Wawancara dengan Angie Chen, Sutradara I’ve Got the Blues

— Interview
FFD 2017
FFD 2017

I’ve Got The Blues merupakan film dokumenter tentang Yank Wong, seorang pelukis, musisi, fotografer, art director, set designer. Dia adalah seorang lelaki renaissance yang mengekspresikan kreatifitasnya dalam berbagai bentuk. Lebih dari sebuah potret dari seorang seniman, artis, dan kreatifitas dalam hidupnya, filmnya juga memiliki kualitas tinggi, semacam permainan kucing dan tikus antara pembuat film dan subjek yang diangkat: satu sisi ingin menangkap (cerita), sisi lainnya menghindari. Tim Publisis Festival Film Dokumentar bertemu dengan Angie Chen, sutradara dari film ini. Angie berbicara mengenai pentingnya relasi antara pembuat film dan subjek yang diangkat, untuk tetap berdiri di tengah kultur perfilman Hongkong yang merupakan industri film yang berkiblat ke Hollywood.

Bisakah anda menjelaskan bagaimana Anda masuk ke ranah film dokumenter?

A: Pertama-tama, ini akan menjadi cerita yang panjang. Saya sebenarnya pernah membuat film dokumenter pendek tentang ayah saya ketika masih kuliah, itu adalah film dokumenter pertama saya. Setelah itu saya tertarik pada film naratif, saya telah membuat tiga film naratif di Hongkong. Setelah itu saya membuat advertising film, Iklan TV, dan kemudian mulai kembali membuat film dokumenter (panjang). Ini seperti setelah membuat iklan tv, saya memilih untuk membuat film kembali. Jad seperti saat kamu membuat iklan TV, mereka seperti mengatakan kepada kamu apa yang harus kamu lakukan, apa yang mereka mau. Dan di sana saya menyadari saya ingin membuat film saya sendiri dan saya saat itu berpikir bahwa film yang mudah dan cepat untuk dilakukan adalah dokumenter karena itu tidak memerlukan banyak kru dan uang.

Suatu hari, seorang teman saya yang berasal dari Perancis mengunjungi Hongkong dan dia adalah seorang sinematografer, jadi kita berbicara banyak dan saya mengatakan bahwa saya ingin membuat film dan dia menjawab bahwa dirinya siap membantu. Jadi saya melihat-lihat dan bertanya topik apa yang sekiranya bisa diangkat. Saat itu saya memiliki seekor anjing yang tua dan sekarat. Saya merasa sedih selayaknya seseorang dekat meninggal dunia. Jadi, saya berkata pada teman saya itu bahwa saya ingin mengusut relasi antara hewan dan manusia. Kemudian kami memulai membuat film mengenai topik tersebut namun, cerita yang muncul justru mengenai manusia. Film itu bercerita mengenai bagaimana kita merasakan sebuah perasaan, apa itu cinta dan hubungan.

Anda tergolong cukup produktif sebagai pembuat film, bagaimana anda melihat reaksi publik dan penonton terhadap film alternatif?

A: Sulit. Saya pikir ini masih tergolong sangat sulit bagi film independen dan dokumenter di Hongkong. Karena Hongkong pada dasarnya sangat bergantung pada komersial seperti yang selama ini kita tahu. Contohnya adalah film tentang Kung-fu dan film-film triad. Publik dibuat untuk menonton film-film tersebut. Film alternatif tidak memiliki platform, bioskop tidak tertarik untuk menanyangkan film-film alternatif karena mereka menganggap bahwa film-film seperti itu tidak menghasilkan uang. Jadi, yang harus kami lakukan adalah mengedukasi penonton dan jika mereka memiliki keinginan untuk menonton film-film alternatif, mereka akan memahami bahwa dokumenter tidaklah seperti yang mereka pikirkan. Ada sebuah miskonsepsi di Hongkong mengenai dokumenter, mereka menganggap dokumenter adalah film yang panjang, membosankan, dan tidak menarik. Namun, tidak selamanya seperti itu, film adalah film. Dalam dokumenter kami menceritakan sebuah cerita sebaik film naratif lainnya. Kami harus mengetahui bagaimana bercerita dengan baik. Semua sama saja.

Dalam beberapa tahun terakhir, hal ini sedikit demi sedikit berubah. Saya pikir masyarakat akhirnya menerima film alternatif seperti film-film bernilai seni tinggi, film eksperimental, dan dokumenter. Jadi, saya memiliki harapan di sini.

Kami mencoba mengundang pembuat film dokumenter ke Hongkong untuk mendorong pemerintah untuk mendukung film alternatif. Karena kami memiliki lembaga pemerintahan yang akan memberikan modal besar untuk memproduksi film, namun mereka hanya akan memberikan modal tersebut bagi film-film yang mereka kira akan memberikan keuntungan kembali, itu sangatlah komersil. Tapi akhirnya sejak dua tahun lalu saya kira, karena kami selalu mendorong mereka (pemerintah) untuk memberikan modal kepada pembuatan film dokumenter, mereka akhirnya mulai memberikan pendanaan pada produksi film dokumenter.

