Cerita Setelah Perang: Letters to Buriram (2019)

— Ulasan Film
FFD 2020

Letters To Buriram (2019), film garapan Minwook Oh mengajak kita untuk mengamati narasi setelah perang. Melalui pembacaan surat yang tidak pernah sampai, hingga patung-patung dewa berseragam militer. berbagai peristiwa dalam film ini, mendorong kita untuk berimajinasi tentang Perang Asia Pasifik, di luar sejarah umum. 

Selain tulisan, narasi perang juga dikisahkan oleh berbagai bangunan kota. Misalnya saja gedung tinggi di tengah kota, yang jika dilihat dari sisi berbeda, akan kontras dengan pesisir pantai. Namun, ketika mendekati gedung lalu menerobos hingga ke tanah, kita akan menemui jejak jalur bawah tanah yang digunakan saat perang.    

Seluruh potongan dan susunan peristiwa film Letters to Buriram (2019), sebenarnya membawa kita pada sudut pandang Minwook melihat perang, korban, dan narasi sejarah mengenai Perang Asia Pasifik secara umum. Ia melakukan berbagai eksperimen sinematik dalam film ini. Mulai dari pergerakan kamera yang seperti hantu di lorong bawah tanah, jukstaposisi gambar dan suara sebagai pembangun konflik, hingga metafora dari kerinduan seorang anak pada ibunya.

Salah satu metode yang digunakan Minwook adalah meletakkan emosi film melalui gambar dan suara yang dijukstaposisikan. Konflik ia tampilkan dalam peristiwa yang kontras. Misalnya saja di salah satu rangkaian peristiwa yang menggambarkan Jepang. Kerumunan orang dan kota yang ramai kemudian disambungkan dengan peristiwa demo menuntut kaisar Jepang, dan seorang wisatawan yang memanjat patung Hachiko. Di menit yang lain Minwook menghadirkan Jepang dalam nuansa damai. Selayaknya Jepang dalam pandangan umum. Jepang yang memiliki komplek pemakaman yang rapi dan taman yang mengusung estetika Zen. Melalui teknik yang demikian, Minwook berusaha untuk menjelaskan posisinya dalam membaca ulang arsip sejarah. Lebih spesifik sejarah perang yang melibatkan Korea, Taiwan, China dan Jepang.

Sejarah yang banyak menggunakan sudut pandang militer dipertanyakan ulang oleh Minwook. Namun, treatment dokumenter dalam film ini tidak ditempatkannya sebagai media advokasi. Dyna Herlina dalam liputan diskusi Nggaer Film, Njogo Kampung tahun 2016 menjelaskan bahwa film advokasi adalah alat untuk membicarakan isu dengan sudut pandang analisis pembuatnya, yang memiliki tujuan untuk kampanye. Maksudnya, mengarahkan penonton untuk ‘bersikap’. Ia membebaskan penontonnya.

Sebagai penonton saya merasakan bahwa beberapa penjelasan subyek memang tampak ‘keras’ menunjukkan posisi pembuat. Seperti lautan yang menampung banyak para korban perang, dirangkai dengan tuturan subyek mengenai Manusia adalah korban dalam peperangan (Oh, 2019).

Selain mempertanyakan sejarah utama, saya menangkap bahwa posisi Minwook juga melakukan kritik terhadap hasrat menguasai. Entah yang dibungkus dalam narasi agama, kebudayaan atau kenegaraan.

Seluruh jahitan peristiwa dalam Letter To Buriram (2019), seolah berujung pada sebuah pertanyaan. ‘apakah cerita mengenai perang selalu tampak menegangkan seperti saat kita melihat kelompok militer latihan menembak dan baris berbaris?’.

 

Film Letter To Buriram (2019) merupakan salah satu bagian dari program Perspektif. Tonton filmnya secara gratis di sini.

 

 

Penulis: Annisa Rachmatika