Di sore hari, di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, cahaya layar menyatu dengan gelegar tepuk tangan anak-anak muda yang hadir, masing-masing membawa rasa kagum dan apresiasi. Mereka datang untuk merayakan karya-karya dalam Program Kompetisi Pelajar, sebuah ruang untuk generasi muda kreatif untuk bereksplorasi. Di antara suasana penuh kegembiraan, salah satu sutradara pun mengucap, “Bisa membawa karya kami yang belum sempurna sampai ke Festival Film Dokumenter adalah sebuah kebanggaan.”
Para sutradara hadir sebagai perwakilan dari masing-masing film: Henge’dho (Sesilia Y. Y. Klaran, 2023), Roleplay (Daffa Aqilla Hanif, 2024), dan Tahapun (Marsheila Cantika Mataratu, 2023). Dalam sesi tanya jawab, mereka berbagi cerita di balik layar proses kreatif mereka. Adapun Mentari Sang Penakluk Gelombang (Ahmad Wildan, 2023) tidak diwakili oleh siapa pun karena berhalangan hadir, sementara Ua Tuak & Nalle Tasik (Marissa D.C.L. Tilman, 2023) diwakili oleh Amandus, camera person dan editor film tersebut.
Magnis P. Exela, selaku moderator, membuka diskusi dengan pertanyaan yang memantik antusiasme, menanyakan dari mana ide masing-masing sutradara berawal. Daffa bercerita bahwa inspirasi untuk Roleplay (2024) datang ketika ia mengetahui temannya terlibat dalam dunia tersebut. Sesilia, yang membawa kisah Henge’dho (2023), ingin agar penonton melihat Henge’dho bukan sekadar tradisi cium hidung, tapi sebuah ritual sarat makna. Marsheila, sutradara Tahapun (2023), ingin menghidupkan kembali syair tahapun, kebiasaan masyarakat Helo yang hampir punah di bawah arus zaman. Sementara itu, Amandus bercerita bahwa Ua Tuak & Nalle Tasik (2023) menyampaikan apresiasinya terhadap pohon lontar dan laut yang menjadi inspirasi mereka.
Pertanyaan pun berlanjut, mengarah pada mimpi dan harapan. “Apakah kalian melihat film sebagai jalur masa depan? Apakah ingin menjadi filmmaker?” Mereka mengakui perjalanan ini dimulai dari kepercayaan pihak sekolah yang memberi mereka tanggung jawab membuat film. Meski tertarik, mereka masih menjelajahi keinginan ini. Mimpi sekolah film mungkin ada, tapi masih menjadi teka-teki bagi mereka.
Seorang penanya lainnya ingin tahu, “Apakah membuat dokumenter ini mengubah pandangan kalian?” Mereka menjawab dengan jujur bahwa proses riset yang mendalam tentang tradisi, memahami pihak-pihak yang terlibat, serta pembelajaran dalam kolaborasi membuka mata mereka. Mereka sangat bersyukur dengan pengalaman yang mereka alami dalam proses ini. Sesi pun ditutup dengan dua kata sederhana dari seorang penonton, “Kalian keren,” ungkapan tulus yang seakan menyatukan mereka semua dalam apresiasi dan kebanggaan.
Festival Film Dokumenter 2024 menjadi saksi bahwa yang nampak dalam layar tak hanya medium hiburan, melainkan ruang bagi anak-anak muda (atau mungkin kita semua) untuk merajut impian dan menyuarakan harapan.
Diliput oleh Tirza Kanya pada 7 November 2024. (Ed. Vanis)