Anda telah mengenal Yank Wong untuk waktu yang cukup lama, apakah pilihan untuk membuat film tentang dirinya tidak terasa tiba-tia? Dan apa sebenarnya keiistimewaan yang dimilikinya sehingga menarik untuk difilmkan?

A: Hal ini kembali lagi kepada film buatan saya. Pada dasarnya saya selalu mencoba untuk memiliih topik yang menarik untuk saya, topik itu harus membuat waktu saya berharga. Karena membuat dokumenter sangat berbeda dengan film naratif. Dalan film naratif, kita memiliki naskah, itu sangat mudah. Kami melakukan pengambilan gambar selama 20-30 hari, karena kami tau apa yang harus kami ambil (gambarnya), setelah itu selesai. Kemudian proses dilanjutkan dengan penyuntingan. Namun, berbeda dengan dokumenter, rata-rata tiap film memerlukan tiga tahun sejak memulai produksi hingga hasil akhir. Ini merupakan proses yang panjang karena saya mengikuti subjek dalam waktu yang lama. Saya perlu mengikuti subjek hingga suatu hal yang menarik muncul. Ini tidak seperti kamu menanyakan pertanyaan, kemudian dijawab oleh subjek film. Kamu perlu mendapatkan nilai intrinsik dari yang kamu lakukan dan kamu memerlukan waktu (untuk mendapatkan itu). Dan juga karena hal ini memerlukan gairah yang besar terhadap subjek yang dipilih.

Contohnya adalah saya sudah membuat tiga film feature (fiksi panjang), saya selalu mengetahui subjeknya untuk beberapa waktu dan akan ada waktu di mana saya memilih bahwa hal itu interesting dan melanjutkan membahas subjeknya. Hal ini terjadi juga dengan film kedua saya One Tree, Three Lives (2012). Film itu menceritakan seorang penulis yang tinggal di Amerika, memliki hidup yang fantastik karena karakternya seperti itu. Untuk saya, saya menganggap bahwa karakter yang mencerahkan sangat berharga untuk ditampilkan, artinya saat kamu menayangkan film ini dan saya menganggap bahwa karaternya sangat inspiratif, maka saya berpikir bahwa penonton akan berpikir sama. Saya berfokus pada film-film yang bisa memberikan inspirasi, saya pikir, karena hidup itu sulit kan? Dan akan sangat bagus ketika kita bisa memberikan pesan yang bisa menginspirasi orang-orang. Jadi film ini dengan Yank, saya sudah mengenalnya untuk 20 tahun. Kami hanya sebatas teman dan dia adalah seorang lelaki yang sangat menarik. Setelah saya menyelesaikan film kedua saya, saya melihat-lihat untuk melakukan sesuatu dan tiba-tiba dia ada di sana. Dia adalah seorang musisi, pelukis, penulis, set designer, dan fotografer. Saya pikir banyak orang akan memanggil dirinya sebagai lelaki renaissance. Tapi, dia sangat rendah hati sampai tidak banyak orang mengenalnya kecuali orang-orang dalam lingkaran tertentu. Jadi saya pikir dia berbeda, dan karyanya sangat bagus. Saya pikir dia sangat bertalenta, jadi saya pikir cerita mengenai dirinya akan sangat menarik. Sebenarnya ketika saya memulai (film ini), saya tidak begitu mengenal dia dengan baik, dia tidak banyak bicara, semacam menghindari orang, jadi kenapa saya tidak mulai mengikuti dirinya dan berharap akan menemukan hal lebih dari orang ini, dan ya, saya menemukannya.

Apakah Anda sudah pernah memutar I’ve Got The Blues di Hongkong?

A: Belum, I’ve Got The Blues pertama kali diputar di Vancouver International Film Festival Oktober lalu dan pertama kali diputar di Asia di Busan Film Festival, jadi FFD adalah pemutaran ketiga kami.

Apakah Anda memiliki testimoni untuk Festival Film Dokumenter?

A: Saya pikir ini adalah festival dengan skala lebih kecil namun festival ini dibuat oleh pembuat film Indonesia dan merukan festival film dokumenter tertua di Asia Tenggara. Festival ini sudah berjalan selama 16 tahun. Jadi untuk saya merupakan hal yang penting untuk mendukung festival seperti ini dan juga festival lain untuk mendukung kami, pembuat film. Saya pikir hal ini yang membuat kami memilih untuk datang kesini karena ini sangat bermanfaat. Dan saya selalu menganggap bahwa hal ini sangat menarik untuk membagikan film kami dan berbicara dengan penonton dari negara berbeda, dan mereka memiliki pertanyaan yang menarik yang tidak pernah kamu sangka akan ditanyakan. Jadi, saya sangat menantikan untuk bertemu para penonton di Indonesia karena kami belum pernah berpartisipasi dalam festival film di Indonesia sebelumnya. Dan setelah ini saya pikir kami akan pergi ke Dublin, Irlandia dan kami berharap dapat membawa film ini kembali ke Hongkong pada bulan Maret di Hongkong International Film Festival. Saat ini saya berharap kami dapat mendistribusikan film ini di bioskop-bioskop di Hongkong.