Trayek distribusi bukanlah ruang sempit yang dapat mematahkan semangat aktivisme sebelum ia tumbuh, melainkan ruang yang terus tumbuh berkembang dan bisa diciptakan. Tidak semua film dokumenter pendek mendapatkan kesempatan dalam hiruk pikuk festival dengan berbagai alasan: ketatnya kurasi, tema spesifik yang cepat berubah (baca: basi), alasan keamanan, dan harga yang mahal dalam setiap submisi serta distribusi. Meskipun begitu, distribusi dampak mesti diperjuangkan dalam trayek distribusi ini. Alhasil pemetaan distribusi menjadi pekerjaan yang tak bisa dilewatkan hari ini, baik untuk distributor, produser, maupun pembuat film itu sendiri.
Festival Film Dokumenter (FFD) 2024 menghadirkan ruang diskusi untuk membahas mengenai distribusi film dokumenter melalui DOC Talk dengan judul Patah Tumbuh Hilang Berganti (6/11/2024). Dalam forum ini hadir Wulan Putri, sutradara A Tale for My Daughter (Tutaha Subang), Anggun Pradhesa, sutradara To Face My Father in Jambi (Balek ke Jambi), dan dimoderatori oleh Gerry Junus sebagai koordinator Program Kompetisi FFD 2024. Forum ini secara spesifik membedah mengenai trayek distribusi film, khususnya dokumenter pendek dan distribusi dampaknya kepada penonton serta khalayak luas.
Wulan Putri merupakan sosok yang menjadi produser sekaligus sutradara A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024). Film ini sebenarnya bukanlah film dokumenter yang benar-benar berdiri sendiri, melainkan merupakan film ketiga dari trilogi Awyu. Proyek trilogi dokumenter ini merupakan proyek advokasi untuk suku Awyu yang tanah ulayatnya sedang dalam tahap penjajakan untuk dideforestasi menjadi perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari (IAL). Konflik agraria di tanah adat itu diadvokasikan ke ruang publik melalui dua dokumenter yang telah tayang di kanal Youtube Project Multatuli dengan film pertama berjudul Mama Lihat Awan Jatuh (2023) dan film kedua berjudul Asu Pemige Sawa Pemige (2024). Berbeda dengan dua film sebelumnya, film ketiga dari dokumenter ini, A Tale for My Daughter (2024) menjadi satu-satu film yang didistribusikan melalui festival. Strategi ini dipilih untuk mengekspansi ruang tonton dan secara estetika dokumenter ini berbeda dengan dua dokumenter pendahulunya.
Dalam setiap film-film dokumenternya, khususnya To Face My Father in Jambi (Balek ke Jambi) (2024), Anggun Pradesha berusaha menggaungkan kampanye keadilan gender. Karya ini merupakan film dokumenter kelimanya setelah debut pada tahun 2015 melalui karya perdananya Emak dari Jambi (2015). Sedangkan To Face My Father in Jambi (2024) merupakan film dokumenter yang mulai diproduksinya pada 2016. Namun, karena terkendala pendanaan, film ini baru dapat terselesaikan pada tahun 2024.
Setiap film–dalam konteks ini dokumenter pendek–selalu memiliki ruang tonton dan tujuan aktivisme spesifik. Wulan Putri menjelaskan bahwa setiap produsen memiliki massanya masing-masing, alhasil trayektori distribusi film memiliki metode yang beragam pula. Seperti A Tale for My Daughter (2024) yang disiapkan untuk mengadvokasi suku Awyu didistribusikan melalui trayek dan medium yang spesifik berdasarkan wacana dan visi artistik yang telah dirumuskan. Berbeda dengan Wulan Putri yang menggunakan filmnya sebagai alat advokasi melalui kisah liminal darinya, Anggun memilih menggunakan film dokumenter pendek melalui kisah personalnya untuk tujuan membuka ruang yang inklusif bagi teman sesamanya. Oleh karenanya, festival bukanlah satu-satunya tujuan utama dalam trayek distribusi ini. Melainkan bagian dari pilihan yang ditawarkan berbagai medium, platform, site specific, wahana, dan program.
Anggun menceritakan pengalamannya ketika mesti memutarkan filmnya di layar-layar kecil ruang kecil balai desa, di kota kecil pula. Namun, menurutnya ruang kecil bukanlah suatu masalah berarti asalkan memberikan dampak dan manfaatnya terasa. Dalam ruang kecil itulah diskusi yang inklusif antarsubjek dapat tercipta dengan cair sekaligus hangat. Ini cukup beralasan karena melalui dokumenter-dokumenter karyanya ia berharap dapat memberikan ruang pemahaman untuk keluarga transpuan sesamanya untuk saling menerima dan menyadari.
