Sebagai bagian dari pameran On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing, diskusi ini akan membahas bagaimana narasi personal berhubungan dengan pergulatan politik yang lebih luas. Arief Budiman dan Wulan A. Putri akan membahas karya mereka, yang mengeksplorasi hubungan antara ekologi, identitas, dan ketegangan sosial-politik di Papua. Melalui dokumenter Tutaha Subang, Dongeng untuk Anakku, Wulan menghadirkan pendekatan ekofeminis terhadap ekosida dan transmisi pengetahuan di tanah suku Awyu. Sementara itu, Arief menelusuri hubungan antara ingatan, sejarah, dan lanskap Papua dalam rekaman yang mempertemukan keindahan alam dengan realitas sosial-politik yang kompleks.
Sore hari menjelang waktu berbuka, Sabtu (22/3/2025), ruang depan Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat ramai dengan para pengunjung. Mereka berkumpul untuk mengikuti acara wicara seniman bertajuk Godaan Kota Emas yang membahas mengenai karya-karya Arief Budiman dan Wulan A. Putri yang mengeksplorasi mengenai persoalan di Papua dalam isu ekologi, identitas, dan ketegangan sosial-politik di sana. Acara ini merupakan bagian dari pameran On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing.
Arief dan Wulan masing-masing akan membahas karya mereka yakni A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (Wulan Putri, 2024) dan Kota Emas (Arief Budiman, 2025). Wulan, melalui dokumenter A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024) menghadirkan pendekatan ekofeminis yang menyoroti ekosida dan pewarisan pengetahuan di tanah suku Awyu. Sementara itu, Arief mengeksplorasi keterhubungan antara ingatan, sejarah, dan lanskap Papua, memadukan keindahan alam dengan realitas sosial-politik yang kompleks. Sebagai penanggap, hadir pula Sekar Banjaran Aji selaku produser A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024) sekaligus juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Wicara seniman sore itu dipandu oleh Pitra Hutomo yang membuka acara dengan memberikan pengantar diskusi dan langsung memberikan kesempatan kepada masing-masing seniman untuk menceritakan karyanya. Arief lantas menceritakan proses kreatif pembuatan Kota Emas (2025) yang merupakan karya keempatnya yang membicarakan persoalan Papua. Sebelumnya, karya pertamanya tayang pada tahun 2020 dalam acara Asana Bina Seni Biennale Jogja.
Pada tahun 2021, karyanya yang berjudul Di Tanah Orang Papua dipamerkan dalam Biennale Jogja. Di tahun yang sama, ketertarikan Arief terhadap Papua membuatnya ditawari untuk mengikuti program residensi seniman Biennale Jogja. Itulah kali pertama Arief menginjakkan kaki di tanah Papua. Pengalamannya dalam residensi tersebut kemudian menjadi latar belakang lahirnya film Kota Emas (2025).
Pertemuan Arief dengan orang-orang Papua secara langsung membuatnya melihat banyak persoalan kejahatan dan perampasan lahan. Pada saat itu ia datang ke Timika, tepatnya di daerah Gorong-gorong, daerah tempat warga lokal mencari limbah tailing. Dalam perjalanannya Arief juga mendatangi Kerom, tempat perusahan sawit pertama masuk ke Papua yang menjadi impresi yang melekat padanya hingga saat ini.
Arief kemudian menceritakan ketika ia diminta Kurnia Yudha F. (Forum Film Dokumenter) dan Mira Asriningtyas (Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat) untuk membuat satu karya baru yang akhirnya memantulkan kembali refleksi atas perjalanannya pada tahun 2021 di Papua. Dalam karya ini, Arief bekerjasama dengan Edi, seorang seniman Papua dari Merauke yang memiliki ketertarikan yang sama dengannya dalam bidang videografi yang membantunya dalam membangun narasi cerita dan pengisi suara.
Ketika di Papua, Arief banyak bertemu dengan tokoh agama Kristen, agama mayoritas di Papua. Pertemuan tersebut membuat Arief mengenal sosok Izaak Samuel Kijne, seorang missionaris/zending yang datang ke Papua pada tahun 1928. Kijne juga merupakan seorang penulis kumpulan cerpen yang judulnya diambil Arief sebagai judul filmnya, Kota Emas.
