Dalam kesempatan kali ini, Tim Publisis Festival Film Dokumenter mendapat kesempatan untuk mewawancarai Sandeep Ray, seorang pembuat film dokumenter, penulis, reviewer, dan pengajar di STUD-HASS. Keterlibatannya dengan FFD sejak 2008 membuat perspektifnya mengenai program Kompetisi sangat luas. Berikut adalah hasil wawancara kami dengan salah satu juri dalam Kompetisi Panjang FFD 2017 ini.
Bagaimana awalnya keterlibatan anda menjadi juri dalam program Kompetisi?
S: Saya membuat film dokumenter beberapa kali, saya juga mengajar, menulis review, saya juga sudah terlibat dengan FFD selama kurang lebih 9 tahun, sudah beberapa kali di sini dan sangat senang bisa kembali.
Bagaimana perkembangan film dokumenter dalam beberapa tahun terakhir?
S: Tentu saja kita mengetahui kalau perkembangan terbesar (dalam film dokumenter) terjadi sekitar 15 tahun lalu saat kamera digital mulai terjangkau, semua orang bisa memilikinya. Sekarang juga mulai banyak sekali produksi (film dokumenter). Ini terjadi di mana-mana di seluruh dunia.
Kini, orang-orang lebih memilih untuk membuat film yang lebih pendek karena cepat selesai, cepat untuk diupload secara online dan keuntungan terbesar dari teknologi yang tidak mahal adalah kita bisa membaca atau membeli sesuatu untuk disimpan lebih lama membuat lebih memungkinkan untuk memproduksi dokumenter dalam format panjang. Tapi, saya perhatikan lagi di Indonesia produksi dokumenter panjang tidak sebanya film pendeknya.
Adakah kesamaan gaya atau topik dalam produksi film dokumenter dalam beberapa tahun terakhir?
S: Tidak juga. Saya pikir banyak sekali keragaman topik yang diangkat dalam film dokumenter. Tapi, memang orang-orang berfokus pada isu-isu politik karena itu yang terjadi saat ini. Dokumenter juga lebih berfokus pada isu-isu sosial daripada kehidupan keseharian. Kadang cara mendokumentasi dari setiap pembuatnya juga berbeda-beda yang membuat dokumenter makin beragam.
Topik apa yang sebenarnya mungkin diangkat di film panjang dokumenter, tapi jarang diangkat, atau malah tidak pernah diangkat?
S: Saya pikir kisah-kisah mengenai seni, isu-isu politik masih mendominasi film dokumenter. Sebelumnya ada pengaruh antropologi dan etnografi dalam dokumenter, orang-orang memproduksi film dokumenter mengenai daerah tertinggal dan kehidupan di sana, tapi mungkin kini orang-orang tidak lagi tertarik pada isu-isu tersebut dan lebih tertarik pada sesuatu yang lebih kompleks jadi itu mungkin yang menjadi alasan mengapa isu politik ramai diangkat dalam film dokumenter.
Kendala apa yang biasanya muncul secara identik dalam film dokumenter panjang?
S: saya pikir tidak ada kendala apapun karena tiap film memliki cirinya dan kisahnya masing-masing. Kemarin saya menonton film dokumenter yang bagus sekali berjudul Phantom of Illumination dan film itu ada di kategori dalam film yang mengangkat isu politik, namun dengan cara yang begitu halus dan memiliki beberapa cara di mana dia tidak terlihat seperti film dokumenter karena cara membuatnya. Film tersebut merupakan sebuah karya seni yang terlihat seperti berada di antara fiksi dan dokumenter, mengaburkan batas-batas antara fiksi dan dokumenter. Membuat kita sadar bahwa pengkategorian ini tidaklah penting, walaupun di beberapa titik ciri dokumenternya masih terasa kental seperti cerita yang tidak dibuat-buat dengan karakter sebenarnya.
Kesan anda setelah melihat beberapa film kompetisi?
S: Jadi, saya merupakan salah satu juri dari program Kompetisi Kategori Panjang tahun ini. satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tahun ini saya tidak menemukan film Indonesia dalam kategori Panjang. Saya mengerti ada keputusan yang adil pada proses kurasi yang artinya ada pertimbangan bagus atau tidaknya film untuk menjadi finalis dalam kategori ini.
Mengesampingkan hal tersebut, saya pikir film-film yang masuk dalam nominasi adalah film yang begitu bagus. Dengan tema besar Post-Truth yang diangkat, film nominasi telah menggambarkan keadaan Post-Truth dengan baik. Yang menarik adalah film-film tersebut sarat dengan isu politik. Dan yang lebih menarik adalah kompetisi tahun ini memiliki eksplorasi dokumenter yang lebih luas dan tidak ada film-film agenda.
Kriteria apa yang dijadikan sebagai penilaian dalam film?
S: Saya pikir tidak masuk akal bagi saya untuk menentukan kriteria dalam menilai film. Kamu bisa menyusun kategori dasar untuk itu seperti riset, teknik kamera, akses kepada subjek, kedalaman eksplorasi, narasi film, dan sebagainya yang merupakan kriteria umum. Kriteria ini bisa digunakan untuk menilai apa saja, bahkan bisa untuk menilai sebuah buku. Yang menjadi penilaian adalah di mana saat ada sesuatu yang menarik secara tidak biasa, untuk saya sesuatu yang dapat menyentuh pusat dari karakter yang diangkat dalam film. Film seperti ini yang bisa membawa kita lebih mengenal seseorang, masuk ke kehidupannya dengan kedalam cerita mengenai karakter.
Berikan testimoni anda untuk FFD tahun ini
S: Saya sudah terlibat dengan FFD sejak 2008 dan beberapa kali kembali sejak saat itu. Ada banyak sekali perubahan setiap tahunnya, FFD berevolusi, menandakan sesuatu yang dinamis, tidak selalu terpaku pada satu tema. FFD selalu bisa menghadirkan keberagaman dalam film dokumenter, tidak hanya di program Kompetisi tapi juga di program-program lainnya. Saya pikir, hal tersebut adalah hal terbaik yang bisa dilakukan oleh sebuah festival. Di mana festival tersebut dapat meluaskan cakupannya dalam keberagaman, mempertahankan integritas artistiknya sebagai festival film dokumenter pertama di Asia Tenggara.