DOC Talk bertajuk Telusur Tutur, yang diadakan di Ruang Rapat Taman Budaya Yogyakarta pada hari Minggu, 3 November lalu, mengulas dinamika estetika serta peran penting dari posisi dan pengalaman personal pembuat film dalam dokumenter Indonesia. Bincang-bincang ini merupakan bagian dari Festival Film Dokumenter 2024 yang bertujuan untuk mengeksplorasi peran estetika dalam ruang antara bentuk dan fungsi, serta hubungannya dengan refleksi realitas oleh pembuat film dan bagaimana penonton menginterpretasikannya.
Micko Boanerges, sutradara asal Bangka, berbagi pandangannya mengenai topik ini dalam DOC Talk Telusur Tutur. Sutradara Boanerges sering bermain di wilayah abu-abu antara realitas dan fiksi dalam pembuatan filmnya, seperti yang dapat terlihat dalam Sunshower (2024). Melalui film ini, ia melakukan eksplorasi terhadap realitas lanskap politik Indonesia melalui kegiatan sehari-hari kakek-neneknya di pedesaan selama pemilihan presiden. Dengan karya kreatif dan ilmiahnya yang berfokus pada politik bentuk dalam sinema Asia Tenggara, akademisi Dag Yngvesson menjadi moderator yang tepat untuk diskusi ini.
Diskusi DOC Talk Telusur Tutur mengulas atribut tematik dan estetika inti dari Sunshower (2024), serta aspek-aspek kreatif Boanerges di balik pembuatan film tersebut, termasuk perjalanan pribadinya sebagai mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Boanerges yang saat ini bekerja sendiri, rupanya terinspirasi oleh proyek akhir salah satu alumni terkemuka IKJ yang membuatnya juga tertarik untuk melakukan eksplorasi terhadap area abu-abu antara estetika, dokumenter, fiksi, serta penafsiran ulang realitas.
“Tugas akhirnya Riri Riza, Sonata Kampung Bata, yang cukup menjadi influence karena bermain di ranah-ranah (estetika) yang sama,” kata Boanerges. Kembali ke Sunshower (2024), Boanerges membahas berbagai elemen estetika yang dijumpai dan bagaimana elemen-elemen tersebut dihadirkan dalam film. Ada tiga tema inti yang dibahas dalam film ini: diskoneksi, stagnasi, dan ketidakpastian; semuanya secara estetis selaras dengan realitas politik Indonesia, tetapi disajikan melalui sudut pandang pribadi. Film Sunshower (2024) yang bergerak lambat, dengan adegan-adegan statis, sering kali dibicarakan sebagai simbol dari stagnasi politik yang terjadi di negeri ini sejak era reformasi setelah Orde Baru, serta diskoneksi politik antara generasi tua dan muda, termasuk di dalamnya soal ketidakpastian masa depan yang membebani.
“Estetika-nya (Sunshower) sendiri adalah bagaimana kondisi-kondisi pemilu (di Indonesia) itu digambarkan lewat situasi tidak pasti antara musim hujan dan musim panas,” kata Boanerges saat berbicara mengenai bagaimana latar musim pancaroba menjadi prinsip estetika utama dari Sunshower (2024).
Melalui DOC Talk Telusur Tutur, kita disuguhkan wawasan mendalam langsung dari seorang sutradara yang berbicara tentang karya dan refleksi estetik selama proses pembuatannya. Bagaimanapun, bahkan dari sudut pandang pembuat film, lapisan estetika baru—melalui nuansa dan sudut pandang yang tidak disadari—dapat membentuk film bahkan setelah pengambilan gambar. Hal ini sering kali baru disadari di kemudian hari, seperti yang diungkapkan oleh Boanerges, “Pasti ketika aku merekam, pasti ada pilihan-pilihan di bawah sadarku (yang membuatku bertanya) kenapa aku mau merekam seperti itu ya? Kepercayaan-kepercayaan (aku) penting juga, yang (saat itu) belum bisa dirasionalisasikan tapi mungkin (baru) dirasionalisasikan saat editing.”
Pada akhirnya, estetika sering kali dapat mendefinisikan sebuah film. Lagi pula, bagaimana mungkin sebuah film dokumenter bertempo lambat yang menggambarkan keseharian pasangan lansia dapat menangkap dan menggambarkan nuansa politik Indonesia dalam siklus pemilihan umum dengan begitu apik? Seperti yang dijelaskan oleh Boanerges tentang Sunshower (2024), “Estetikanya sendiri menjadi sebuah tawaran, bagaimana konteks dituturkan itu menjadi tawaranya ketika kamu menonton.”
Diliput oleh Aradi Ghalizha pada 3 November 2024 (Ed. Vanis/Trans. Naufal Shabri)