Ragam Visi Artistik dan Medium Sirkulasi Wacana dalam Lanskap: Bentang Sinema

— Berita
FFD 2024

Lanskap perkembangan film dokumenter Indonesia telah beranjak melampaui pakem-pakem pendekatan estetika tradisional. Di tengah era digital yang terus berkembang, sejarah sinema Indonesia perlu dipahami secara lebih terbuka. Keragaman praktik dan eksperimen baru menciptakan inovasi narasi dan bentuk visual yang melampaui batas-batas dokumenter konvensional. Berbeda dengan pendekatan kanon tradisional yang menekankan pada pencapaian puncak seperti film pemenang festival, sinema digital menawarkan bentuk yang lebih cair dan personal, menciptakan ruang bagi narasi yang lebih inklusif dan bervariasi. Program nonkompetisi di festival film menjadi sarana penting untuk memutuskan paradigma linier sejarah sinema. Kerja-kerja semacam ini menekankan proses kreatif yang terus berkembang, termasuk penggunaan arsip personal dan elemen baru seperti koreografi tubuh. Sejarah sinema harus dilihat sebagai sesuatu yang terus diproduksi, bukan hanya sebagai peristiwa besar yang tercatat.

Salah satu program nonkompetisi yang dihadirkan dalam FFD 2024, Lanskap: Bentang Sinema, memberikan kesempatan film-film dokumenter dengan ragam visi artistik menyirkulasikan wacananya ke ranah publik. Dalam program ini, terdapat empat film yang telah dikurasi oleh Akbar Yumni selaku rekan pengelola program Lanskap. Film-film tersebut yakni, OSMOSIA (Fioretti Vera, 2023), Outside the Frame (Micko Boanerges, 2023), Flow of Migrants (Arus Pendatang) (Wahyu Budiman Dasta, 2024), dan Three Parts of Life (Rela) (Bagaskara Dwitya Bima Asmara, 2024). Setelah sebelumnya ditayangkan pada sesi terakhir pemutaran di Ruang Seminar, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) (6/11/2024), keempat film tersebut ditayangkan kembali di Militaire Societeit, TBY pada sesi kedua (8/11/2024).

Setelah sesi penayangan keempat film program Lanskap: Bentang Sinema ini, para penonton dapat berinteraksi dan mengikuti sesi tanya jawab dengan para pembuat film. Dalam sesi ini hadir Fioretti Vera (Sutradara OSMOSIA), Wahyu Budiman Dasta (Sutradara Flow of Migrants), serta Bagaskara Dwitya Bima Asmara dan Hasan Faizal (Sutradara dan Produser Three Parts of Life). Sesi ini dimoderatori oleh Alia Damaihati, Direktur Festival FFD 2024.

Kerja-kerja kreatif di balik pembuatan film dokumenter, baik riset maupun produksi menjadi topik pertama yang menjadi pembahasan pada sesi ini. Hasan menceritakan keterlibatannya sebagai produser dalam proses pembuatan Three Parts of Life (2024) bersama Bagas. Awalnya, ia sedang mencari tempat untuk menginap karena tidak bisa pulang ke Demak, kota asalnya. Namun, ketika bertemu Bagas, Hasan ditawari proyeknya yang belum jadi (baca: film ini). Setelah pertemuan itu, mereka lantas merekam ulang beberapa adegan sebagai materi dokumenter dan berusaha mencari arsip keluarga yang lain, seperti surat dan buku harian. Sayangnya, dalam pencariannya di Kalimantan, di rumah masa kecil nenek Bagas, mereka tidak berhasil menemukan arsip-arsip yang dibutuhkan. Alhasil mereka mengambil tambahan rekaman peristiwa sehari-hari nenek Bagas, protagonis dalam dokumenter yang sedang mereka kerjakan.

