Doctalk dan Public Lecture: Memecah Aneka Rupa Keresahan

— Highlight Program
FFD 2019
Hari HAM

Senantiasa mempertanyakan sesuatu yang ada di hadapan kita, perlu dikembangkan untuk mengasah sikap kritis. Termasuk kepada produk budaya seperti film. Soalnya sebagai produk manusia yang senantiasa diproduksi, direproduksi, hingga dikritik, film tidak hadir begitu saja. Meminjam kata Seno Gumira Ajidarma dalam pidato terbarunya berjudul “Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi”, kebudayaan adalah situs pertarungan ideologi. Dan ideologi adalah tentang perspektif serta cara pihak-pihak tertentu yang memiliki sebuah intensi.

Di situlah program diskusi dalam sebuah festival film menemukan relevansinya. Kehadirannya bukan untuk menjelaskan pesan yang gagal disampaikan oleh film-film yang diputar. Tanpa berambisi membangun posisi utopis sebagai penentu gerak pengetahuan film, program diskusi hadir sebagai upaya untuk selalu menjangkau wilayah dan perbincangan baru.  Serangkaian diskusi akan hadir dalam Festival Film Dokumenter (FFD) 2019 melalui program Doctalk dan Public Lecture. 

Isu-isu yang diangkat dalam diskusi ini berangkat dari berbagai kegelisahan. Tidak untuk berusaha merangkumnya dalam satu narasi tunggal, tetapi memperluas kemungkinan produksi pengetahuan kita atas dan melalui film. Setidaknya ada tiga kegelisahan utama yang coba untuk dibagikan. Seluruhnya akan mempertemukan serakan pengetahuan kita atas film.

Kegelisahan pertama yakni film, negara, dan pasar. Pembicaraan mengenai irisan film dengan negara dan pasar menemukan relevansinya ketika film ditempatkan sebagai produk budaya yang tidak lepas dari konteks sosial dan politik. Sebenarnya pembicaraan akan hal ini sudah cukup beragam. Salah satunya adalah mengenai bagaimana posisi film pendek, terutama dokumenter, mencatat dan menjadi perwujudan dari partisipasi yang merupakan hulu dari demokrasi.

Tetapi pada kenyataannya untuk bisa memenuhi hal tersebut, film harus berhadapan dengan sensor. Bentuknya bisa beragam dan bersumber dari mana saja. Seperti institusi negara, paramiliter, organisasi masyarakat tertentu, hingga swasensor setiap orang. Dengan kata lain, kehadiran film pendek sebagai medium yang independen dan bagaimana ia berhadapan dengan sensor akan selalu berhubungan dengan perkembangan demokrasi.

FFD | Call For Entry 2019

Selain konteks sosial dan politik, satu hal yang tidak bisa dilepaskan adalah bagaimana perkembangan film Indonesia bersinggungan dengan urusan ekonomi. Untuk yang satu ini, menjadi penting ditilik kembali ketika dalam satu dekade terakhir berbagai forum pendanaan dan pasar film mulai tumbuh di Indonesia, Asia Tenggara, dan bahkan Asia. 

Hal tersebut berdampak pada pola produksi yang menjadi lebih variatif. Pendanaan itu juga turut memengaruhi estetika dan narasi film. Philip Cheah, founder pop culture magazine asal Singapura BigO dalam pengantar Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014 lalu menyebut bahwa modus pendanaan secara tak langsung memunculkan klise-klise baru, terutama dalam sinema independen.  “Ritme dalam gerak lamban, shoot panjang yang bermakna serta momen absurd namun puitik” disebut Philip sebagai kiasan yang mudah sekali ditemui dalam film-film Indonesia yang berhasil melanglang ke festival internasional dan mendapat kucuran duit.

Atas berbagai kelindan itu, maka muncul pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan mengenai bagaimana pendanaan memengaruhi produksi hingga distribusi film. Bagaimanapun, forum pendanaan juga memiliki logikanya sendiri.  Sebagai bagian apparatus yang mempertemukan problem sosial dengan publik yang lebih luas, lantas sejauh apa film yang didanai oleh lembaga atau pendonor tertentu bernegosiasi dalam situasi ini? 

