Relasi manusia dengan dunia kecilnya adalah hal yang terus menerus lahir: ikatan itu berkelindan, menjadi hubungan yang layak untuk disiar-dengarkan. Kasih ibu-anak yang berselisih, kebutuhan manusia atas bumi dan isinya, serta tradisi yang ingin terus dibawa hingga langgeng. Empat kisah terangkum dengan intim dan hangat dalam Lanskap: Rasi Relasi. Penayangan film A Way of Life (2024), Butterfly on a River (2024), SIE… (2024), dan The Other Daughter (2024) dalam program Lanskap: Rasi Relasi telah dilaksanakan di Gedung Societeit Taman Budaya Yogyakarta pada 7 November 2024 pukul 19.00 WIB.
Setelah pemutaran selesai, para penonton berkesempatan untuk mengikuti sesi tanya jawab bersama para pembuat film. Telah hadir Ifdhal Permana selaku sutradara dan Suryani Liauw selaku produser film A Way of Life (2024), Ulfa Evitasari selaku sutradara dan Rahmawati Addas selaku produser film Butterfly on a River (2024), Yosef Levi selaku sutradara dan Elsyn Puka selaku produser film SIE… (2024), Fala Pratika selaku sutradara dan Fadhilla Ristianty selaku produser film The Other Daughter (2024). Keempat film dalam program Lanskap: Rasi Relasi ini merupakan buah dari lokakarya Indonesia Documentary Lab (IDOCLAB) 2023 yang diinisiasi oleh Forum Film Dokumenter dengan dukungan Kemendikbudristek RI.
Penayangan film dibuka oleh Kurnia Yudha F., Direktur Program IDOCLAB, dan Marlina Y. Machfud, Pamong Budaya Kementerian Kebudayaan RI. “Saya ingin mengapresiasi Mas Yudha yang selama dua tahun sudah berkolaborasi dengan Kementerian, dan Direktur Festival Film Dokumenter, Mbak Alia Damaihati.” ujar Marlina disambut riuh tepuk tangan penonton, “Selamat, festival ini sudah berjalan selama 23 tahun.”
Penayangan empat film program Lanskap: Rasi Relasi disambung dengan sesi tanya jawab bersama para pembuat film yang hadir. Berikut adalah rangkuman sesi tersebut.
Saya tertarik dengan film SIE… (2024) Dalam film SIE… (2024), sutradara konsisten menggunakan suara tetesan air. Kenapa memutuskan untuk menggunakan suara tetesan air alih-alih suara kambing?
(Yosef) Kami sempat berdiskusi untuk menentukan suara. Kami berpikir, bahwa air merupakan simbol kehidupan. Dalam film ini, ditunjukkan suara tetesan dengan visual video tetesan air, yang menandakan bahwa arus air sudah kering dan hanya menyisakan sisa-sisa tetesan saja.
Film The Other Daughter (2024) terasa seperti otoetnografi karena Kak Fala menceritakan tentang kisah diri sendiri. Bagaimana reaksi ibu dan nenek ketika film ini sudah selesai?
(Fala) Sebelum Ibu merencanakan ke Inggris, saya sudah sempat merekam keseharian Ibu dan bagaimana kami berinteraksi. Mungkin salah satu privilese yang aku punya adalah bagaimana Ibu dan saya bisa dengan terbuka membicarakan sebuah masalah bersama. Mulanya kami sama sekali tidak dekat, tapi beberapa tahun terakhir saya bisa berdialog dengan ibu secara intens meskipun tidak hangat. Ada beberapa perubahan juga dari ibu saya–bagaimana ibu saya adalah orang yang pertama kali sadar bahwa saya memiliki permasalahan mental. Ketika film sudah selesai, saya video call dengan Ibu, beliau bilang dia terharu. Pendekatan dengan Nenek berbeda. Dalam program IDOCLAB ada lokakarya riset sebelum pengambilan gambar, saya belajar untuk memulai merekam beliau. Beliau nanya, mau bikin film tentang apa? Saya jawab, mau bikin video, biar kalau Ibu pergi (ke Inggris), kita udah ada video bareng. Saya belajar membangun kedekatan yang baru lagi dengan nenek saya.
Terkait dengan surat dalam adegan The Other Daughter (2024), mengapa sutradara tidak menampilkan surat secara eksplisit? Bagaimana proses kurasi surat-surat tersebut?