Membicarakan mengenai penerimaan subjek dalam dokumenter A Tale for My Daughter (2024), Wulan Putri menjelaskan bahwa mereka menerima dan mengapresiasinya. Meskipun ia belum sempat datang untuk menayangkan langsung di antara mereka. Itulah peran yang diambil oleh produser dan distributor dalam distribusi film ini. Mereka saling berbagi tugas dalam proses distribusi melalui massa dan relasi masing-masing. Memang lumayan sulit untuk mengadvokasi suku Awyu khususnya, dan masyarakat Papua pada umumnya, yang sedang mengalami opresi oleh pihak-pihak berkepentingan. Untuk menjembatani wacana itu, Wulan Putri menyirkulasikannya melalui kisah keluarga yang subtil. Itulah yang kemudian yang diharapkan bisa membuat subyek dan penonton terhubung.
Festival barangkali menjadi platform yang dapat memadai kebutuhan distribusi film secara luas dan masif. Ruang diskursus inklusif, fasilitas yang memadai, pertemuan antar pelaku sinema, dan eksposur yang luas menjadi tawaran yang menarik dari hiruk pikuk festival. Namun, tak semua festival menghadirkan kebutuhan yang dibutuhkan pembuat film dalam mendistribusikan karyanya. Di sisi lain, terkadang ada festival yang mematok harga mahal untuk mendistribusikan film.
Anggun mengeluhkan setelah produksi film yang tidak bisa dikatakan murah, proses untuk mendistribusikan film melalui festival merupakan sebuah privilese karena harus melalui berbagai penyaringan yang ketat dan dana yang lumayan mengeruk kantong. Belum lagi film dengan tema aktivisme spesifik yang menggugat opresi dan diskriminasi memerlukan ruang aman dalam penayangannya. Namun di balik masalah privilese tersebut, festival–seperti FFD–memberikan ruang terbuka untuk membantu ekspansi aktivisme dan meluaskan penerimaan isu. Putri menambahkan bahwa festival dapat menjadi platform sirkulasi pengetahuan. Hadirnya para ahli dan silang diskusi dapat menjadikan film dan pembuatnya mendapat eksposur dan semakin dihargai. Kesempatan pertemuan inilah yang memungkinkan jalinan relasi yang memunculkan kerja-kerja sama baru, baik dalam produksi maupun distribusi film.
Salah satu tawaran menarik yang diberikan dari sebuah festival film merupakan premiere atau penayangan perdana. Kesempatan penayangan perdana memang memberikan eksposur lebih dan memungkinkan film memiliki daya tarik lebih serta menjadi pusat perhatian. Namun, Anggun dan Putri menyebutkan bahwa mereka tidak melulu mengejar penayangan perdana dalam festival tertentu. Bahkan, Anggun pernah menayangkan perdana salah satu filmnya melalui jaringan distribusi antarkomunitas yang berbasis di desa-desa. Meskipun hiruk pikuk festival menjadi platform yang menarik, tetapi tidak semua film mendapat kesempatan yang sama. Oleh karena itu, pemetaan distribusi film menjadi penting untuk menentukan arah trayek distribusinya. Banyak pembuat film yang memilih trayektori distribusi probono untuk menyebarluaskan karyanya.
Himas, salah satu peserta diskusi dalam DOC Talk kali ini, mengapresiasi distribusi film– khususnya dokumenter pendek–melalui platform Youtube. Menurut dosen film dan televisi ISI Yogyakarta tersebut, melalui Youtube, film dokumenter dapat terakses dan menjadi bahan diskusi secara lebih luas dan cair, berbeda dengan medium lain yang cenderung eksklusif. Kemudian, ia menanyakan pula kepada Putri dan Anggun mengenai distribusi film dalam festival kampus dan siasat dalam prosesnya yang menurutnya merupakan sebuah echo chamber wacana.
Menanggapi pertanyaan Himas, Putri lantas bercerita mengenai trilogi suku Awyu-nya sempat ditayangkan di acara Sewon Screening, festival film tahunan yang diadakan oleh FSMR ISI Yogyakarta. Ruang akademik membuka kesempatan sirkulasi pengetahuan secara lebih inklusif. Anggun juga menceritakan pengalamannya yang sempat mendistribusikan filmnya di beberapa kampus seperti UI dan UGM, bahkan UIN. Kesempatan menayangkan di kampus menurut Anggun dapat membuka lanskap ruang lingkup perspektif berbeda untuk menyikapi karya dokumenternya. Budaya kritis juga memantik ruang diskusi yang sehat dan silang pendapat yang menciptakan silang wacana. Namun, tetap saja siasat dan strategi dalam trayek distribusi ini. “Perlu mapping kampus mana yang aman buat dimasuki,” jelasnya. Selain itu, diperlukan juga jaring pengaman yang saling menjaga setiap trayek distribusi yang dipilih. Kurasi penonton melalui registrasi, kerja sama dengan LBH, dan penyiapan tenaga ahli seperti psikolog dan dokter menjadi jaring pengaman yang seharusnya diwujudkan.
