyentuh hati?
Berkenaan dengan judulnya, mulai dari menit pertama hingga penghujung film, Mbah Kancil (2020) hanya menampilkan sosok Mbah Kancil itu sendiri yang membagikan sedikit dari kisah hidupnya dengan menggunakan bahasa Jawa. Mantan penggelut seni pertunjukan ini menceritakan masa mudanya sebagai seorang penari dan komedian sebagai wujud refleksi kehidupan dan pemenuhan keinginan terakhir. Di samping itu, wanita tangguh ini dengan bangga bercerita bahwa suaminya juga berprofesi sebagai komedian yang selalu disambut penonton dengan gempita setiap muncul di panggung.
Mbah Kancil mengaku kerap kali diundang untuk berpentas di Senayan, Jakarta bersama dengan kelompok Dagelan Pete. Amplop berisi uang, macam-macam hadiah, hingga cipika-cipiki dari penonton selalu datang menyambut penari asal Malang, Jawa Timur ini ketika telah berhasil menyelesaikan pertunjukannya. Karena terlalu sering dicipika-cipiki, Mbah Kancil bercerita bahwa pipinya sampai kempot.
Beliau juga mengingat kembali keseruannya saat mengeksplor daerah Blok M, Jakarta bersama kelompok Dagelan Pete. Seluruh anggota dari kelompok tersebut sudah menutup usia mereka. Hal ini lah yang menimbulkan kegelisahan yang dialami Mbah Kancil. Beliau merasa sudah tidak layak untuk bertahan hidup dengan usianya yang sudah tua. Dagelan Pete, namamu abadi!
Para lanjut usia (lansia) sepatutnya menikmati hidup mereka dengan tenang dan damai tanpa memikirkan beban yang harus dipikulnya. Namun tak jarang justru di usia senja malah menimbulkan ketakutan dan kegelisahan yang membuat hidup tidak lagi tenang. Mereka yang telah ditinggal oleh pasangan, teman sebaya atau keluarga akan menunjukkan tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dan tidak lagi dapat menikmati hidup.
Film ini menekankan bagaimana Mbah Kancil menunggu penjemput waktu karena beliau gelisah dengan kesendiriannya.Kegelisahan tersebut didukung oleh orang-orang terdekatnya yang sudah berputih tulang. Hal ini dibuktikan pula dengan sindhenan di akhir film oleh Mbah Kancil yang di akhir liriknya berbunyi “aku ngalamun sesok aku mati.” Yang berarti Mbah Kancil melamun dan berpikir bahwa besok akan tutup usia. Sungguh memilukan.
Dengan mempertontonkan kejujuran dan kemurnian Mbah Kancil dalam bercerita, film ini mampu menghidupi kembali kisahnya yang tak terlupakan bersama Dagelan Pete dan keinginannya di usia senjanya sehingga para penonton dapat ikut serta merasakan apa yang dirasakan Mbah Kancil. Selain dari cerita yang keluar dari mulut Mbah Kancil langsung, ketulenan dalam film ini juga didukung oleh pakaian lusuh yang dikenakan Mbah Kancil dengan latar belakang bangunan yang terbuat dari seng dan rotan.
Ismail Basbeth memang tidak pernah main-main dalam membuat karya, semuanya dipikirkan dengan matang hingga tersampaikan dengan baik ke dalam dekapan mata yang kemudian berhasil menyambat ke perasaan penonton. Sejumlah karyanya pun berhasil lolos seleksi dalam sederet festival film. Sebut saja Shelter (2011), Ritual (2012), 400 words (2013), dan masih banyak lagi. Namun, yang membedakan Mbah Kancil (2020) dengan karya yang lainnya adalah film ini menyajikan kisah menyentuh sosok seorang penari lansia yang murni dikemudikan langsung oleh sosok tersebut.
Mbah Kancil (Ismail Basbeth, 2020) berhasil mengemas kisah hidup seorang penari tangguh dengan singkat, tepat, jelas dan menyentuh hati.
Mbah Kancil (2019) merupakan bagian dari program Lanskap FFD 2020. Kamu bisa tonton filmnya secara gratis di sini.
Penulis: Tirza Kanya Bestari