Menangkap realitas yang terjadi di Sumba–bukan hanya melalui kacamata pariwisata–barangkali adalah satu intensi Tonny Trimarsanto dalam mendalangi One Big Sumba Family (2022). Sumba, di balik kemilau destinasi pemanja mata, adalah tanah dengan konstelasi isu sosial dan lingkungan yang terus hidup dan tereproduksi setiap harinya. Penayangan film One Big Sumba Family selama 80 menit dalam program Kompetisi Panjang Indonesia dilaksanakan di Institut Français Indonesia (IFI-LIP) Yogyakarta pada 4 Desember 2023 pukul 16.45 WIB. Film tersebut mengisahkan tentang dinamika kehidupan satu keluarga besar di Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang dikepalai oleh seorang ayah, 12 ibu, 52 anak, dan lebih dari 220 cucu.
Setelah pemutaran selesai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab bersama para pembuat film. Telah hadir sutradara Tonny Trimarsanto dan produser John Badalu di tengah-tengah penonton.
Dalam menggarap One Big Sumba Family (2022), Trimarsanto melakukan riset mendalam terkait dengan topik yang digagasnya sebagai sorotan utama. Diproduseri oleh John Badalu dan Mandy Marahimin, film ini selesai pada tahun 2022. Sesi tanya jawab dimulai setelah film berakhir–dengan antusiasme beberapa penonton untuk mendapat jawaban, terdapat hal-hal vital dalam One Big Sumba Family (2022) yang tidak berhenti menjadi sekadar tanda tanya.
Ketika menyusun film ini, bagaimana konsensus dari pemeran didapatkan? Karena peranan yang dimainkan terlihat sangat natural.
(Trimarsanto) Saya tidak ingin menangkap Sumba dalam perspektif wisatawan. Saya ingin pemirsa melihat Sumba sebagaimana adanya–sehingga tidak ada penghakiman dalam pengambilan gambar dan alur cerita. Saya bilang, saya datang untuk belajar dan tinggal sementara waktu. Pun, mereka sudah terbiasa dengan paparan media dan tidak gelisah dengan kamera. Itu menjadi nilai yang mempermudah proses kreatif dalam penyusunan film. Saya bahkan diangkat menjadi anak ke-53 oleh Bapak M. D. Raya (penonton tertawa).
Seperti halnya mobil yang mendadak mogok, adanya pertengkaran antar-anggota masyarakat, apakah hal-hal yang “kebetulan” terjadi dalam film terjadi secara alami?
(Trimarsanto) Saya menempatkan diri sebagai penonton–sehingga saya perlu mempertimbangkan porsi dan ketertempatan antara montase informasi dengan hiburan. Tentu, peristiwa insidental, semua terjadi secara alami. Tidak lupa, saya membuat catatan peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di sana setiap harinya.
Apakah ada perbedaan ketika penelitian awal dilakukan dengan proses eksekusi produksi?
(Trimarsanto) Tidak pernah ada skrip ketika gambar diambil, dan hasil riset tidak selamanya sejalan dengan proses pengambilan dokumenter. Akan selalu ada hal baru dan berbeda ketika di lapangan.
Apa tantangan besar dalam proses pembuatan film ini?
(Trimarsanto) Tantangan besar dalam film ini tentunya adalah untuk mendapatkan pendanaan (penonton tertawa). Selain itu, penting untuk meyakinkan kru bahwa mereka akan baik-baik saja dalam menghadapi kondisi yang dihadapi di lapangan. Tidak jarang ada peristiwa-peristiwa yang membuat kameramen merasa takut untuk tinggal bersama dengan warga sekitar di lokasi.
(Badalu) Dalam upaya pendanaan film ini, kami melakukan strategi untuk mendapatkan eksposur internasional dengan pitching bersama berbagai lembaga luar. Selain itu, kami membawa kameramen perempuan untuk memperlancar pengambilan gambar dan komunikasi antara kami dengan Martha.
Bagaimana intensi dan dampak dari pembuatan dan pelayaran film ini?
(Trimarsanto) Film ini belum diputar selain di festival film. Ini adalah penayangan kelima di Indonesia dan sudah ada rencana untuk ditayangkan di Sumba. Intensi utamanya, One Big Sumba Family adalah film yang membuka ruang pada diskusi dan dialog akan realitas yang dihadapi di Sumba. Perlu diingat, bahkan rata-rata anak laki-laki Bapak M. D. Raya, semua menikah lebih dari dengan satu pasangan.
Apakah ada gagasan untuk melanjutkan film dengan sekuel?
(Badalu) Kami menunggu arahan dan gagasan dari sutradara. Sama halnya seperti Tonny Trimarsanto yang mencari produser melalui unggahan pendek di Facebook, yang disambut baik oleh saya dan Mandy. Kami berdialog, dan jadilah saya dengan Mandy sebagai produser.
Dari sekian banyak anak dan cucu, kenapa mengambil sudut pandang Martha?
(Trimarsanto) Sebenarnya terdapat calon-calon pemeran utama untuk diambil sudut pandangnya. Akan tetapi, Martha adalah pemeran yang berhasil membuka deskripsi akan keluarga Bapak secara lebih objektif. Selain itu, dia juga perempuan yang artikulatif dan terbuka dengan gagasan yang baru, sehingga mudah bagi kami untuk menjalin komunikasi dengannya.
Apa yang membedakan film ini dengan media lainnya?
(Trimarsanto) One Big Sumba Family merekam intimasi dalam keluarga besar dalam bentuk dokumenter. Kami melihat keseharian dan berdialog dengan mereka secara lebih dalam. Kami juga memperhatikan penyusunan montase dan pengambilan gambar. Sedangkan, media lain, adalah media dengan bentuk liputan.
Tonny Trimarsanto merangkai One Big Sumba Family (2022) sebagai film yang jujur dalam menangkap keluarga (sangat) besar dan dinamika di Sumba atas apa-apa yang dimilikinya. Selain One Big Sumba Family (2022), masih ada banyak lagi dokumenter untuk dinikmati di Festival Film Dokumenter 2023 hingga 9 Desember 2023. Ikuti informasi terbaru mengenai gelaran Festival Film Dokumenter 2023 di laman web ffd.or.id.
Diliput oleh Tuffahati Athallah pada 4 Desember 2023.