Proses produksi yang dimulai pada awal tahun 2023 ini berusaha menceritakan ulang peristiwa dan luka dalam kehidupan nenek Bagas. Pertimbangan teknis tutur dalam penyampaian wacana yang dituju membuatnya berdiri di antara narasi subtil yang liminal sekaligus personal. Karena tinggal dalam satu rumah, dalam kesehariannya Bagas selalu dekat untuk berinteraksi dengan sang nenek. Ia juga mendapatkan cerita-cerita tentang anaknya–yang merupakan Ibu Bagas–yang menikah dengan lelaki pilihannya dan akhirnya berpindah kepercayaan. Memori itu diceritakan secara terus menerus oleh nenek Bagas beriringan dengan memori kehilangan orang yang dicintainya–suaminya. Namun, untuk menghindari bias, ia memilih untuk menciptakan sedikit jarak dari cerita-cerita tersebut. Ia kemudian mengambil sudut pandang liminal untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa tua maupun kesepian yang bakal kita alami di masa yang akan datang.

Di balik lanskap suara yang mendedah fenomena-fenomena kultural dalam Flow of Migrants (2024), secara teknis materi-materi yang siap diolah menjadi dokumenter sudah dikumpulkan sejak Agustus 2023. Saat itu, Wahyu bersama Luber (Van Luber Parensen) dan Hafiz Rancajale, mentor mereka di Milisifilem, mendapat tawaran kerjasama dari tim dokumenter dari Korea–yang salah satunya profesor audio–yang ingin merekam konteks air di beberapa negara. Di Indonesia, mereka ingin merekam pinggiran Jakarta dan membicarakan mengenai “Jakarta Tenggelam,” salah satunya di Kalibata Pulo, Jakarta Selatan. Rekaman yang dikumpulkan sejak 2023 tersebut menghasilkan hampir 60 arsip audio dan sekitar 30-40 rekaman video. Wahyu kemudian meneliti korpus arsip audio tersebut dan mengkurasi serta mengkolasekan rekaman-rekaman tersebut dalam bingkai film untuk menarasikan wacana kewilayahan.

Berbeda dengan Bagas, Hasan, dan Wahyu yang memiliki latar belakang sebagai pembuat film dan kerja-kerja audiovisual, Vera berangkat dari latar belakang seniman vokal (penyanyi). Ketertarikan dan rasa penasarannya terhadap pencipta lagu “Merah Putih” yang acapkali dinyanyikan dalam berbagai kegiatan membuatnya melakukan kerja-kerja riset arsip mengenai I Gde Dharna. Penelitian tersebut membuatnya berjumpa dengan salah seorang narasumber yang menceritakan mengenai sosok I Gde Dharna, bukan hanya sebagai sastrawan, melainkan juga pencipta lagu. Bahkan, arsip lagu yang terdapat di rumah I Gde Dharna mencapai 212 lagu, di samping lagu-lagu karyanya yang tidak terarsip dengan baik, seperti lagu “Buah Buni.” Dari berbagai korpus arsip dan observasi yang dilakukannya, Vera memilih matra audiovisual film dokumenter untuk mempresentasikan hasil kerja kearsipannya. Medium ini juga dipilih untuk merepresentasikan wacana yang ia susun untuk mengenalkan sosok I Gde Dharna sebagai maestro pencipta lagu yang erat dengan wacana keadilan ekologis.

Salah satu penonton dalam sesi ini, Isti, memberikan apresiasi untuk Bagas yang telah membuat film yang menurutnya sangat alami. Lantas, ia membandingkan Three Parts of Life (2023) dengan film (serial) Mbangun Deso (1988-2008) dengan tokoh Den Baguse Ngarso yang diperankan Susilo Nugroho. Isti juga mempertanyakan respons protagonis dalam film tersebut (nenek Bagas) ketika kehidupan personalnya direkam dan diabadikan dalam bentuk film. Selain itu, ia juga mempertanyakan tentang pemeran yang menampilkan repertoar performatif dalam OSMOSIA (2023) merupakan penari yang memiliki konsep sendiri atau koreografi yang dikonsep oleh Vera, sebagai sutradara.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Bagas menceritakan respons neneknya yang melihat film dokumenter tersebut sebagai kenangan peristiwa yang telah dilaluinya. Ia juga berharap film tersebut dapat ditonton dan dikenang generasi selanjutnya untuk mengingatnya. Vera kemudian juga menjelaskan bahwa pemeran dalam filmnya merupakan penyanyi dan penari. Berdasarkan arsip yang telah dikurasi, ia menyodorkan teks sudah disusunnya untuk dibedah bersama. Ia juga berkerjasama dengan koreografer dari Bali bernama Gusbang (Bagus Bang Sada) untuk menginterpretasikan teks ke dalam bentuk yang dikonsep oleh Vera.