(Fala) Saya melakukan sensor pribadi karena saya memilih kalimat yang membuat saya tersentuh dan bisa menggambarkan situasi nenek saya pada saat itu. Orang zaman dulu berkomunikasi dengan surat––jadi banyak sekali situasi yang digambarkan dalam surat, seperti ‘saya mau ujian’, dan sebagainya. Saya memilih kalimat-kalimat yang mempresentasikan kondisi pada saat itu. Dalam proses kurasi surat, saya menemukan kalimat yang mengimplikasikan bahwa nenek saya tidak pernah bahagia selama hidupnya. Saya menemukan itu pada tahun 2019–saya pun belum bahagia saat itu. Saat itu, saya berpikir, mungkin saja itu alasan saya tidak berbahagia–ibu saya diasuh oleh orang yang tidak berbahagia. Bagaimana bisa saya bahagia? Kalimat tersebut mendorong saya untuk bertanya, ketidakbahagiaan ini muncul dari mana, ya? Keberanian itu membuat saya mencoba mengulik lagi surat-surat lainnya. Pilihan saya jatuh pada surat yang cukup menggambarkan kondisi ibu dan nenek saya.
Mengapa fokus film A Way of Life (2024) diarahkan pada Ello?
(Ifdhal) Kami memutuskan untuk banyak membicarakan soal Ello karena tradisi waya masapi akan dilanjutkan oleh dia. Pada saat yang bersamaan, ketika Ello lulus SMA, Ello juga memiliki cita-cita untuk keluar dari Desa Tentena. Ketika kami dalam proses mengambil gambar dan mengedit, kami menemukan dinamika Ello menarik untuk dimasukkan dalam film.
(Sur) Ketika proses syuting, kami melihat bahwa sosok Ello lebih menarik untuk diikuti ceritanya. Di satu sisi Ello sayang pada tradisi waya masapi dan punya keinginan untuk meneruskan tradisi, tapi di sisi lain Ello punya cita-cita untuk melihat dunia.
(Ifdhal) Ternyata, kami juga baru tahu setelah proses penyusunan film, pewaris pengetahuan waya masapi mulai dari mengganti bambu, mengikat tali-tali di pagar, itu memang hanya Ello. Waktu itu sempat kami tanya, kalau kau keluar dari Tentena, siapa yang akan melanjutkan waya? Mereka tidak punya kemampuan yang sama seperti kau. Itu yang menjadi dilemanya Ello. Hal inilah yang menjadi menarik untuk ditunjukkan dalam film.
Apa kesulitan dari penyusunan film Butterfly on a River (2024)?
(Ulfa) Kendala utamanya sebenarnya buaya. Sungai Mandar terkenal dengan banyak buaya. Warga di sana percaya bahwa buaya adalah saudara mereka, Sedangkan kru film yang baru datang tidak bisa asal turun ke sungai. Ada beberapa momen di mana kami dilarang untuk turun ke sungai, padahal kami ingin mengejar momen ketika Sa’diang turun ke sungai. Saat itu buaya dianggap sedang tidak baik-baik saja. Kami sempat mengambil gambar buaya, tapi kami sulit mencocokkan bagian tersebut dengan kebutuhan film.
Karena film ini terasa sangat hangat dan intim meskipun bukan diproduksi oleh pihak keluarga, bagaimana jalinan relasi protagonis dengan sutradara dalam Butterfly on a River (2024)?
(Ulfa) Suatu hari, perasaan saya amburadul. Saya memutuskan untuk bersepeda motor, mengitari jalan dekat Sungai Mandar, dan di saat itulah tak sengaja saya melihat Sa’diang berenang di Sungai Mandar. Saat itu saya terkejut dan penasaran, bagaimana bisa ada perempuan seberani itu di sungai yang banyak buayanya? Saya menelusuri, mencari tahu di mana Sa’diang tinggal dan bagaimana keluarganya. Saya sudah mengenal Sa’diang sudah beberapa tahun, tapi keberanian untuk membuat film tentang dia tahun lalu (2023). Pekerjaan passauq wai (pengumpul air) memang turun temurun dan ada beberapa perempuan yang juga berenang di Sungai Mandar.
Setelah film selesai, apa dampak bagi sutradara?