Tanggapan selanjutnya datang dari Ozi yang menanyakan mengenai cara distribusi yang menyenangkan. Menjawab pertanyaan tersebut, Putri lantas menjelaskan mengenai pentingnya jejaring dalam distribusi film dan tidak ada strategi khusus darinya untuk melakukannya. “Keunggulan filmmaker dokumenter merupakan keinginannya untuk membantu satu sama lain,” katanya. Anggun menambahkan, seharusnya distribusi film dilakukan dengan tanpa tekanan dan kolaboratif. Selain itu, karya dokumenter yang dibuat semestinya memperhatikan cerita dan isu yang diangkatnya serta representatif dengan subyeknya. “Jangan sampai teknis bagus, tapi cerita lemah,” tukasnya.
Veronika Kusumaryati, pengelola program Perspektif FFD 2024 yang turut hadir dalam diskusi ini melontarkan pertanyaan, “Apakah selanjutnya (Putri dan Anggun) bakal terus bertahan di film dokumenter dengan kenyataan produksi yang mahal, dan adakah tekanan untuk terus eksis?” Putri lantas menjelaskan bahwa saat ini tengah dalam proses pengerjaan film dokumenter pendek. Ia juga menyetujui bahwa tekanan memang ada, tetapi ia tetap berusaha bertahan dengan membangun jejaring dan terus berkoordinasi dengan laboratorium untuk produksi film berikutnya. Anggun juga menceritakan bahwa saat ini ia sedang berusaha mewujudkan keinginannya untuk membuat film dokumenter mengenai KTP transpuan yang saat ini sedang menjadi gerak aktivismenya.
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kemungkinan film dokumenter pendek mendapatkan timbal balik ekonomi dan kemungkinan hidup dari film pendek Putri menyebut bahwa ada kemungkinan di sana. Barangkali produksi film pendek memang tidak profit, tetapi ia mengaku mendapatkan fee dalam kerja-kerja dokumenternya. Segendang seperketipunagn Putri, Anggun menyetujui kemungkinan tersebut. Namun, ia lebih memilih untuk mencari pemasukan dari jalur lain untuk menghidupi karyanya. Bukan sebaliknya. Anggun dan Putri juga menjawab pertanyaan mengenai pemutaran film di lokasi subjeknya berasal–Anggun di Jambi dan Putri di Papua. Menurut salah satu penanya, penayangan film dokumenter di tempat subjek berada akan memiliki dampak yang berbeda karena berbedanya tingkat sensitivitas yang mereka miliki. Putri mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah memutarkan A Tale for My Daughter (2024) di Papua. Namun, film itu sempat ditayangkan di sana melalui Greenpeace yang gencar melakukan pemutaran bersama warga. Sedangkan Anggun juga belum sempat memutarkan dokumenternya, To Face My Father in Jambi (2024) di Jambi, tetapi ia gencar memutarkannya di ruang-ruang kecil komunitasnya. Ia pun belum pernah menayangkan film tersebut di depan kelompok-kelompok agama yang menurutnya resisten. Namun, di luar film ini ia mengaku pernah menayangkan film dokumenternya di depan puluhan Kepala Sekolah Kristen se-Asia–Pasifik yang ingin mengetahui kehidupan kelompok queer.
Ragam distribusi film dokumenter pendek tidak terbatas pada program-program festival dan OTT eksklusif, YouTube menjadi platform yang seringkali digunakan dalam trayek distribusi ini. Kita bisa melihat itu pada distribusi dokumenter National Geographic, Watchdoc Documentary, maupun Project Multatuli. Melalui Youtube Project Multatuli pula Putri mendistribusikan dua dokumenter awal trilogi suku Awyu. Namun, menurut Anggun, menjadikan Youtube sebagai medium distribusi juga memerlukan pertimbangan lebih, sebab ruang terbuka menciptakan sirkulasi wacana yang lebar pula. Anggun juga menceritakan pengalaman temannya yang sempat mendistribusikan dokumenter melalui Youtube dan berakhir mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Pada akhirnya, kepentingan untuk merebut ruang narasi menjadi penting dalam trayektori distribusi film dokumenter pendek kita hari ini. Wacana aktivisme yang digaungkan mesti disirkulasikan untuk memastikan generasi mendatang menjadi lebih baik dan terlepas dari berbagai opresi, tekanan, aneksasi, dan teralienasi. Pembuat film juga perlu memiliki semangat pada tujuan awal–distribusi dampak. Itu pulalah yang diharapkan dapat menyuarakan suara-suara pinggir yang seringkali tak terdengar dan mereduksi kesalahan pemahaman atas stigmatisasi di ruang sosial.
Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 6 November 2024. (Ed. Vanis)