Pertanyaan selanjutnya datang dari Yonri Revolt yang menanyakan alasan dan pernyataan sutradara mengenai visi artistik Vera dan Wahyu yang cukup radikal secara visual. Wahyu lantas menjelaskan proses kreatif dalam produksi film dokumenternya yang pada dasarnya mengutamakan konteks audio. Dari akhir 2013 hingga awal 2024, Wahyu bersama rekan-rekannya di Sigisora intens mendiskusikan mengenai cara kerja sensor yang timbul dalam ranah visual dan membandingkan perkembangannya dengan ranah audio di tahun 2024. Dari penelitian Sigisora, Wahyu mencoba menguji konteks audio dalam film. “Apakah konteks audio yang kita kenal semenjak bayi (bunyi), seperti apa sensori kesekarangannya? Itu ngomongin konteks wacananya kenapa ditampilkan lebih ke audionya dalam perspektif bingkai film,” tegasnya. Ia lantas menceritakan mengenai dramaturgi dan visi artistik yang digunakan sebagai metode penciptaannya yang juga ditampilkan (baca: merujuk) pada Expedition Content (Veronika Kusmaryati, Ernst Karel; 2020).

Selanjutnya, Vera menjelaskan pilihannya yang menampilkan arsip rekaman wawancara dengan bentuk visual vertikal dan menyerupai hologram dengan gambar pikselasi negatif glitch dan terus berkedip (flicker). Ia membayangkan gambar di dalam totem tersebut merupakan tayangan arsip di masa mendatang. Format vertikal dipilih untuk memberikan pengalaman seperti menonton reels di layar gawai. Wahyu memilih dialog sebagai bingkai sirkulasi wacana dalam filmnya dan mengujinya kembali konteks dialektika yang tersaji di lapangan. Menanggapi pertanyaan Nurul yang mempertanyakan pilihan estetika semacam itu, Wahyu menceritakan bahwa dalam prosesnya di Kampung Kalibata Pulo terdapat irama dialektika yang tersaji dari warga pendatang yang berasal dari berbagai daerah, salah satunya Makassar. Bunyi-bunyi itulah yang kemudian diolahnya menjadi hasil etnografi audio dari dialog-dialog yang beragam. Itulah yang menurutnya membuat konteks kewilayahan Jakarta padat.

Pertanyaan terakhir dalam sesi ini dilontarkan oleh Dwani yang mempertanyakan metode yang digunakan Bagas untuk membatasi kisah-kisah personal yang disajikan dalam filmnya. “Cara membatasi ini cukup membuatku kesulitan,” ungkap Bagas mengawali penjelasannya. Ia lantas berdiskusi dengan Hasan, selaku produsernya untuk menimbang-nimbang cara yang tepat untuk membatasi kisah personal agar tidak terlalu gamblang diceritakan di ruang publik. Alhasil, ia memutuskan untuk tidak menggunakan narasi yang dituturkan, melainkan menyajikan narasi lain melalui gambar-gambar bergerak yang ia hadirkan.

Program nonkompetisi dalam ruang festival memberikan kesempatan untuk ragam bentuk visi artistik film dokumenter hadir di permukaan. Film-film tersebut tayang dalam ruang yang lebih luas untuk menyirkulasikan masing-masing wacana yang dibawanya. OSMOSIA (2023) dapat mengenalkan sosok I Gde Dharna dan wacana ekologisnya melalui metodologi opera, Outside the Frame (2023) menampilkan percakapan alami tentang fasad kota dalam rekaman statis, Flow of Migrants (2024) mampu menghadirkan wacana kewilayahan yang padat melalui rekaman suara dalam tampilan layar yang gelap, dan Three Parts of Life (2024) membawa kita menyelami kisah personal seorang nenek dalam kolase-kolase tanpa suara.

Film dokumenter selalu memiliki cara untuk menyuarakan wacana yang sedang disuarakan pembuatnya. Kesempatan penayangan dan distribusi dampak menjadi ruang yang patut diekspansi lebih luas, salah satunya melalui program nonkompetisi seperti Lanskap: Bentang Sinema dalam FFD 2024.

 

Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 8 November 2024 (Ed. Vanis)