Selain memperkenalkan sebuah forum pencarian jodoh yang diselenggarakan di Yogyakarta, Golek Garwo (Wahyu Utami, 2020) juga mengulik kisah hidup dari salah satu pesertanya: Basri (62 tahun), seorang buruh yang berhasil mendapatkan istri melalui ajang tersebut. Dengan Golek Garwo (Wahyu Utami, 2020), penonton akan diperlihatkan bagaimana proses Basri mencari cintanya di usianya yang tua.
Apakah kalian setuju dengan kalimat “hidup tanpa cinta bagaikan sayur tak bergaram”?
Mungkin beberapa dari pembaca merasa sayur tanpa garam rasanya enak-enak saja. Namun, tentu ada juga yang beranggapan bahwa sayur tersebut akan terasa hambar, aneh, dan seperti ada yang kurang. Begitu pula dengan kehidupan Basri dalam Golek Garwo (2020) yang disutradarai Wahyu Utami ini. Di usianya yang ke-62 tahun, Basri hidup sendirian sehingga kerap kali ia merasa kesepian dan membutuhkan ‘teman’ untuk berbagi kisah.
Jalaluddin Rumi menyatakan bahwa cinta merupakan sumber segala sesuatu dimana dunia dan kehidupannya muncul karena kekuatan yang bernama cinta. Cinta adalah substansi dari segala bentuk kehidupan. Tak heran jika Basri sampai mencari cintanya melalui ajang Golek Garwo – forum yang memberikan fasilitas kepada mereka yang masih sendiri dan ingin mencari jodoh tanpa dipungut biaya.
Melalui Golek Garwo, Basri berhasil memikat Musiyem, wanita berusia 56 tahun yang suaminya meninggal akibat kecelakaan. Keduanya pun memutuskan untuk mengikuti acara nikah massal yang digelar di tepi Jalan Malioboro,Yogyakarta. Persiapan pernikahan yang digambarkan di film ini terbilang mudah. Peserta hanya perlu mendaftarkan dirinya melalui cap pos, melampirkan keterangan janda atau duda (apabila sudah pernah menikah), serta keterangan mengenai motivasi dan pengenalan diri. Selain memfasilitasi paket pernikahan, Golek Garwo juga menyuguhi paket bulan madu tanpa dipungut biaya.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Golek Garwo (2020) diawali dengan sorotan keinginan Basri yang ingin tinggal bersama seorang istri untuk menemaninya. Namun, setelah berhasil menikahi Musiyem, keinginan Basri untuk hidup bersama ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka harus mencari nafkah demi bertahan hidup di kampungnya masing-masing dengan jarak yang cukup jauh. Hal tersebut juga didukung oleh ketidakmampuan Basri mengendarai motor. Oleh karena latar belakang keadaan, mereka memutuskan untuk tinggal terpisah dan berkomunikasi melalui telepon setiap hari.
Ada hal yang memprihatinkan dalam film berdurasi 30 menit ini. Basri dan Musiyem sama-sama tidak menamatkan jenjang Sekolah Dasar (SD), hal ini sungguh membuktikan ketidakmerataan pendidikan di Indonesia, khususnya pada era pasangan ini mengenyam pendidikan. Basri juga menghadapi respon sosial yang mengolok-olok rencana pernikahannya. Duh, hidup memang tidak pernah luput dari tuntutan sosial!
Film ini mungkin akan menimbulkan pendapat yang berbeda-beda soal ajang Golek Garwo. Memang sih, ajang ini di satu sisi seperti mempertontonkan keputusasaan mereka yang kesepian. Tapi bukankah kesepian sering digambarkan sebagai perasaan yang memalukan sehingga masih banyak orang yang memendam hanya karena tidak mau terlihat menyedihkan? Nah, eksistensi Golek Garwo ini mencoba untuk mengisi kekosongan di dalam jiwa yang kian lapuk dan mencoba memberi harapan baru di hati mereka.
Film Golek Garwo (2020) merupakan bagian dari rangkaian program Lanskap FFD 2020. Tonton filmnya secara gratis di sini.
Penulis: Tirza Kanya Bestari