Citarum, Batu Bata dan Kehidupan

— Ulasan Film
FFD 2020

Alam menjadi wahana bagi manusia menemukan penghidupan. Alam juga  yang memberikan kehidupan, dan mengambilnya kembali.

Di Pinggir Kali Citarum (Ali Satri Efendi, 2019) memperlihatkan bagaimana seorang pembuat batu bata melakukan aktivitasnya dalam dua musim. Satu musim ketika alam memberikan hasil, sementara di musim lain alam kembali mengambil. Citarum telah menyediakan kehidupan sejak masa Tarumanegara di seputaran abad ketujuh. Mengaliri zaman, ia membawa kehidupan dari hulu Priangan ke muara Laut Jawa – membelah berbagai kampung hingga bandar, lalu merangkai cerita di bantarannya. Seperti lusinan memori kolektif manusia, banyak bagian tentang Citarum yang terlewat kemudian terlupakan begitu saja. Namun sesungguhnya, permukaannya yang keruh menyembunyikan hakikat realita rapat-rapat serta mengelabui suara yang mengais asa di tepiannya. 

Di Pinggir Kali Citarum (Ali Satri Efendi, 2019) menangkap keseharian seorang tukang batu yang menyandarkan nasib pada tanah landai di tepian air. Ia mengusahakan seluruh penghidupannya pada alam mulai dari menggunakan perahu yang dirakit dari bambu untuk membelah arus sungai hingga mengolah tanah liat menjadi batu bata untuk ditukarkan rupiah. Kendati penghasilannya tak dapat terbilang cukup, hal tersebut tetap setia dilakoninya. Tak ada dialog manusia yang berhembus sepanjang perjalanan film berdurasi 16 menit ini. Hingga detik akhir, indra penonton dibuat terjaga dengan senyap yang membawa sebuah keutuhan antara keberadaan keheningan, laki-laki paruh baya, tanah, dan air. Satu hari bagi tukang batu bata untuk mencari nafkah di bantaran dan segala gerak-geriknya ditampilkan dengan seksama dan akrab. Berawal dari tetes keringat beliaulah batu bata yang kalian gunakan sebagai fondasi tempat tinggal kalian.

Melalui film ini, penonton diajak untuk duduk dekat dengan subyek film, mengalami realita kesehariannya. Hal tersebut juga didukung oleh sinematik yang sederhana dan jujur yang sepertinya hanya ditangkap menggunakan kamera handphone, tanpa proses penyuntingan yang muluk-muluk. Hal tersebut juga dilakukan Ali Satri Effendi pada karya-karya lainnya seperti Alienasi (2017) dan Kampung Halaman (2013).

Dalam narasinya, pencarian sang tukang batu untuk nafkah hanya bertahan selama satu musim. Saat penghujan mengguyur di penghujung tahun, pekerjaannya terpaksa terhenti karena Citarum meluap hingga ke daerah di bantarannya, lalu menenggelamkan tempat tukang batu mengais rezeki.  Ali Satri Effendi, sang sutradara, telah mencoba menampilkan secara lebih sederhana relasi nyata peradaban manusia dengan alam, dan persoalan-persoalan akibat konstruksi ciptaan manusia. Pada dasarnya, seluruh manusia yang hidup di muka bumi, menggantungkan keberadaannya pada alam. Namun,  konstruksi-konstruksi manusia khususnya di bidang ekonomi telah menciptakan keadaan yang hanya menguntungkan segelintir, sedangkan pada saat yang sama, menyusahkan subjek tertentu dalam menghadapi tantangan yang dibawa arus alam. 


Lewat tulisan fenomenalnya yang berjudul Can the Subaltern Speak? (1983), Gayatri Spivak, wanita yang menekuni poskolonial menguraikan bahwa para subaltern, sebuah istilah untuk menyebut subjek yang mengalami penindasan, menghadapi batasan kompleks untuk menyuarakan realita mereka. Hal ini kemudian menuntun pada pertanyaan filosofis baru: Bagaimana cara subjek tertentu menyuarakan kehidupan mereka yang tertindas? Film Di Pinggir Kali Citarum (Ali Satri Efendi, 2019) melalui narasi yang sederhana tapi mendalam memberikan perspektif lain untuk menjawab Spivak dan tantangan terkait keberadaan subaltern lewat penampilan sosok tukang batu yang terpinggirkan oleh kapitalisme dan perkembangan zaman. Lewat narasi visual dan keheningan dialog, tercipta wadah bagi mereka yang terpinggirkan untuk bersuara.

Film Di Pinggir Kali Citarum (2019) karya Ali Satri Efendi merupakan bagian dari rangkaian program Lanskap. Kamu bisa menonton film ini secara gratis di sini.

 

 

Penulis: Tirza Kanya Bestari