(Fala) The Other Daughter merupakan dokumenter pertama saya. Kami merasa lega atas selesainya film ini. Dampak bagi saya setelah film ini selesai adalah saya jadi dekat dengan adik dan ayah setelah ibu saya pergi ke Inggris. Ternyata dokumenter bisa jadi sarana carework.
(Fadhilla) Setelah film selesai, akhirnya saya bisa tidur dan merasa lega. Perjalanan pembuatan film ini cukup panjang. Banyak sekali konflik yang harus dihadapi ketika pascaproduksi. Dalam lokakarya IDOCLAB sendiri sudah dibahas mengenai mitigasi risiko. Sempat tim produksi nge-down. Namun, dengan hambatan yang ada, kami berhasil menyelesaikan proyek ini.
(Yosef) Saya merasa lega dan saya berterima kasih banyak kepada teman-teman saya. Saya lama tinggal di Papua, tapi karena menjalani proses produksi film, saya jadi pulang ke Maumere dan lebih dekat dengan kebun dan orang tua saya. Pascaproduksi film, mama saya meninggal. Bagi saya, film ini menjadi arsip bagi anak cucu kami.
(Elsyn) Ketika menyusun film, saya pusing dengan keuangannya. Ternyata, dibutuhkan kerja sama dan kesepakatan dua arah. Seluruh kru juga harus disiplin. Awalnya, kami mau mengundurkan diri dari program IDOCLAB ini karena sempat putus asa. Namun, dari produksi film ini, saya mendapatkan pengalaman-pengalaman dan koleksi-koleksi baru. Kami berhasil membulatkan tekad untuk menyelesaikan film ini.
(Ifdhal) Sejauh saya memproduksi film, film ini punya proses produksi paling menyenangkan, yang sejak 2019 saya inginkan. Dan saya tidak menyangka dengan berlangsungnya proses produksi yang seperti ini. Terima kasih untuk pihak-pihak yang membantu kami.
(Sur) Saya merasa senang dan penuh harapan atas tradisi waya masapi supaya bisa terus bertahan. Kami sudah melalui satu proses belajar bersama yang panjang, tidak hanya Ifdhal dan saya, tapi juga seluruh kru punya kesempatan belajar bareng. Harapannya, saya dan Ifdhal terus bisa jalan bekerja bersama ke depannya. Terima kasih.
(Ulfa) Saya merasa sangat bersyukur. Ketika saya mengenal Sa’diang, keluarganya, dan Sungai Mandar, tidak ada alasan untuk tidak membuat film tentang Sa’diang. Ketika ingin mewujudkan film ini, prosesnya memang tidak mudah dan penuh dengan halang rintang. Kami sangat bersyukur, banyak sekali konflik yang dilewati sampai akhirnya bisa sampai di malam pemutaran film ini.
(Addas) Tim produksi sampai belajar bahasa Mandar untuk bisa melakukan komunikasi dengan subjek film. Ini proyek yang sudah dijalankan dari tahun 2021 dan didasarkan dari tugas akhir Ulfa, judulnya Perempuan Mandar. Medium film ini air–tidak jauh-jauh dari kata refleksi. Dalam pembuatan film, kami kadang berkonflik dan saling memaafkan. Jatuh bangun menyelesaikan film ini, bahkan sampai sempat ke psikolog demi menyelesaikan apa yang sudah kami mulai. Karena merasa semakin dekat dengan subjek film, kita akan semakin banyak berekspektasi. Sa’diang Harus Pulang (Butterfly on a River, ed.) adalah produk kedua kami. Tahun 2018 kami ke Taman Budaya Yogyakarta untuk penonton, dan tahun ini kami datang sebagai pembuat film.
Banyak hambatan yang dialami secara mutual oleh para kru dari empat film hasil lokakarya IDOCLAB 2023–meskipun mereka menyorot hal-hal yang beragam dan berbeda. Proses produksi dihiasi oleh berbagai gesekan. Meskipun demikian, rasa cinta kasih dan perasaan bertanggung jawab atas pekerjaan yang sudah dimulai mendorong seluruh tim produksi untuk menyelesaikan proyek penyusunan film. Penayangan Lanskap: Rasi Relasi ditutup dengan pengambilan foto bersama audiens.
Diliput oleh Tuffahati Athallah pada 7 November 2024. (Ed. Vanis)