Tonny Trimarsanto dan Al-Fatah: Suka Duka Perjalanan Film tentang Rumah Nirkebencian

— Berita
FFD 2024

Melalui eksplorasi berlapis pengalaman manusia, Kompetisi Panjang Indonesia Festival Film Dokumenter 2024 berupaya untuk menjadi jendela menuju berbagai sudut pandang tentang kompleksitas eksistensi dan agensi manusia di Indonesia masa kini. Salah satu film dokumenter yang terpilih adalah Under the Moonlight (Tonny Trimarsanto, 2023), sebuah kisah tentang pesantren transgender Al-Fatah di Yogyakarta. Pada hari Kamis, 7 November 2024, film ini diputar di Militaire Societeit, Taman Budaya Yogyakarta.

Under the Moonlight (2023) merekam kehidupan para santri dewasa transgender, di mana mereka dengan riang gembira bekerja dan menjalani hidup dengan cara yang mereka pilih, sangat kontras dengan permusuhan dan ancaman yang mereka hadapi dari dunia luar. Sutradara pemenang penghargaan Festival Film Indonesia, Tonny Trimarsanto, menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan seputar filmnya pada akhir penayangan, begitu juga dengan Nur Ayu, mantan santri di pesantren tersebut.

Ini adalah film kelima sutradara Trimarsanto yang mengangkat komunitas transgender di Indonesia. Ia melihat perlunya terus mengangkat isu-isu yang dihadapi kaum minoritas, dengan alasan kurangnya perubahan, yang tidak pernah benar-benar terpecahkan dan penuh dengan tragedi. Secara khusus, ia berbicara tentang bagaimana perasaannya ketika dihadapkan dengan kebencian yang ia lihat di sekitarnya, “Aku sudah mulai merasa kehilangan. Di saat itu, di Jogja banyak banget spanduk dan baliho menolak (kelompok LGBTQ+). Dan kita tidak pernah merekam itu sebagai sebuah peristiwa kemanusiaan, yang kita simpan adalah sebuah ketakutan. Mari kita sembunyi, mari kita diam.”

“Mereka itu sebenarnya korban, tapi saya tidak lagi ingin menempatkan teman-teman transgender sebagai korban. Justru yang saya temukan adalah keseharian yang begitu gembira, penuh canda mereka, tidak merasa bahwa mereka dipersekusi, diteror. Tidak sama sekali,” ucap sutradara Trimarsanto merespon bagaimana ia berkenalan dan merekam kehidupan di pesantren Al-Fatah untuk film Under the Moonlight (2023).

Berfokus pada manusia di balik tragedi kemanusiaan, sutradara Trimarsanto berbicara tentang bagaimana menyajikan pandangan intim terhadap isu-isu ini dengan penuh rasa hormat, jauh dari aspek politik yang diperdebatkan. Under the Moonlight (2023) adalah hasil dari upaya tersebut, menampilkan interaksi antarmanusia dan kegiatan sehari-hari di Al-Fatah, termasuk di antaranya adalah salat dan mengaji. Selama lima tahun sejak 2016 hingga 2022, sutradara Trimarsanto sering berkunjung ke Al-Fatah, tanpa rencana atau tujuan tertentu, bahkan sering kali tanpa niat untuk memfilmkan apa pun. Di akhir proses, ia merasa bahwa mereka telah menjadi keluarganya. Ia akan berada di sana bersama mereka, di masa-masa suram dan indah; saat mereka diusik oleh polisi kota atau saat mereka dengan senang hati mengekspresikan diri mereka di sebuah pertunjukan tari.

Protagonis Nur Ayu bercerita tentang masa-masa sutradara Trimarsanto di pesantren, “Saya pertama kali ketemu Mas Tonny itu 2016, sebelum ada penyerangan (terhadap Al-Fatah). Awalnya saya takut, saya kira ada apa… Ternyata Mas Tonny ngobrol (sama saya), baik. Mas Tonny ngambil gambar tentang pondok pesantren, saya kadang dulu ngamen, masak di pondok… Saya jadi artisnya.” Selain Nur Ayu, banyak komunitas transgender dari seluruh Yogyakarta yang hadir dalam pemutaran film ini. Mereka, dan banyak lainnya, berterima kasih kepada sutradara Trimarsanto atas gambaran jujurnya tentang kehidupan sehari-hari para transgender. Under the Moonlight (2023) menggambarkan keseharian yang memanusiakan mereka, yang ditampilkan di tengah masyarakat yang sering kali memandang mereka dengan sebelah mata. Sayangnya, hal tersebut masih menjadi kenyataan bagi komunitas transgender, dan seringkali berujung petaka.

Sutradara Trimarsanto mencatat bahwa mereka yang ditampilkan dalam film dokumenter ini, banyak di antaranya adalah sahabatnya, telah meninggal dunia; termasuk dalam proses pembuatan film yang berlangsung selama enam tahun ini. Dengan berlinang air mata, ia menambahkan sebuah tribut yang menyentuh, “Sebenarnya apa yang teman-teman baca di akhir adalah nama teman-teman (yang di film) yang sudah tidak ada. Mungkin yang kami tulis baru empat, sebenarnya ada lebih; teman-teman yang selama proses pembuatan film ini sudah meninggal. Saya merasa kehilangan. Itulah bagian dari energi saya untuk menyelesaikan film ini.”

 

Diliput oleh Aradi Ghalizha pada 7 November 2024. (Ed/Trans. Vanis)