Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selalu meninggalkan pengalaman yang buruk bagi sebuah bangsa. Indonesia pernah mengalami serangkaian kasus pelanggaran HAM berat, mulai dari pembunuhan terencana hingga penghilangan orang secara paksa dengan korban para aktivis HAM. Salah satu kasus yang sampai saat ini belum menemukan titik terang adalah kasus penghilangan paksa penyair sekaligus aktivis Wiji Thukul, yang diduga kuat hilang akibat dari aktivitas politiknya melawan rezim Orde Baru.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan bahwa Wiji Thukul dinyatakan hilang bertepatan dengan peningkatan operasi represif dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde Baru. Sebanyak 22 orang aktivis diculik dalam operasi ini. Bahkan, 13 orang di antaranya –termasuk Wiji Thukul, belum diketahui keberadaannya hingga saat ini.
Kasus penculikan atau penghilangan orang secara paksa meninggalkan duka yang dalam bagi banyak pihak, terutama keluarga korban. Bagi Sipon, istri Wiji Thukul, keadaan tersebut memaksanya harus menjadi orangtua tunggal bagi kedua orang anaknya. Kondisi ini pula yang membuat Sipon menjadi skeptis terhadap pemerintah yang tidak pernah serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sikap ini turut memengaruhi pilihan politisnya pada Pemilu Presiden 2014. Pilihan Sipon dilandasi alasan yang sangat personal. Tidak lain karena adanya nama Prabowo Subianto, mantan Jendral di rezim Orde Baru yang menjadi salah satu calon presiden kala itu. Prabowo terduga kuat sebagai dalang di balik terbentuknyaTim Mawar; kelompok yang melaksanakan penculikan-penculikan tersebut. “Aku harap tim mawar cepat dibalas atas perbuatannya” ujar Sipon yang hingga saat ini terus menuntut pemerintahan terpilih untuk melanjutkan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat melalui Aksi “Kamisan” dan “ Menolak Lupa” bersama keluarga korban lainnya.
Berbeda dengan sang ibu, kedua anak Thukul justru bersikap apolitis. Mereka menyuarakan perjuangan dengan cara berbeda, meski tidak jauh-jauh dari bakat seni yang diwariskan sang ayah. Terutama anak laki-lakinya, Fajar Merah. Meski begitu, Fajar sebenarnya tidak punya banyak memori tentang Thukul dan kerap menolak disangkut-pautkan dengan sosok yang tidak punya andil dalam tumbuh kembangnya. Tetapi, ia kemudian mencoba mengenali sosok ayah melalui tulisan-tulisan dan cerita-cerita mengenai perjuangan sang ayah; hingga akhirnya mendapat penglihatan lain yang mencerahkan.
Bersama teman-temannya, ia kemudian membentuk sebuah grup musik bernama Merah Bercerita pada tahun 2010. Sebagian besar lagu-lagu yang dinyanyikan dan direkam menjadi sebuah album adalah adaptasi dari puisi-puisi karya Wiji Thukul. Pada berbagai kesempatan aksi, Fajar bersama dengan Merah Bercerita datang bukan sebagai seorang demonstran, melainkan sebagai penampil. Dalam karya-karyanya, Fajar tidak menduplikasi utuh apa yang telah dikerjakan ayahnya di masa lalu, tetapi menambah nyawa baru lewat gubahan musik hingga membentuk lagu-lagu bernada satire.
Nyaniyan Akar Rumput (2018) mengambil judul dari salah satu puisi Wiji Thukul yang ia buat di tahun 1988. Film ini mengisahkan haru biru istri dan kedua anak Thukul dalam menjalani hidup setelah suami dan/atau ayah mereka dinyatakan hilang; 10 tahun pasca puisi ditulis. Disertai dengan footage peristiwa kerusuhan Mei 98, film ini turut mengingatkan kembali sejarah kelam bangsa Indonesia. Bagaimana perjuangan korban dan penyintas yang pasang badan demi kelahiran demokrasi di negeri sendiri, tetapi negara justru abai terhadap nasib mereka. Dan bagi keluarga Wiji Thukul, ini tidak hanya persoalan bertahan untuk melanjutkan hidup, tetapi bagaimana terus mempertahankan semangat perjuangan yang menjadi satu-satunya peninggalan dari Thukul yang paling berharga.
Nyanyian Akar Rumput merupakan salah satu film dari program “Human, Frame by Frame”, yang akan diputar pada 10 Desember 2018 pukul 15.30 WIB di Societet Militair TBY. Agenda lengkap FFD 2018 bisa disimak di jadwal.
Penulis: Christen Stephanie