Yogyakarta, 15 November 2022 menjadi hari pemutaran film dokumenter FFD 2022 pertama yang berlokasi di Bioskop Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Terdapat setidaknya enam film yang diputar di tiga sesi yang berbeda. Sesi pertama, pukul 13.00, Roda-Roda Nada (The Tone Wheels) diputar sebagai film pembuka. Sesi kedua, pukul 15.00, terdapat empat film yang diputar secara maraton, yakni: A Letter to The Future, End of The Tunnel, Pulang dan Berulang, serta Xabi: A Phantasmagoric Adventure. Sesi terakhir, pukul 19.00, terdapat film Mayday! May Day! Mayday! Di masing-masing sesi, terdapat: 36 penonton, 40 penonton, dan 41 penonton (full seat).
Terdapat satu sesi diskusi tanya-jawab (QnA) bersama Filmmaker setelah pemutaran film Roda-Roda Nada (The Tone Wheels). Yuda Kurniawan, sutradara, hadir di tengah-tengah penonton untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan setelah penayangan film. Selama 98 menit, penonton diajak untuk menyelam dalam kehidupan dangdut jalanan di Ibukota, Jakarta. Ubay, tokoh sentral dalam film ini, mengajak kita untuk melihat kesehariannya menjadi seorang musisi jalanan dangdut dorong bersama dengan sang istri, Iyus, sebagai penyumbang suara. Pasangan ini menjajakan dangdut bersama kawan-kawannya, Bewok, Kujeng, dan Bunyamin.
Berikut adalah rangkuman diskusi tanya-jawab (QnA) bersama Yuda Kurniawan dan para penonton yang hadir di pemutaran.
Boleh diceritakan bagaimana film ini dan apa pandangan yang diusung?
Yuda menuturkan bahwa proses pembuatan dokumenter ini memakan waktu yang cukup lama, karena ia sungguh-sungguh mengikuti kehidupan para aktor sampai berbulan-bulan. Proses observasinya pun memakan waktu yang tak sebentar. Roda-Roda Nada diproduksi sekitar tahun 2013–2014. Yuda sempat ikut mengamen bersama para aktor. Dari siang sampai malam, menyusuri jalanan Ibukota hingga berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Setelah cukup akrab dengan para aktor, Yuda mulai mengambil gambar. Keakraban itu membuat proses shooting berjalan dengan natural dan smooth, karena para aktor sudah merasa nyaman dan tidak terganggu dengan keberadaan Yuda serta kameranya.
“Mengapa saya suka isu-isu seperti ini (pinggiran), karena saya suka mengangkat narasi-narasi kecil yang ada di sekitar saya. Saya memang ingin membuat film yang narasi-narasinya tidak terlalu besar, tapi cukup memiliki impact terhadap diri saya sendiri.”
Film Roda-Roda Nada mengandung banyak pesan moral. Selain itu, ada kenaturalan juga dalam alur ceritanya. Bagaimana proses menjahit alur itu muncul?
Yuda menyatakan bahwa hal ini diawali dari kecintaannya terhadap musik dangdut. Ia membuat kesempatannya sendiri untuk akhirnya dapat mulai proses shooting.
“Ide awal yang muncul: saya juga suka dangdut, terutama dangdut klasik. Kebetulan, saya memang observasi. Di Jakarta, yang seperti mereka (dangdut jalanan) ini nggak banyak. (Mereka) menarik, (karena) orang-orang tua, (dan) main musik dangdut klasik. Wah, ini cocok, nih. Kemudian, saya berusaha mendekati. Saya nggak ujug-ujug datang, tapi memang karena ketertarikan saya ke musik mereka.”
“Tidak perlu melihat kesenian melalui gedung ekshibisi,” kata Seno Gumira Ajidarma. FFD, dan film Roda-Roda Nada ini, mewujudkan hal tersebut. Esensi apa yang mau ditampilkan dari film ini?
“Soal esensi memang mungkin seperti yang dibilang Pak Seno Gumira Ajidarma tadi. Dunia musik nggak melulu jadi hal yang glamor, dll. (Orang-orang dalam dokumenter) ini adalah harta karun. Mereka orang-orang tua, tapi semangatnya luar biasa. Saya hanya ingin menunjukkan itu. Inilah sisi lain kehidupan musisi yang ada di pinggiran Jakarta. Sudah langka yang kayak gitu sekarang. Sebetulnya spirit mereka nggak cuma menghibur, tapi juga melestarikan musik dangdut. Itu (esensinya).”
Memuat film, khususnya dokumenter, adalah proses yang panjang. (Dalam proses itu, mungkin) kadang merasa jenuh. Bagaimana cara mengatasi kejenuhan itu?
Yuda mengatakan bahwa proses panjang dalam membuat film justru tak membuatnya merasa jenuh. Kejenuhan yang hadir mungkin saja adalah bagian dari bagaimana cara Filmmaker bertutur.
“Sebetulnya, saya justru tidak jenuh. Saya sangat menikmati proses pembuatan dokumenter ini. Saya sangat enjoy. Kalau di tengah (pemutaran film) ada kejenuhan tertentu, sebetulnya itu bagian dari storytelling. Nonton dengan tempo cepat belum tentu seru, nonton dengan tempo lambat belum tentu membosankan. Harus terbiasa menonton film dokumenter aja, sih (biar nggak jenuh).”
Ini kan dokumenter (dengan metode) observasi. Biasanya per frame pasti berkesinambungan. Bagaimana caranya untuk memastikan agar antar-frame itu berkesinambungan?
“Itu tergantung pinter-pinternya kita. Sejatinya mereka (aktor) ini kan dialognya bisa sampai sejam dua jam (dan nggak mungkin dimasukkan semua ke dalam film). Ketika sudah dapat intinya, saya bikin insert shoot-nya. Tinggal saya jahit saja kemudian. Rekaman juga sama begitu. Pinter-pinternya kita memposisikan diri dan membuat angle.”
Selain Roda-Roda Nada, beberapa film pilihan di gelaran Festival Film Dokumenter 2022 juga diikuti dengan sesi tanya-jawab yang dapat diikuti secara gratis dengan registrasi di tempat pemutaran. Festival Film Dokumenter berlangsung hingga 19 November 2022 di Gedung ex Bioskop Permata, Bioskop Sonobudoyo, dan IFI–LIP Yogyakarta.