Wawancara Bersama Alexander Matius

— Interview
FFD 2018
alexander-matius

Alexander Matius, programer ruang pemutaran alternatif Kinosaurus Jakarta dan salah satu motor Cinemapoetica,  melihat bahwa kompetisi adalah entitas yang penting dan perlu hadir di sebuah Festival Film. Baginya, program kompetisi tidak hanya hadir sebagai ruang bertemu antara film dengan penontonnya, melainkan turut membentuk standar baru dalam ekosistem film, dalam hal ini dokumenter.

Simak, obrolan kami bersama Alexander Matius, salah satu juri Kompetisi Dokumenter Kategori Pelajar Festival Film Dokumenter (FFD) 2018.

 

Bagaimana penilaian anda pada film-film finalis kompetisi pelajar FFD tahun ini?

Yang pasti sih, (topik atau isu yang diangkat) bisa dikatakan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari ya. Mereka bisa mengambil suatu fenomena atau isu yang paling bersinggungan dengan mereka secara langsung. Itu yang kemudian bisa dilihat dari lima film finalis di kompetisi pelajar. Kemudian, lima film tadi juga punya pendekatan masing-masing. Mereka juga punya metode yang beragam. Tidak ada tema tertentu pastinya yang hampir ada di semua film yang masuk kompetisi tahun ini. Jadi saya pikir menarik ya untuk bisa melihat itu (topik, pendekatan, metode bercerita yang dipercayai) di film kompetisi pelajar tahun ini.

 

Apakah keberagaman tadi bisa membedakan film pelajar tahun ini dengan film generasi sebelumnya?

Sejauh ini, belum ada yang baru. Tapi, di beberapa film sudah terlihat bahwa mereka (pembuat film) sudah punya pernyataan yang cukup kuat pada isunya masing-masing. Itu yang paling bisa tergambar. Mungkin juga beberapa pembuat film yang dimentori oleh seniornya, pendekatan dan gayanya belum terlalu signifikan berbeda (dengan seniornya). Tapi mereka (sudah) lebih berani atau lebih lugas dalam mengeluarkan pendapatnya masing-masing.

 

Apakah keberagaman ini, juga menunjukkan cara suatu masyarakat wilayah tertentu memandang sebuah isu ?

Kalau secara bentuk atau gaya mungkin terlihatnya lebih sama ya. Maksudnya, tidak ada secara yang khas gitu. Kebetulan, karena filmnya berasal dari daerah yang berbeda-beda, lalu metode berceritanya menjadi identik. Mereka bisa mengambil hal-hal dengan lebih detail dan spesifik [yang] berkaitan dengan isu dan fenomenanya, khusus pada daerah itu sendiri. Ini paling bisa dilihat dari shotshot yang mereka gunakan.

 

Menurut anda, apa pentingnya program kompetisi kategori pelajar di lingkup Festival? Apakah hanya menjadi ruang yang mempertemukan pembuat film dengan publiknya?

Sebenarnya, ketika kita berbicara mengenai kompetisi, (arahnya) lebih ke ‘bagaimana standar film kita hari ini’. Itu yang paling bisa terlihat. (Kompetisi) hadir sebagai tolok ukur ‘sudah sampai di titik mana sih, film kita hari ini’.

Untuk ruang pertemuan ya, sebenarnya bisa dilakukan dengan pemutaran reguler, atau dengan festival (lewat program-program yang lain). Tapi pola kompetisi kan, selalu mencari yang lebih unggul. Dan, di situ yang kemudian kita bisa lihat sampai di tahun ini, sampai di titik mana sih pelajar kita membuat film. Standarnya sudah sampai sejauh mana?, apakah berkembang dari tahun yang lalu?, apakah menurun?, ataukah sama saja? Jadi, kompetisi itu hadir lebih untuk membangun patokan dan standar itu.

Buat saya, festival itu arena yang semua orang berkumpul, dari semua aspek. Penonton, pembuat film, dan semua (bagian dari) ekosistem perfilman datang untuk berkumpul, kemudian untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Nah, kompetisi kemudian menjadi bagian dari festival karena tolok ukur tadi penting untuk disaksikan bersama-sama oleh banyak pihak. Kaitannya lebih ke situ. Dan, tentu saja, program ini berbeda dengan lainnya. Karena dari sebuah kompetisi, yang pastinya ada hadiahnya, bisa mendorong kesinambungan karya dari pembuat film.  Jadi, program kompetisi sangat penting si hadir di sebuah festival.

 

Sebagai programmer, bagaimana usaha anda untuk merubah pandangan publik yang mengklaim dokumenter sebagai tayangan yang berat?

Lebih ke bagaimana mengemas tema yang sangat spesifik yang kemudian sangat relefan dengan keseharian publiknya. Jadi bisa dengan keberagaman filmnya, bisa menunjukkan satu tema spesifik yang udah kita tentukan, kemudian meletakkan aspek keterkejutan; mungkin di film-film yang dipilih. Bisa juga dengan side event, aktivitas lain mungkin, ngga harus diskusi.

Mungkin, menggabungkannya [film] dengan musik atau outbound—kalo punya biaya dan cukup masuk. Dan, itu harus dilakukan secara konsisten. Karena, saya cukup percaya bahwa kekonsistenan akan membangun animo publik untuk ‘menyerap’ sebuah karya. Itu penting dijaga. Sehingga, nantinya pemutaran-pemutaran seperti ini, itu ‘ada’, menarik dan sangat penting untuk dipelajari.

 

Bagaimana pandanganmu tentang Festival Film Dokumenter (FFD) 2018?

Saya sebenarnya baru pertama kali ke FFD, tapi saya sudah mendengar FFD sejak lama. Yang perlu diapresiasi adalah konsistensi FFD. Untuk bisa terjus berjalan, untuk bisa terus menjadi salah satu motor, penggerak pemutaran film dokumenter dalam skala festival. Karena tidak banyak festival yang membahas tipe film yang spesifik seperti dokumenter.

Tahun ini seru sih, bisa bertemu banyak orang tentunya. Bisa dikasih kesempatan untuk melihat ‘bagaimana pelajar-pelajar kita hari ini, menyuarakan pendapat dan emosi mereka yang disalurkan lewat film. Ya semoga, semangatnya terus ada, sampai ke FFD selanjutnya.