Di sisi lain, Arief merasa waktu residensi di tanah Papua yang diberikan padanya terlampau sempit. Jatah residensi yang semula hanya 2 minggu, ia teruskan hingga 3 bulan. Dari residensi tersebut, Arief membuat sebuah tulisan sebagai ulasan perjalanannya di Papua dan sebuah karya yang telah dipamerkan pada festival Biennale Jogja.
Dalam residensinya, Indonesia Art Movement menjadi tuan rumah bagi Arief selama ia berada di Papua. Namun, rasa keingintahuannya terhadap berbagai isu dan permasalahan kompleks di Papua membuatnya memutuskan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan Papuan Voice. Di sana, ia bertemu dengan lebih banyak seniman dan aktivis. Salah satunya adalah seorang aktivis dari Nduga bernama Kaka Raga, yang kemudian menjadi alasan munculnya dialog “pernahkah tinggal di hutan?” dalam film Kota Emas (2025).
Kaka Raga bercerita tentang penduduk Nduga yang telah bertahun-tahun mengungsi akibat konflik bersenjata, bahkan harus tinggal di hutan selama berbulan-bulan. Berdasarkan risetnya, Arief menemukan adanya pola yang serupa dalam pendudukan agraria di berbagai wilayah, salah satunya di Intan Jaya: yaitu penciptaan konflik melalui narasi keberadaan TPN/OPM di daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah. Daerah-daerah ini kemudian dijadikan sebagai wilayah konflik, yang pada akhirnya membuat warga terusir dari tanahnya sendiri.
Selepas Arief, Wulan kemudian menceritakan proses kreatif dan isu di balik lahirnya karya A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024). Film tersebut dilatarbelakangi pertemuannya dengan Sekar Banjaran Aji yang akhirnya menjadi produser film ini. Film ini merupakan kolaborasi bersama Perempuan Berkabar dengan Greenpeace, Pusaka, dan Project Multatuli. Proses saling silang interaksi membuat Wulan mengenal beberapa aksi dari Greenpeace, materi riset Pusaka, ada buku Mama ke Hutan (Rassela Malinda, 2021: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat). Buku laporan tersebut akhirnya mempertemukannya dengan cerita tentang Kaka Rika (Rikardaa Maa), seorang perempuan suku Awyu Kampung Ampera.
Cerita Wulan lantas dilanjutkan oleh Sekar yang menjelaskan proses advokasi dan kampanyenya di Papua sebelum akhirnya bertemu Wulan untuk mengerjakan A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024). Ketika melakukan advokasi di Bouven Digul, ia bertemu suku Awyu dan lantas mempersiapkan gugatan bersama mereka untuk menolak dibukanya lahan sawit. Ketika bertemu Wulan, Sekar meminta bantuan kepadanya untuk menceritakan isu dan perjuangan tersebut melalui sisi dan sudut pandang lain–perempuan. Sudut pandang ini digunakan untuk menggaet lebih banyak orang agar lebih dekat dengan isu ini. Keputusan tersebut menurut Sekar merupakan keputusan yang penting. Karena setelah kisah Hendrikus Woro yang melayangkan gugatan ke pengadilan menjadi viral berbagai media, film-film Wulan melengkapi kepingan narasi. Karena menurut Sekar tidak semua dapat diceritakan melalui perjuangan legal, khususnya melalui sudut pandang laki-laki.
Setelah penjelasan proses kreatif masing-masing karya Arief dan Wulan serta tanggapan yang disampaikan oleh Sekar, Pitra lalu membuka sesi tanya jawab. Pertanyaan pertama muncul dari Cita yang menanyakan cara mengomunikasikan keberadaan dan ketidakberadaan orang Papua dalam membuat karya yang menyuarakan isu Papua. Cita penasaran dengan cara untuk mengelola tegangan tersebut.
Pertanyaan tersebut lalu ditanggapi oleh Arief yang sudah merasakan adanya tegangan tersebut sebelum berangkat ke Papua. Namun, Arief menjelaskan bahwa ia memiliki kesadaran untuk tidak hanya menjadikan orang Papua sebagai objek maupun subjek dalam karyanya, melainkan teman bekerja. Ia mengelaborasikan bersama cerita yang akan disampaikan untuk menghindari bias informasi. Walaupun sempat ada penolakan karena dianggap orang asing, tetapi ia dapat mencairkan hubungan dengan obrolan komunikatif.
