Peringatan konten: Film dalam ulasan ini berisi materi yang dapat digolongkan sebagai hal mengganggu dan dapat memicu trauma. Pemirsa disarankan untuk bijaksana dalam melanjutkan.
Pada 1983, Subarkah Hadisarjana masih menempuh tahun pertama pendidikannya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ketika mendapat tawaran untuk mengerjakan sebuah proyek film di Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Sebuah surat pun secara resmi dilayangkan ke kampusnya, meminta Barkah bergabung menjadi juru tata rias dan efek visual dalam proyek film tersebut. Tawaran itu awalnya ia dapatkan secara langsung dari Arifin C. Noer, seorang dramawan, penyair, sekaligus sutradara film dan teater kenamaan Indonesia angkatan 70-an. “Yuk, Bar, bikin film horor,” ajaknya. Petualangan Barkah dimulai dan Di Balik Rupa (Adlino Dananjaya, 2023) mengajak kita ikut dengannya menyusuri masa lalu.
Film horor yang dimaksud Arifin C. Noer ternyata adalah film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Film yang pernah diwajibkan oleh Pemerintah untuk ditonton seluruh lapisan masyarakat di era Orde Baru. Film yang dianggap sebagai salah satu sumber sejarah paling penting dan otentik untuk menggambarkan tragedi tahun 1965.
Jauh sebelum mendapat tawaran tersebut, tepatnya ketika Barkah masih berusia 6 tahun, ia melihat ratusan jenazah mengambang di sepanjang Sungai Brantas. Saat itu, ia masih tidak tahu-menahu mengenai tragedi penghujung September. Namun, memori tentang jasad-jasad terapung yang seolah sengaja didesain sebagai ornamen sungai itu masih terpatri jelas dalam ingatannya. Ternyata, semesta sengaja memperlihatkan Barkah kecil adegan itu agar kelak ia dapat merekonstruksi ulang memori tentang kejadian yang menyisakan banyak trauma tersebut, tak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia, lewat film.
Dalam film tersebut, Barkah diminta untuk menciptakan boneka-boneka replika mayat para jenderal yang terbunuh. Setelah mempelajari naskahnya, ia pun segera pergi menemui para dokter forensik untuk melakukan wawancara riset. Tragisnya, dokter yang ditemui Barkah pada waktu itu pun tak mampu menjawab dengan pasti bagaimana bentuk mayat yang terbunuh setelah dianiaya, ditembak, dan ditutup dengan sampah selama 4 hari lamanya. Skenario yang terlalu horor dan keji. Skenario sejarah yang hingga kini masih terasa seperti fiksi.
Perjuangan dan bakat Barkah terbayarkan ketika eksperimen boneka mayat pertamanya dipamerkan di halaman PPFN. Ia dihujani oleh tepuk tangan. Arifin C. Noer menepuk bahunya, “Pokoknya yang bikin boneka jenazah harus Barkah.” Bagi Barkah, tugas terpenting seorang juru tata rias dan efek visual adalah menciptakan kesan dari hasil karyanya. Kesan itu terbentuk dari proses belajar dan berlatih yang panjang serta pantang menyerah. Barkah secara otodidak menggunakan majalah, buku anatomi, perjalanan risetnya di rumah sakit, hingga memori masa kecilnya untuk mengasah ketajaman kesan pada karya-karyanya. Kesan-kesan itu adalah inspirasinya. Inspirasi itu adalah kebenarannya.
Dokumenter Di Balik Rupa (2023) ditayangkan dalam program Lanskap: Grotesque Cinema Festival Film Dokumenter 2023. (Hesty N. Tyas) (Vanis)
Detail Film
Di Balik Rupa
Adlino Dananjaya | 10 Min | 2023 | DKI Jakarta, Indonesia | Warna | 17+
Jadwal Tayang
12.05 | Auditorium IFI-LIP | 13.00 WIB
12.08 | Gedung ex Bioskop Permata | 18.40 WIB