Selamat hari Jumat! Festival Film Dokumenter kurang dua hari lagi, jadi jangan sampai membuat diri kalian menyesal karena ketinggalan berbagai film menarik dari kami!
Mari berakhir pekan dengan menonton berbagai film FFD 2019. Berikut kami sediakan jadwal tanggal 6 Desember 2019.
13.00 WIB
Silakan menikmati program The Feeling of Reality, SEL, dan SchoolDoc yang masih berlangsung sampai nanti jam 21.00. The Feeling of Reality dan SchoolDoc diputar di Lobby Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta. Sedangkan SEL dipamerkan di galeri Kedai Kebun Forum. Selain itu, kami juga menyajikan dua film dan satu diskusi di jam ini di tempat-tempat berbeda. Silakan memilih!
Film East Asia Anti-Japan Armed Front (Kim Mirye, 2019) mengajak kita untuk menelusuri jejak Front Bersenjata Anti-Jepang dari Asia Timur. Sebuah kelompok yang pernah melakukan pengeboman dan pengerusakan pada beberapa perusahan yang ada di Jepang, tahun 1974. Film ini bisa dinikmati di Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta.
Film Hutan Perempuan (Yulika Anastasia,2019) mengisahkan tentang perempuan Enggros yang memberdayakan hasil Hutan Perempuan untuk kehidupan sehari-hari bisa dinikmati di IFI-LIP Yogyakarta. Silakan simak bagaimana perempuan Enggros mempertahankan tradisi mereka di Hutan Perempuan yang terlarang bagi kaum pria.
Distribusi, Pasar, & Ekonomi Politik Film, “Rupa-Rupa Distribusi Film Kita”, menghadirkan Nia Dinata dan Fajar Hutomo selaku Deputi Akses Permodalan BEKRAF untuk membaca ruang pendanaan fim di Indonesia. Bersama dua pembicara, kita juga bisa melacak forum pendanaan seperti apa yang cocok untuk film dokumenter.
15.00 WIB
Setelah menyaksikan film di jam sebelumnya, mari melanjutkan perjalanan ke IFI LIP Yogyakarta. Kami menyediakan tiga film dari program Lanskap bertajuk Salam untuk Abduh. Di sesi ini, kalian bisa mengikuti sesi tanya jawab dengan Aryo Danusiri, Lulu Ratna, dan Kisno Ardi.
Film Di Atas Rel Mati (Welldy Handoko & Nur Fitriah,2006) mengisahkan tentang anak lori. Wahyudi, Ropik, Ade dan Wanto menyediakan jasa lori dorong, yakni alat transportasi yang kerap digunakan warga kampung Dao Atas, Ancol, Jakarta.
Film Abrakadabra! (Aryo Danusiri, 2003)mengisahkan kondisi di Banda Aceh pasca Perjanjian Penghentian Permusuhan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan perwakilan pemerintah Indonesia pada 9 Desember 2002.
Film Tjidurian 19 (Lasja F Susatyo & M Abduh Aziz) menceritakan rumah di jalan Tjidurian 19. Rumah yang merekam usaha anak-anak muda kala itu dalam meramaikan kancah sastra Indonesia, menjadi saksi bisu dari sebuah perpecahan komunitas karena pertikaian politik.
15.25 WIB
Bagi yang ketinggalan film pembuka FFD 2019, tidak usah risau. Kami memutarkan kembali film Turning 18 (Ho Chao-ti, 2018) di Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta. Film yang mengisahkan tentang dua gadis remaja yang bertahan dari arus kehidupan yang mengguncangnya. Mereka yang nyaris kewalahan bertemu dalam sebuah program latihan kejuruan.
18.30 WIB
Mari merapat ke Societet Militair, Taman Budaya Yogyakarta! ada 8 film menarik dari program Kompetisi Dokumenter Pelajar. Bagi yang penasaran dengan film-film di sesi ini, jangan buru buru pulang. Masih ada sesi tanya jawab bersama pembuat film.
Film Bangkit (Farchany Nashrulloh, 2018) menceritakan Ahmad Zaky Ash-shiddiq yang sejak SMP sudah mengenal olahraga parkour. Parkour adalah segalanya, karena olahraga ini dia bisa sembuh dari penyakitnya.
Film Orang-orang Tionghoa (Icha Feby Nur Futikha, 2019) mengisahkan kehidupan tiga orang Tionghoa dari Purbalingga yang mengalami tekanan dari Rezim Orde Baru, hingga harus mengganti nama dan agama.
Film Tambang Pasir (Sekar Ayu Kinanti, 2019) menunjukkan dampak dari tambang ilegal yang merusak ruang hidup masyarakat sekitarnya. Tambang galian C ini berada di Kabupaten Purbalingga.
Film Ngalih Pejalai Antu-Ritual Dayak Iban (Kynan Tegar, 2019) mengisahkan tentang tradisi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik yang memiliki hubungan spiritual dengan alam dan lingkungannya. Mereka meyakini bahwa tempatnya hidup adalah sebuah jalan dari arwah-arwah yang sudah lama tinggal dan tak bisa mereka lihat.
Film Pasar Sepur (Sarah Salsabila Shafiyah, 2019) mengisahkan pasar Dupak Magersari atau pasur (pasar sepur), yang telah ada di atas rel kereta api aktif sejak 50 tahun lalu. Pasar ini membangun daya tarik sekaligus masalah bagi pemerintah.
19.00 WIB
Tidak berselang lama, film Om Pius, “Ini rumah saya, come the sleeping” (Halaman Papua, 2019) diputar di Amphitheater, Taman Budaya Yogyakarta. Film ini mengisahkan tentang seorang pria yang bekerja dan bertaruh lotre setiap harinya untuk hidup. Dalam kehidupannya yang tampak damai, sebenarnya dia dihantui oleh sejarah dan kenangan tragedi Papua.
Di jam yang sama, juga ada pemutaran film Good Neighbours (Stella van Voorst van Beest, 2018) di IFI LIP. Kalian bisa menyaksikan gerakan masyarakat dalam mengurangi angka kesepian yang berdampak pada kesehatan mental. Di film ini kita akan mengamati beberapa orang kota Rotterdam yang mengalami kesepian hebat.
20.00 WIB
Di sesi pemutaran terakhir, kami memutarkan film Lettre á ma sœur (Habiba Djahnine, 2006). Film ini berkisah tentang upaya sutradara dalam menanggapi surat yang ditinggalkan oleh Nabila Djahnine, sebelum pembunuhannya di tahun 1995.
Selamat menikmati film-film dari kami!!