Glass (1958) garapan Bert Haanstra merekam aktivitas pekerja industri kaca di Belanda. Haanstra memperbandingkan dua peristiwa produksi perkakas kaca melalui konsep sinematografi, editing, dan dramatika film. Konsep tersebut digunakan untuk membangun representasi kelas yang banyak dibicarakan orang, yakni objektifikasi.
Obyektifikasi hadir ketika seseorang diperlakukan sebagai benda. Praktek ini menempatkan seorang tersebut untuk mengikuti segala arahan yang menguasainya. Ini kondisi yang tidak banyak berubah sejak kamera ditemukan.
Di awal penemuan, kamera menjadi barang mewah yang hanya dapat dimiliki oleh orang-orang kaya. Situasi tersebut mendorong kelahiran estetika visual—khususnya fotografi—yang mengarah pada capaian klasifikasi manusia berdasarkan ruang hidupnya. Dalam hal ini, manusia diposisikan sebagai benda yang mengikuti narasi pemegang kamera.
Saat saya mengikuti workshop Literasi Visual Arkademyproject pada 8 Agustus 2020, Kurniadi Widodo menjelaskan perbedaan pose antara kaum elit Eropa dan pekerja dari Afrika. Seorang dari bangsa Eropa selalu ditampilkan dalam gaya menawan dengan pakaian indah dan tertutup. Sedangkan foto pekerja dari Afrika hadir dalam penampakan tanpa busana, minim ekspresi, dan terkadang didekatkan dengan peristiwa brutal. Artinya, masalah objektifikasi berhulu pada siapa dan bagaimana pemegang kamera menggambarkan suobjebjek.
Saya pikir, Haanstra memahami betul konsep ini dan secara sadar menerapkannya dalam film Glass (1958). Ia menggunakan konsep tersebut untuk mendekonstruksi jurang kelas antar dua kelompok pekerja; pekerja yang membuat perkakas kaca secara manual dengan yang menggunakan mesin. Keduanya dipertunjukkan dalam ruang hidup yang berbeda. Pekerja manual hadir dalam kehidupan yang dikesankan mewah, indah dan menyenangkan. Selain itu, sinematografi Haanstra juga menunjukkan bahwa pekerja ini menghasilkan produk bercitarasa seni tinggi. Sebaliknya, ia menggambarkan ruang hidup pekerja yang menggunakan mesin, dalam nuansa monoton. Seolah mereka sedang dalam posisi yang terburu-buru dan tekanan. Lalu, mengenai produk botol kaca yang dihasilkan mereka, hadir sebagai benda tanpa nilai.
Persona mereka juga divisualisasikan sangat kontras. Pekerja di pabrik bermesin ditampakkan dalam rupa yang penuh peluh dan debu mesin. Sedangkan, pekerja di pabrik manual dihadirkan sebagai seorang yang rapi, bersih, dan cermat dalam membuat gelas kaca. Seolah bagikan seniman yang memiliki karya bernilai seni tinggi.
Di babak terakhir, Haanstra membalik logika dualisme pekerja itu. Ia menggunakan konsep objektifikasi untuk membicarakan hal di atas industri, yakni kuasa. Kuasa yang mengklasifikasikan nilai barang industri manual dan mesin, narasi tentang pekerja dan bahkan representasi visual mereka.
Ini tergambar baik ketika aktivitas tangan seorang pekerja bermesin, dilatari dengan musik yang bernuansa serupa dengan pekerja manual. Musik yang sebelumnya menjadi pembeda menjadi alat yang mengaburkan batas. Pengaburan ini semakin ditampakkan melalui montase peristiwa di pabrik botol dan pabrik gelas kristal—tempat kerja pekerja manual. Alih-alih membangun kesan menegangkan, montage ini malah menghasilkan irama komikal.
Bagi saya irama komikal ini menunjukkan posisi Haanstra sebagai pemegang kamera, yang memandang jurang kelas antara pekerja sebagai hal ‘lucu’.
Film Glass (1958) karya Bert Haanstra merupakan bagian dari rangkaian program Retrospektif. Kamu bisa menonton film ini secara gratis di sini
Penulis: Annisa Rachmatika Sari.