Striking Land (2022): Hidup Setengah Mati dalam Hukuman Seumur Hidup

— Ulasan Film
FFD 2022

Tak ada percakapan dan tanpa musik latar belakang; tak ada keterangan lokasi dan tanpa intro basa-basi. Satu-satunya petunjuk yang dapat menjadi pemandu kita sebelum menyelam lebih dalam di Striking Land ini adalah secuplik narasi yang ditampilkan di detik-detik awal pembukaan. Begini kira-kira terjemahannya dalam bahasa Indonesia:

“Diceritakan bahwa di masa lalu, dua pelanggar datang untuk menjalani hukuman mereka dengan cara menjaga tanah yang kosong tak berpenghuni ini. Hukuman mereka diturunkan dari generasi ke generasi dan diwarisi oleh orang-orang yang mengerjakannya.” (Domingues, 2022)

Pada sepanjang durasi film, kita tak akan mendengar suara manusia barang satu detik pun. Hanya ada suara gemerisik ilalang, angin yang menerbangkan dedaunan, kuda yang menyantap semak dengan khidmat, dendang pacul yang diayun-ayunkan ke tanah, ansambel jangkrik, serta gemuruh alat berat yang bekerja membajak tanah. Kita sedang memasuki lorong kehidupan yang lain; yang berisik tetapi organik.

Perlu kehati-hatian untuk menafsirkan film berdurasi 1 jam 5 menit 50 detik ini. Minimnya dialog yang disuguhkan justru mampu menguji keluwesan pemahaman penonton dalam memaknai adegan demi adegan yang ditayangkan. Hematnya narasi yang dirangkai justru mampu membangkitkan daya kritis penonton dalam upaya pencarian visi film. 

Hidup selaras dengan alam adalah gagasan yang hendak disampaikan oleh Raul Domingues melalui Striking Land. Tak ada aktivitas modern, keriuhan pabrik industri, dan kesibukan digital sama sekali. Kehidupan berjalan dengan natural, biasa, dan sebagaimana adanya. Akan tetapi, merujuk pada narasi singkat yang dihadirkan di awal film, bisa jadi filmmaker hendak menunjukkan sesuatu yang lain.  Bagaimana pun juga, orang-orang yang hidup di dalam Striking Land sedang menjalani “hukuman” yang telah diwariskan (entah atas dosa apa) kepada mereka. Mau tak mau, suka tak suka, mereka harus menjaga dan mengolah lahan luas yang telah dititipkan tanpa persetujuan mereka. Mereka seakan-akan tak pernah punya kuasa atas hidupnya; hidup setengah hidup karena tak merdeka. Kita tak pernah tahu, di luar rutinitas baku yang memang sudah semestinya mereka jalani itu, apakah masih terselip angan dan mimpi untuk bisa keluar menuju kehidupan yang sama sekali baru? 

Kita hanya bisa berspekulasi dan berasumsi tanpa benar-benar mengerti, apa pesan jati yang hendak disampaikan oleh filmmaker melalui Striking Land ini. Apakah itu kehidupan yang mengagungkan kesahajaan dan keselarasan dengan alam? Atau apakah itu kehidupan yang tak menghadirkan pilihan bagi mereka yang telah terikat kontrak tak kasat mata dengan sejarah dan dosa nenek moyangnya? Atau apakah kamu punya pandangan lainnya?

 

Ditulis oleh Hesty N. Tyas

Disunting oleh Vanis

 

Detil Film:

Striking Land (Terra Que Marca) 

Raul Domingues | 42 min | Portugal | Color | 2022 | PG

Kompetisi Dokumenter Panjang Internasional 

 

Jadwal Tayang:

16 November 2022 | Auditorium IFI-LIP | 19.00