Wawancara Juri Kompetisi Panjang Indonesia: Antara Kedekatan dan Permainan Artistik dalam Film Dokumenter Indonesia

— Berita, Interview
FFD 2024

Festival Film Dokumenter 2024 menyajikan program Kompetisi Film Panjang Indonesia dengan empat film terpilih. Program ini merupakan jendela yang menawarkan perspektif tentang eksistensi dan agensi yang kompleks di Indonesia era sekarang. Keempat film yang terpilih ini menjadi penekanan terhadap pentingnya film dokumenter sebagai sarana untuk mengeksplorasi ingatan dan pengalaman manusia yang berlapis-lapis. Memberikan ruang pada film dokumenter dengan daya tarik teknis dan estetika yang dapat mendukung cara bercerita serta perspektif para pembuatnya pun akhirnya menjadi pertimbangan yang penting. Namun, minimnya jumlah film dokumenter yang telah diproduksi mempengaruhi variasi dan keragaman genre yang tersaji. Meski begitu, program ini kemudian tidak hanya bisa menjadi tolak ukur untuk melihat sejauh mana film dokumenter panjang Indonesia telah berkembang, tetapi juga menjadi sebuah petunjuk terkait arah lajunya.

FFD 2024 kali ini menghadirkan tiga anggota juri dengan berbagai latar belakang yang berbeda dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi terhadap film-film yang berkompetisi. Dewan Juri Kompetisi Film Panjang Indonesia FFD 2024 adalah Amelia Hapsari, Chayanin Tiangpitayagorn, dan Novasari Widyaningsih.

Berikut adalah rangkuman wawancara dengan para juri.

Bagaimana Anda melihat film-film yang terpilih dalam kategori ini? Apakah ada keunikan dalam film-film tersebut yang menonjol dan membedakannya dengan satu sama lain?
(Novasari) Mungkin kita bisa menjustifikasi dari sisi personal terlebih dahulu, bahwa setiap film pada umumnya menawarkan sebuah nuansa atau keintiman.
(Chayanin) Ya, karena dari apa yang saya lihat, keempat film panjang Indonesia ini menjanjikan keintiman pada tingkat tertentu karena narasi ceritanya masing-masing. Sisanya adalah bagaimana mereka bisa menyampaikan pesan untuk membuat kita merasakan keintiman itu terhadap subjeknya sendiri, terhadap pokok bahasannya, dan terhadap hal lainnya. Dari sudut pandang orang luar (Indonesia), keempat film ini sangat terkait dengan konteks Indonesia. Dalam banyak hal, baik dari segi sosial, politik, sejarah… Itu adalah sebuah pengalaman tersendiri bagi saya dan mungkin juga bagi penonton Indonesia, karena mereka akan merasakan hal yang berbeda dari saya sebagai orang luar (Indonesia) yang melihat ini dengan pengalaman saya.
(Amelia) Bagi saya, saya sudah mengamati dokumenter Indonesia sekitar sepuluh atau lima belas tahun terakhir dan saya melihat sekarang dalam seleksi ini ada upaya yang cukup jelas untuk melakukan lebih banyak eksperimen; untuk menemukan penceritaan yang tidak konvensional. Namun, tentu saja, tidak semua upaya ini berhasil menghasilkan film yang berhasil melibatkan penonton sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat film. Namun, saya juga sangat senang melihat film-film yang mampu menghadirkan potret yang lebih kompleks dan lebih bernuansa; tentang tempat, orang, dan komunitas yang sebelumnya tidak bisa saya akses.

Bagaimana Anda menilai kekuatan dari film-film yang terpilih?
(Amelia) Menurut saya, kekuatannya adalah kedekatan antara subjek dan pembuat film yang sangat kuat tahun ini. Seringkali kita melihat pembuat film yang mengangkat kisah-kisah tentang komunitas yang jauh dari tempat mereka tinggal dan diri mereka sendiri. Namun, saya pikir hampir semua cerita memiliki kedekatan yang sangat erat dengan tanah atau subjek di sini. Jadi, kedekatan dan keragaman komunitas yang digambarkan dalam seleksi ini sangat kuat dan sangat menggembirakan.
(Novasari) Kami memiliki beberapa kualifikasi juri yang juga dipandu oleh pihak festival, yaitu pengembangan ide, riset, penceritaan, gaya dan bentuk, serta pertimbangan aspek teknis. Namun, bagi saya pribadi, yang paling penting adalah cerita, narasi, dan gaya. Karena sekarang banyak orang yang bereksperimen dengan gaya film dokumenter.

Anda setuju untuk memberikan penghargaan kepada satu film yang Anda pilih bersama. Apa alasan utama film ini menjadi penerima penghargaan?
(Novasari) Pertama, cerita dari film ini. Film ini menampilkan kronik yang tidak hanya berupa biografi pribadi mentor/pendeta, tetapi juga interaksi dan hubungan intim antara mentee dan mentor yang juga mengungkap banyak lapisan di balik sejarah tempat dan masyarakat yang menjadi latar dalam film tersebut.
(Chayanin) Film ini juga bagi saya seperti melihat sebuah bukti nyata dari sebuah sejarah itu sendiri melalui keberadaan Pastor (Pater Bert), seorang Belanda yang hidup dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Hal yang menarik bagi saya adalah apa yang menjadi aspek paling kuat dari film ini; keluwesan sutradara dalam menceritakan kisah-kisah tersebut. Seringkali ketika Anda adalah pembuat film baru atau seseorang yang mencoba untuk mendalami suatu topik, seperti politik atau sejarah atau semacamnya, Anda akan membawanya dengan keseriusan, atau terkadang terlalu bertekad dan membuatnya sedikit kaku. Namun, keluwesan Yonri Revolt memberikan rasa baru pada dokumenter politik-sejarah semacam ini dan bisa jadi berada di ambang batas antara keceriaan dan “keamatiran.” Saya rasa keluwesannya berhasil; bagaimana dia bermain dengan rasio aspek dan bagaimana dia bermain dengan rekomposisi…
(Amelia) Dan tentang penyuntingan juga, karena film ini memiliki narasi yang berlapis-lapis. Ini tentang diri Pastor semasa muda yang diceritakan oleh seorang narator dan juga dirinya yang lebih tua di depan kamera, juga tentang wawancara dan pengalaman hidupnya. Saya pikir, film ini mungkin tidak seratus persen memenuhi janjinya, tetapi pendekatan film ini sangat menarik dan memberikan rasa baru pada film dokumenter politik.

Festival Film Dokumenter 2024 dengan bangga mengumumkan film The Silent Path (2024) yang disutradarai oleh Yonri Revolt sebagai peraih penghargaan Kompetisi Film Panjang Indonesia. Kami berterima kasih kepada seluruh komite seleksi dan para juri yang telah berpartisipasi dalam Festival Film Dokumenter 2024.

Diliput oleh Gantar Sinaga pada 5 November 2024 (Ed. Vanis/Trans. Naufal Shabri)