Call For Entry Poster for ASIADOC 2019

Kegelisahan kedua adalah tentang film dan perubahan sosial. Ketika membicarakan hal tersebut, kita bisa melihatnya dalam dua sudut pandang: bagaimana film mendorong perubahan sosial–meski terdengar muluk-muluk–dan bagaimana posisi film di tengah situasi sosial yang tidak pernah abstain. 

Dalam arti yang pertama filmmaker asal India Tapan Bose mengatakanany documentary worth its name is never neutral and non-controversial. If it is to serve as a positive catalyst for social change, it must shock, inspire and provoke”. Meski heroik, tapi kondisi yang kerap dihadapi oleh filmmaker, terutama dokumenter, rupanya cukup pelik.

Dalam film dokumenter untuk bisa mendapatkan karya yang shock, inspire and provoke, intimasi menjadi suatu aspek yang sering diyakini sebagai tolok ukur. Intimasi adalah kondisi dimana keterasingan antara subjek dokumenter dan filmmaker itu sendiri berhasil diatasi. 

Hal ini tidak mudah, karena bagi subjek utama dokumenter (manusia/masyarakat/komunitas), perilaku keseharian yang semula dilakukan secara wajar, kini harus berhadapan dengan mata kamera dan perekam suara. Pun bagi pembuat film, asing karena belum tentu dekat dengan manusia, masyarakat, atau komunitas yang sedang diangkat isunya.Isu ini kerap bertabrakan dengan perkara etis. Demi mampu mendapat kekuatan film yang mampu mendapatkan intimasi, filmmaker dapat menggiring karyanya ke dalam laku yang eksploitatif.

FFD 2018 | Film | Modern Poetry Exhibition/1966

Sedangkan dalam arti kedua, adalah bagaimana posisi film di tengah situasi sosial yang tak pernah abstain. Thomas Barker adalah satu di antara beberapa cendekiawan yang mencoba untuk mencatat sejarah sinema Indonesia dalam kerangka tersebut. Melalui bukunya Indonesian Cinema After New Order: Going Mainstream, sebuah catatan yang sistematis dan komprehensif di Indonesia.

Baginya, kasus yang terjadi di Indonesia ini unik. Salah satunya bagaimana sinema Indonesia memenuhi kemauan gerakan hijrah” yang kini sedang bangkit. Di saat yang bersamaan, arus utama berarti bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang didirikan pada 2011. 

Alih-alih menjadi dunia kreatif yang mulus sebagaimana diharapkan banyak orang, industri film Indonesia sekarang sedang mengarah pada tantangan yang sangat berbeda dengan yang dihadapi pra-1998. Barker melihat industri ini layaknya mikrokosmos bagi Indonesia: demokratis tetapi terbebani dengan warisan otoritarian, kreatif tetapi tetap mengalami kontestasi budaya, mancanegara kendati tetap dibentuk secara domestik.

FFD2018 | Film | Pagi Yang Sungsang

Kegelisahan ketiga adalah tentang bagaimana film mengemban beban dalam pembicaraan produksi pengetahuan. FFD merekognisi bagaimana film hari ini mengantar pengetahuan pada bentuknya yang eksploratif. Salah satunya pada entitas yang disebut dokumenter etnografis. Pada beberapa kisah, entitas ini bisa menemukan fungsinya yang beragam. Tapi entitas ini juga sekaligus merupakan bentuk yang dirasa bisa mengetengahkan wacana tentang keberpihakan, pengalaman empiris, dan tanggung jawab etik dalam pembuatan film dokumenter.

Letak film dan produksi pengetahuan tak melulu pada kontennya saja. Ia juga bisa merujuk pada bentuk. Seperti bagaimana film dokumenter dan video art akhir-akhir ini sering dibicarakan, tetapi sekaligus juga sering dipertukarkan maknanya. Meski sama-sama memiliki unsur audiovisual, tapi perpisahannya terjadi dalam makna-makna yang lebih rinci, termasuk di ruang mana kedua bentuk produk budaya ini dipresentasikan. Jika film bermuara pada festival film atau bioskop, maka video art lebih kerap bermain di arena pameran seni rupa –baik dalam frasa yang lebih spesifik seperti seni media baru, seni multimedia, hingga yang paling umum yaitu seni kontemporer. 

