Yogyakarta, 16 November 2022 – Now is The Past – My Father, Java & Phantom Films (Shin-Ichi Ise, 2021) mengisahkan tentang perjalanan seorang pembuat film dokumenter Jepang, Shin-Ichi Ise dalam mengungkap kebenaran di balik perang di Indonesia yang terjadi pada masa pendudukan Jepang. Melalui film-film garapan ayahnya, Chounosuke Ise, yang juga merupakan seorang editor film dokumenter, ia melihat bagaimana pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia, berbagai film propaganda diciptakan untuk merasionalkan hegemoni Jepang di Asia. Film berdurasi 88 menit ini ditayangkan di Auditorium IFI-LIP Yogyakarta pada Rabu, 16 November 2022. Terdapat 45 penonton yang hadir untuk menyaksikan film garapan rumah produksi Yumiko Horie ini. Selepas pemutaran, terdapat sesi tanya-jawab bersama sang sutradara, Shin-Ichi Ise.
Sebelum masuk ke sesi tanya-jawab, Shin-ichi Ise membacakan rangkuman tentang film garapannya dan memberikan kata pengantar. Proses pembuatan film yang memakan waktu hingga 30 tahun ini membuatnya datang ke Indonesia sekitar 20 tahun lalu. Karena mengusung tema besar tentang perang, Shin-ichi Ise bertekad bahwa film ini harus dipikir secara tuntas dan matang. Proses pemikiran dan pematangan itulah yang memakan cukup banyak waktu. “Film ini saya buat tanpa membohongi diri saya sendiri.”, tuturnya.
Ketika proses produksi film sempat terhalang oleh pandemi Covid-19, Shin-Ichi Ise menyiasatinya dengan banyak melakukan studi literatur dan menyunting film. Dia merasa harus menuntaskan film ini, tugas ini, sebelum dia mati. “Film ini diluncurkan di Jepang setahun yang lalu, setelah itu diundang ke Belanda dan Amerika. Tetapi saya merasa film ini harus diputar di Indonesia. Maka, pada kesempatan ini, saya mau datang dengan risiko apapun. Saya sangat senang bisa memutarkan film ini di Indonesia.”
Berikut adalah rangkuman diskusi tanya-jawab bersama Shin-Ichi Ise dan para penonton yang hadir di pemutaran.
30 tahun yang lalu, pertanyaan apa yang muncul dalam benak Shin-Ichi Ise sehingga memutuskan untuk membuat film ini? Kemudian, apakah Anda mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut?
Bukan pertanyaan, tapi lebih ke motivasi. Seorang peneliti Jepang menemukan film-film yang dibuat oleh ayah saya, lalu film-film itu dibawa olehnya. Saya menonton film-film itu. Saya rasa, film-film ini harus ditonton oleh orang Jepang. Itu motivasi yang pertama. Pada waktu itu, sampai sekarang juga, kebanyakan orang-orang Jepang tidak mengetahui apa yang dilakukan Jepang pada masa perang. Melalui film-film ayah saya itu, saya kira orang-orang Jepang akan mengetahui apa yang telah diperbuat orang Jepang (pada masa perang dan penjajahan). Dalam bahasa Jepang, ada satu kata yang berarti “ada sejarah-sejarah tertentu yang tidak ingin diberitakan ke masyarakat”. Tapi, menurut saya, masyarakat harus tahu bagaimana sejarah yang sesungguhnya. Itu juga menjadi motivasi saya.”
Anda menyatakan bahwa membuat film ini harus dilakukan tanpa membohongi diri sendiri. Apa maksudnya?
Pertama, maksudnya tidak mau membohongi diri sendiri adalah saya tidak mau “sok pinter”. Saya mau menghindari perasaan itu dengan cara membuat film yang alami. Saya membuat film ini sebagai hal yang mengenai diri sendiri. Kalau diproses sebagai hal yang mengenai orang lain, itu tidak akan memberikan hakikat (esensi di dalam film). Jadi, ini adalah hal yang pribadi.
Selama berkeliling di Jawa, Anda sudah ke mana saja? Juga, apa hal yang paling sulit dalam proses pembuatan film ini?
“Shooting-nya dilakukan di Jakarta dan sekitarnya, paling jauh di Sabang. Hal paling susah dalam proses pembuatan film ini adalah mencari dana dan kebodohan saya sendiri sebetulnya.”, ujarnya yang segera disambut oleh gelak tawa dari para penonton.
Saya sudah pernah menonton film ini di Jepang. Penontonnya tua-tua. bagaimana tanggapan anak muda Jepang terhadap film ini? Kemudian, saya juga melihat bahwa ceritanya loncat-loncat. Itu bagian dari estetika atau memang kekurangan dari film Anda?
Anggap saja itu ciri khas film saya. Saya sangat serius memproduksi film dengan cerita yang konsisten. Kemudian, memang ada kekurangan dan kekosongan, tapi saya harap itu dapat diisi oleh penonton. Melalui film dokumenter, saya ingin melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada penonton. Jadi, misalnya, ada media massa yang memang menyajikan cerita itu (sejarah perang dan penjajahan Jepang) dengan banyak penjelasan, tapi itu membuat penonton tidak berpikir sendiri. Yang penting bukan jawaban, tapi pertanyaan.