A New Era (2019): Kota Dibangun untuk Siapa?

— Ulasan Film
FFD 2020

Mereka bersenjata dan kami tidak, kita melakukan apapun untuk melindungi diri!”

Para petani Guangzhou biasa menyirami tanaman pukul tiga pagi. Tapi malam itu hujan turun deras. Salah seorang petani korban penggusuran terbangun dan heran saat anjingnya tak henti menggonggong kencang. Empat orang aparat sedang berjaga di depan huniannya.

“Kalian lebih baik pergi. Kalian tidak diterima!” teriaknya tak kalah lantang dengan gonggongan anjingnya.

Aparat bersenjata lengkap itu tak menggubrisnya. Ia tak tahan terus-terusan diawasi seperti itu. Akhirnya ia melempar seember kotoran ke arah aparat. Mereka lari dan tidak berani datang lagi.

Tindakan itu bukan tanpa alasan. Ia adalah salah satu dari segelintir penduduk yang bertahan di tengah proyek pembangunan kota. Hidup mereka terkatung-katung selama sekitar 12 tahun tanpa uang kompensasi yang cukup. Hari-hari mereka diawasi oleh para aparat yang berjaga. Pengusiran dan tindakan sewenang-wenang bisa terjadi kapan saja.

Di tengah reruntuhan sisa penggusuran, mereka hidup seadanya. Satu petak rumah ditempati lima orang.  Tak ada penghasilan. Mereka hanya menanam untuk makan. Satu-satunya yang mampu dipertahankan adalah tanah leluhur mereka. Meski lahan menyempit, di sanalah buah dan sayuran mereka tumbuh. Mereka kukuh kembali menempati bangunan itu. Bagi mereka itulah satu-satunya tempat; di sana tersimpan banyak memori dari para leluhur.

Perjuangan penduduk desa Guangzhou itulah yang diangkat oleh Boris Svartzman dalam film A New Era (Boris Svartzman, 2019). Secara bertahap kita dapat melihat dari sisi paling dekat bagaimana penduduk setempat membangun dan memelihara kembali hak-hak hidup mereka. Svartzman menggarap dokumenter ini selama lebih dari tujuh tahun. Di sini ia memberi gambaran langsung atas omong kosong konstruksi megacity dan taman ekologis yang justru merampas ruang hidup 2000 penduduk desa dekat sungai Canton, Cina Selatan. Menonton dokumenter ini barangkali membuat kita bertanya; pembangunan kota untuk siapa?

Pemerintah menggelontorkan empat juta yuan demi pembangunan itu. Mantan perdana menteri pada masa pemerintahan Wen Jiaobao pada saat itu telah mengatakan bahwa tak seorang pun dapat mengambil alih tanah petani. Tapi akhirnya tanah itu diambil juga.

Pada 28 Desember 2008 para petani kembali digusur paksa dengan justifikasi izin bangunan yang tak legal. Kini hanya tersisa puing-puing, berdampingan dengan 104 rumah diaspora yang masih berdiri.  Mereka terpaksa tanda tangan dan diberi tempat relokasi. Toh, setuju atau tidak, rumah mereka tetap akan dirobohkan oleh ribuan polisi yang datang. Sekarang mereka meyakini relokasi itu tidak nyata. Kata itu sama saja artinya dengan penghancuran rumah.

Film A New Era (Boris Svartzman, 2019) ini membingkai dari sudut pandang yang selama ini tak dilirik media. Media-media setempat jarang menyentuh permasalahan di akar rumput. Padahal kisah penggusuran semacam ini lazim di Tiongkok. Lima juta petani tergusur tiap tahunnya untuk proyek urbanisasi berdalih taman ekologis. Terkait hal itu salah seorang narasumber dalam film ini mengatakan, “Kami para penduduk tidak tahu apa yang mereka bicarakan.”

Keluhan sudah beberapa kali dilayangkan pada pihak berwenang. Tapi itu tak menghasilkan apapun. Sebanyak 200 penduduk korban penggusuran tak mendapat ganti rugi. Diantaranya tak memiliki atap karena tak mampu membayar apartemen yang disediakan. Mereka menjadi petani tanpa lahan. Tanah berbatu digarap seadanya.

Bahkan di awal penggusuran tujuh orang dikriminalisasi saat bentrok dengan aparat. Salah seorang korban represi aparat dipukul tongkat besi dan tongkat listrik hingga gegar otak. Ia dirawat di rumah sakit selama sembilan bulan.

Di tengah persoalan ini, konflik horizontal juga tak dapat dihindari. Kata salah seorang narasumber dalam film, ini adalah bagian dari politik pecah belah. Svartzman juga memotret momen ketika warga desa beradu mulut dengan kepala desa. Mereka berpikir kepala desa terlibat dalam penggusuran tersebut.

Still Film A New Era

Walaupun hanya menampilkan persoalan dari satu sisi, Svartzman mampu menyuarakan semua keluhan serta praktik ilegal itu dalam film ini secara lengkap. Konsekuensi dari penggusuran paksa ini tak hanya berimbas pada ekonomi dan ekologi sekitarnya. Hal ini pun menyentuh pada kehidupan sosial masyarakat. Awalnya mereka adalah sebuah desa yang memiliki budaya yang dijalani bertahun-tahun. Melalui seorang tokoh perempuan yang disorot di pembuka film, kita dapat menyaksikan betapa penggusuran tersebut tidak hanya sebatas perampasan pada tanah, tetapi juga ruang-ruang sosial yang selama ini terikat di kehidupan penduduk desa Guangzhou. Mereka memiliki keterikatan terhadap seluruh aspek yang menunjang kehidupan mereka di sana. Perempuan itu mengisahkan bagaimana setiap sudut desanya memiliki kenangan yang berarti. Svartzman mengikutinya berjalan menyusuri sisa reruntuhan rumahnya. Ia menunjukkan lokasi dimana ia dan keluarganya tidur, ruangan tempat warga desa biasa menonton opera bersama, hingga lemari obat-obatan tradisional yang kini terbengkalai. Sesekali ia berhenti, matanya menembus hamparan bangunan roboh. Semuanya hilang, hanya tersisa rumput liar.

Beberapa tahun setelahnya sutradara yang memiliki gelar dalam Bahasa Cina dan Sosiologi ini kembali ke lokasi penggusuran itu. Ia kembali bertemu narasumber-narasumbernya. Saat itu mereka sedang mempersiapkan Festival Perahu Naga. Dengan ketidakpastian masa depan, mereka tetap menjalani keseharian seperti tahun-tahun sebelumnya. Meskipun di kanan-kiri berdiri gedung-gedung besar. Tak ada perubahan kecuali pembangunan kota yang kian masif.

“Kau pikir dapat bertahan lebih lama?” tanya Svartzman pada seorang petani.

“Aku tidak tahu. Kami terus berharap menemukan solusi, kami tidak punya kekuatan dibanding pemegang otoritas,” jawabnya sambil memanen tanaman yang ia tanam di lahan sisa penggusuran.

 

Film A New Era (2019) karya Boris Svartzman merupakan bagian dari rangkaian program Perspektif. Kamu bisa menonton film ini secara gratis di sini.

Penulis: Dina Tri Wijayanti