Dua wujud yang serupa tapi tak sama ini juga bisa membuka alternatif estetika yang lain. Garin Nugroho menyebut bisa jadi keduanya sama-sama bisa menyampaikan pendapat “awam” dengan cara popular. Namun potensi perwujudan estetika film yang berbeda dibanding dengan estetika versi artschool bisa terwujud. Keduanya lalu menjadi semacam pena dan senjata bergerilya di tengah situasi sosial-politik tertentu. Perubahan teknologinya juga disebut Garin melahirkan percepatan cara apresiasi dan distribusi yang penuh guncangan–sebuah proses yang saling mematikan sekaligus proses adaptif dan percepatan cara baru momen apresiasi dan kreasi.

FFD | Call For Entry 2019

Setiap kegelisahan yang telah diuraikan tadi coba untuk dirangkum dan dibagikan kepada khalayak luas dalam program DocTalk dan Public Lecture. Untuk Doctalk akan terdiri dari pembicaraan mengenai Distribusi, Pasar, & Ekonomi Politik Film: “Rupa-Rupa Distribusi Film Kita”, Intermedialitas/Alih dan Silang Wahana: “Manuver Mata Mekanis: Video Art dan Film Dokumenter di Indonesia”, Film & Demokrasi: “Film Pendek dan Demokrasi yang Diinginkan”, dan Hacking Methods & Ethics Issue: “Intimacy and Ethics: Universal or Contextual”. 

Selain berkenaan dengan film, FFD juga merancang Doctalk untuk membahas bersama upaya yang perlu ditempuh untuk menciptakan komunitas sebagai ruang aman dan nyaman bagi siapapun. Hal ini berangkat dari batas takaran kegiatan komunitas yang sering kali tidak jelas sehingga pada beberapa titik mengaburkan antara kerja kesukarelawanan dan kerja profesional yang terikat. Selain itu kegelisahan ini juga berangkat dari bagaimana selama ini FFD bisa tumbuh sebagai wadah yang tak jauh dari definisi komunitas.

Imajinasi militansi yang diusung kerap membuat kerja-kerja komunitas kehilangan kegembiraan dari konsep kesukarelawanan itu. Bahkan, tidak jarang melahirkan kerja-kerja yang eksploitatif demi mewujudkan cita-cita kelompoknya. Masalah itu coba akan dibagikan dan didiskusikan dalam mata program Berkumpul di Ruang Aman: “Memahami Ulang Bentuk Kekerasan dalam Komunitas dan Pencegahannya”.

Selain Doctalk, FFD juga menghadirkan Public Lecture. Kali ini, akan ada dua panel yang diisi oleh Thomas Barker dan Kek Huat Lau. Thomas Barker akan membicarakan hasil risetnya yang telah dibukukan dengan judul Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream. Buku ini menyoroti 20 tahun gejolak perubahan, mulai dari permulaan yang indie dan sederhana hingga semakin mengikuti arus utama dan mendapatkan pengakuan internasional. Ia mengajukan gagasan mengenai tiga fase perkembangan industri film: dimulai dari langkah meraih kesuksesan dalam budaya populer lokal, khususnya di kalangan anak muda; mendapatkan kemapanan finansial; hingga akhirnya karyanya mendapatkan pengakuan sebagai sebuah karya seni di tingkat internasional.

Sedangkan Kek Huat Lau akan memaparkan bagaimana ia merancang dan mengeksekusi The Tree Remembers (2019), dokumenter etnografis mengenai korban politik dan kekerasan rasial terburuk di Malaysia. Sebagai seseorang yang lahir di Malaysia dan menetap di Taiwan, Kek akan memaparkan bagaimana ia memiliki pengalaman empiris dan emosional atas ruang, waktu, dan ikatan sosial terhadap persoalan etnis negara kelahirannya. Ini tentu menjadi pertimbangkan dalam perancangan narasi film yang tetap intim dan menjaga etik.

Program-program DocTalk dan Public Lecture itu bisa dinikmati di antaranya di FISIPOL Universitas Gadjah Mada dan Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia, pada 2-7 Desember 2019. Cek Jadwal festival untuk memeriksa agenda lengkap FFD 2019.