Perbedaan latar belakang menurut Wulan perlu dilihat secara lebih ekstensif karena tidak selamanya semua berbeda. Ada pengalaman-pengalaman dalam konteks lain untuk dicarikan jembatan, dalam konteks ini menjadi seorang perempuan. Wulan kemudian menarasikan ulang cerita subjek (narasumber) dan mengemasnya dalam bentuk lain. Ia melakukannya tanpa mencerabut esensi cerita pengalaman perempuan Papua yang mengalami militerisme seperti dalam kisah Kaka Rika.
Pertanyaan kedua hadir dari Anan yang penasaran dengan proses kreatif seniman yang melibatkan dan membahas isu mengenai orang Papua. Ia mempertanyakan relasi kekaryaan dengan situs di tempat asal dan validasi atas representasi karya. Ia juga menanyakan mengenai proses pelibatan warga, “Apakah partisipatoris atau partisipatif?”
Terkait praktik kekaryaannya, Wulan menjelaskan dalam prosesnya ia menjadikan Kaka Rika bukan hanya sebagai objek, melainkan subjek pelaku dalam A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024). Dalam film ini, ia menggunakan arsip foto untuk menjelaskan peristiwa di lapangan dengan melibatkan komunitas subjek. Arief menyambung dengan menceritakan pertemuannya dengan Edi sebelum ia berangkat ke Papua untuk meminta saran mengenai cara bersikap di sana. Sedangkan, dalam proses produksi Kota Emas (2025), banyak cerita Edi sebagai orang Papua yang sudah lama tinggal di Jawa disampaikan. Meskipun begitu, Arief tetap mengonfirmasikan ulang kepada Edi sebagai subjek untuk menghindari bias narasi. Perihal karya partisipatoris, Arief sempat menggunakan metode itu bersama Wowo (Wok The Rok, ed.) sebagai produser. Namun, setelah proses berjalan mereka melibatkan subjek dan komunitas untuk bekerja bersama dalam karya tersebut.
Menanggapi hal itu, Sekar menjelaskan ketika merancang kampanye dan strategi advokasi ia memastikan mengenai konsensus dalam pengambilan gambar dan video sebagai material karya. Ia juga mengomunikasikan mengenai cara pandang yang diinginkan oleh subjek untuk menghindari anggapan yang buruk, seperti permintaan Hendrikus Woro yang menginginkan dipotret melalui sudut pandang yang bermartabat. Selain diskusi bersama dan konsensus, menurut Sekar penting juga untuk memupuk solidaritas. Karena dalam proses ‘melawan’ yang dilakukan bersama, di sisi lain subjek yang mereka lawan adalah saudara mereka sendiri yang telah terkooptasi. Itu pula yang ia jaga dalam proyeknya, khususnya A Tale for My Daughter (Tutaha Subang) (2024), agar tidak mendapatkan respons yang menghilangkan makna utama dengan memitigasi resonansi.
Menurut Pitra, ada tantangan untuk seniman untuk melihat persoalan sebagai sebuah objek yang perlu dikawal agar tidak tercerabut dari akarnya dalam kontestasi geopolitik. Alhasil, penting untuk seniman dalam menyuarakan isu melalui seni tanpa menjadi ekstraktif dan mengeksotisasi subjek dan objek dalam isu tersebut.
Pertanyaan terakhir muncul dari Jessica yang menanyakan mengenai pelibatan perwakilan orang Papua dalam diskusi pada sore itu. Ia juga menanyakan mengenai proses interaksi yang akhirnya dirangkai sebagai material cerita. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Wulan dengan menjelaskan pilihannya untuk menggunakan format surat untuk mengekspresikan subjek (Kaka Rika) dalam Tutaha Subang. Format tersebut dipilih untuk mengekspresikan tegangan ketakutan Kaka Rika mengenai masa depan sebagai seorang ibu. Sedangkan mengenai pelibatan perwakilan orang Papua, sebenarnya mereka telah diundang, tetapi memang belum ada yang dapat hadir.
Sesi wicara seniman ini merupakan bagian dari pameran On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing yang diadakan di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat hingga 18 April 2025. (Ahmad Radhitya Alam)