Mari kita buka tulisan ini dengan merenungi film Siti (Eddie Cahyono, 2014), yang mengajak kita pada renungan mendalam tentang relasi manusia dengan alam. Di sana, terucap sebuah kalimat: “Laut sing ngehi pangan, laut uga sing njupuk pangan.” (Laut yang memberi pangan, laut juga yang mengambil pangan). Kalimat ini terasa seperti pengingat halus bahwa alam memang memberi kita kehidupan, tetapi juga bisa mengambilnya kapan saja. Alam tak hanya memberi, tetapi juga mengharapkan keseimbangan.
Dalam dokumenter A Tale for My Daughter (Wulan Putri, 2024), kita dihadapkan pada kenyataan lain. Alam, melalui tanah adat suku Awyu, terus memberi kehidupan. Namun, justru manusialah yang kerap lupa cara berterima kasih. Kita mengambil tanpa pernah memberi kembali, mengikis kekayaan tanah demi memenuhi hasrat materialis yang tiada habis. Alam yang pernah subur dan penuh kasih kini perlahan tersingkir, dihimpit ambisi yang menggerogoti tiap jengkal tanahnya.
Melalui surat Rikarda Maa kepada putrinya, Mila, dokumenter ini menyelami kegelisahan seorang ibu yang menyaksikan tanah adat mereka perlahan direnggut oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. Sebagai ibu sekaligus pejuang, Rikarda membawa kita ke dalam narasi yang sangat intim dan bergema luas. Ia berjuang bukan hanya untuk menjaga tanahnya, tetapi juga demi masa depan generasi yang akan datang, sebuah masa depan yang terhubung erat dengan kelestarian lingkungan.
Hubungan ibu–anak dalam dokumenter ini bukan sekadar tentang cinta dan perlindungan. Ia merupakan simbolisme yang kuat tentang alam dan perempuan. Seperti seorang perempuan, alam memberi dengan sepenuh hati tanpa batas. Namun, apa yang sering ia terima sebagai balasan hanyalah luka-luka yang terus menganga. Hal ini tercermin dalam perjalanan Rikarda yang dalam perjuangannya mempertahankan tanah adat, ia menyinggung ketidakadilan yang sering dialami perempuan. Suaranya kerap diabaikan.
Di tengah perjuangannya, suara laki-laki lebih didengar, sementara perempuan, seperti Rikarda, justru dikesampingkan. Alam, yang juga sering kali diibaratkan juga sebagai Ibu (Ibu Bumi, Ibu Pertiwi) mengalami nasib yang sama. Ia terus memberikan segalanya. Namun, pada saat yang sama, terluka oleh tangan-tangan yang terus mengeksploitasi tanpa henti.
A Tale For My Daughter (2024) tidak mengarahkan kita pada kemarahan atau kebencian. Justru, ia ingin menyampaikan sebuah ajakan lembut untuk membuka telinga dan hati, mendengar lebih suara-suara Ibu yang selama ini terabaikan, dalam bentuk perempuan maupun alam. Renungkan kembali hubungan kita dengan Ibu agar kita dapat bersama-sama merawat dan melindungi kehidupan yang kita warisi. (Tirza Kanya) (Ed. Vanis)
Detail Film
A Tale for My Daughter (Tutaha Subang)
Wulan Putri | 15 Min | 2024 | DKI Jakarta, Indonesia
Berkompetisi dalam kategori Kompetisi Pendek
Festival Film Dokumenter 2024
Jadwal Tayang
Nov. 3 | 13:00 WIB | IFI-LIP
Nov. 5 | 13:00 WIB | Militaire Societeit, TBY