“Pagelaran yang identik dengan melihat, malah dilakukan oleh orang yang tidak bisa melihat. Apa yang mereka lakukan menjadi sesuatu yang sangat berkesan,” itulah impresi yang disampaikan Moses, salah satu penonton, setelah melihat The Unseen Words (Wahyu Utami Wati, 2017). Film ini merupakan salah satu film yang ditayangkan dalam seri program Lanskap, sub program Ordinary/Extraordinary bersama If… (Diva Suukyi Larasati, 2019), Diaspora (Ivonne Kani, 2015), The Crowded Bridge (David Darmadi, 2016), dan Children of Rapa’i Plok (Nursalliya Ansari B., 2017). Kelima film ini ditayang pada slot pertama pemutaran film di IFI-LIP Yogyakarta pada Rabu, 6 Desember 2023.
Narasi-narasi kecil dan mendasar sering kali tak terlihat dan berjarak. Ruang-ruang tersebut berusaha ditilik secara lebih dekat untuk melihat dan menyuarakan ragam isu yang seringkali tak terdengar. Kelima film tersebut merupakan usaha memotong jarak pandang terhadap persoalan sosial dan personal yang jarang dilirik, padahal melekat di sekitar kita.
The Unseen Words (Wahyu Utami Wati, 2017) mengisahkan semangat anggota sanggar penyandang tunanetra, Distra Budaya yang tetap berlatih ketoprak di tengah sepinya pementasan. Semangat mereka tak kunjung padam meski ruang pentas yang mereka miliki tak begitu banyak. Alhasil, semangat tersebut menghasilkan ide untuk mengalihwahanakan pertunjukan ketoprak mereka ke platform digital (Youtube) agar menjangkau lebih banyak penonton. Sedangkan Diva, melalui If… (Diva Suki Larasati, 2019) mengisahkan usahanya untuk mengenal ayahnya, Munir, yang hilang hingga sekarang. Ia pun mengungkapkan waktu-waktu yang hilang dalam usahanya tersebut melalui berbagai isyarat. Dalam Diaspora (Ivonne Kani, 2015), Ivonne secara personal mengisahkan perjuangannya di negeri orang untuk menghindari kerusuhan yang mengancam etnisnya dalam lanskap konflik politik negara.
Narasi sosial yang jelas tapi sering tak terlihat juga dikisahkan David Darmadi lewat film The Crowded Bridge (David Darmadi, 2016). David berusaha meneropong secara lebih dekat aktivitas penambang pasir di bawah Jembatan Gunung Nago, Kelurahan Lambung Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat. Melalui film ini, penonton diajak untuk merasakan suasana aktivitas penambangan pasir dan merenungi fenomena sosial–yang lekat tapi liminal–berlangsung setiap harinya. Film terakhir yang ditayangkan, Children of Rapa’i Plok (Nursalliya Ansari B., 2017), menyuarakan permasalahan kontradiktif dalam melestarikan rapa’i, alat musik pukul khas Aceh. Di satu sisi anak-anak tak boleh sembarang menyentuh rapa’i karena nilainya yang mahal. Namun, di sisi lain permainan alat musik ini musik mesti terus dilestarikan oleh generasi mendatang.
Setelah sesi penayangan film, dilaksanakan sesi tanya jawab yang menghadirkan para pembuat filmnya. Mereka yang hadir dalam sesi ini adalah Wahyu Utami (Sutradara The Unseen Words), Ivonne Kani (Sutradara Diaspora), Nursalliya Ansari B. (Sutradara Children of Rapa’i Plok). Dalam sesi ini Moses Parlindungan Ompusunggu yang saat itu menonton menyampaikan berbagai impresinya terhadap masing-masing film. Selain itu, ia juga bertanya kepada Wahyu mengenai alasan tidak disuguhkannya pagelaran ketoprak di akhir film. Menanggapi pertanyaan tersebut, Wahyu menjelaskan bahwa alasannya tidak menampilkan pagelaran dalam ketoprak dalam filmnya adalah agar penonton yang tertarik langsung menonton di kanal Youtube Distra Budaya. Ini merupakan upayanya pula untuk menaikkan penonton dan pelanggan kanal tersebut.
Bahasa film dari narasi personal yang membawa isu tentang masyarakat yang termarjinalkan dengan sangat kuat menjadi tawaran yang menarik dari film-film yang ditayangkan. Alih-alih pretensius dan eksploitatif, film-film tersebut membawakan narasi dengan bahasa yang jujur. Oleh karena itu, Manshur Zikri dari Jurnal Footage menanyakan kelanjutan masing-masing pembuat film menghadirkan kembali proyek baru. Menanggapi pertanyaan tersebut, Wahyu dengan semangat menjawab bahwa pada bulan Januari ia akan membuat film dokumenter lagi. Wahyu melanjutkan ia merasa harus memiliki tanggung jawab dan menjaga relasi degan subjek dalam setiap pembuatan dokumenter. Sedangkan Ivonne dan Nursalliya mengatakan bahwa sedang berencana untuk membuat film dokumenter. Dengan kompak, secara bergantian mereka mengatakan, “OTW, Kak!” Nursalliya berharap tahun depan ia dapat mengerjakan proyek dokumenternya.
Pada akhirnya, suara-suara yang tak terdengar dan personal lamat-lamat dapat tersalurkan lewat kelima film yang ditayangkan dalam program Lanskap Festival Film Dokumenter 2023. Dalam hal ini, selain tayangan visual sinema, dokumenter berhasil menjadi penyambung lidah suara-suara yang sering tak terdengar masyarakat luar. Alhasil, film dokumenter menjadi media yang komprehensif dan cukup kritis untuk dipahami. Melalui film dokumenter pula semua narasi dan wacana dapat didengar, dilihat, hadir, dan terwakili.
Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 6 Desember 2023.