Pada hari ketiga penyelenggaraan DOCTALK, salah program dalam rangkaian Festival Film Dokumenter 2022, membawa topik diskusi bertajuk Documentary Film & Festival Programming in Southeast Asia. Melalui topik yang ini, forum DOCTALK merangkum ide-ide penting yang bersinggungan dengan film dan penyelenggaraan festival, terutama dilema dan problematika yang sering ditemui dalam pemilihan film pada festival fim di Asia Tenggara. Forum diskusi ini dimoderatori oleh Puiyee Leong, Manajer Senior Objectif Centre of Photography and Films, Singapura. Selain itu, terdapat 4 narasumber dalam diskusi ini, yaitu Jewel Maranan (Sutradara dan Direktur Festival Film Daang Dokyu Filipina), Chalida Uabumrungjit (Direktur Thailand Film Archive), Philip Cheah (Kurator Film), dan Makiko Wakai (Programmer Asian Current Yamagata International Film Festival).
Diskusi DOCTALK diawali dengan pertanyaan perihal situasi film dokumenter kini serta peran festival film untuk ikut menghidupkannya. Terdapat kekhawatiran bahwa dokumenter sebagai sebuah bentuk film memiliki minat penonton yang rendah dibandingkan bentuk lainnya. Narasumber mulai memaparkan opini bahwa di bagian inilah kehadiran dan peran festival film dapat mengambil alih. Fungsi utama sebuah festival film adalah untuk menjembatani adanya ruang kosong yang ada di antara film bioskop dan independen. Apabila sebuah festival film dapat meningkatkan kegemaran masyarakat terhadap kebiasaan menonton; inilah yang menjadi tanda kesuksesan sebuah festival film sebagai ruang ekshibisi.
Moderator Puiyee Leong mengerucutkan tema diskusi pada latar belakang profesi keempat narasumber sebagai programmer film, terutama bagaimana cara mereka melakukan kerja kuratorial film. Mengenai aspek yang ‘dicari’ dalam sebuah dokumenter, yang diinginkan oleh para programmer ialah subjek yang coba untuk diutarakan oleh film tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga mencari film yang dapat memberikan suatu pengalaman langka untuk penonton. Narasumber setuju bahwa dari kedua hal di atas, yang terpenting ialah tanggapan individu terhadap sebuah film. Seorang programmer yang andal dapat menjemput penonton dan membuat mereka merasa terikat dengan film-film pilihannya. Hal inilah yang menjadi variabel untuk menentukan kepercayaan penonton.
Praktik kuratorial film mengarah pada pembahasan mengenai etika pemilihan film yang muncul di tengah adanya kontestasi antara sebuah topik dan politisasi film. Sampai kapan sebuah film dapat dikatakan wajar, dan di mana dia bisa dianggap tidak? Terdapat subjek-subjek yang bisa merasa terimplikasi dari sebuah gambaran serta ide seseorang tentang tokoh tertentu. Pertanyaan ini dijawab dengan satu kalimat, bahwasannya standar etika dapat berubah seiring waktu. Beberapa film dapat membuat penonton tidak nyaman demi mencantumkan sebuah pesan yang ingin disampaikan, tetapi yang perlu ditanyakan ialah apakah nilai adegan tersebut lebih tinggi dari ketidaknyamanan penonton? Ketika jawabannya iya, maka adegan tersebut patut untuk dimasukkan.
Saat moderator membuka sesi tanya-jawab, penonton mulai menanyakan perihal afiliasi sensitivitas politik dengan pemilihan film. “Morality is a luxury that programmers cannot afford” (Moralitas adalah kemewahan yang tidak mampu dimiliki oleh programmer); terdapat kesulitan bagi programmer untuk membicarakan isu moral dalam praktik kerjanya. Hal ini dikarenakan besarnya peran pemerintah dalam sebuah acara publik seperti halnya festival film. Pemerintah dapat menuntut sebuah festival film apabila terdapat gambaran film yang tidak sesuai dengan visi pemerintah setempat. Sensor film menjadi topik yang turut dibahas di dalam DOCTALK kali ini. Terdapat kebijakan yang berbeda-beda di negara Asia Tenggara mengenai sensor film yang tentu memengaruhi bagaimana programmer film melakukan praktik kuratorial. Namun, pertanyaan ini ditutup dengan satu jawaban reflektif, “If a filmmaker could take a risk, then the programmers should take the same risk.” (Jika pembuat film dapat mengambil risiko, maka programmer film patut mengambil langkah yang sama).
Diliput pada 17 November 2022 oleh Davina Damayanti