Review Film: Merci Patron!

— Ulasan Film
FFD 2017
FFD 2017

Reruntuhan bangunan di Poix-du-Nord, menunjukkan kebesaran pabrik yang dahulu menghidupi banyak pekerja. Namun, setelah pabrik tersebut pindah ke Polandia, kehidupan para pekerja menjadi kritis, banyak yang kemudian menganggur dan menanggung banyak hutang. Film Merci Patron! (François Ruffin, 2016) merupakan usaha Ruffin, seorang pemilik koran Fakir sekaligus aktivis Sayap Kiri, untuk memperlihatkan sekaligus memprotes LVMH Group, sebuah raksasa bisnis fashion dunia pemilik brand ternama seperti Louis Vuitton, Christian Dior, Sephora dan Hennessy, yang dianggap abai terhadap kondisi pekerja-pekerjanya.

Usaha protes dimulai Ruffin dengan menyusup pada pertemuan tahunan LVMH yang mempertemukan stakeholder dan para pemegang saham. Tak tanggung-tanggung, Ruffin langsung hendak memprotes Bernard Arnault sebagai tampuk pimpinan LVMH Group. Apes, usahanya sudah terendus oleh keamanan sebelum ia mampu menyampaikan protesnya ke Bernard Arnault. Ia pun digiring keluar dengan paksa.

Aksi Ruffin tidak terhenti, pencarian demi pencarian dilakukan hingga ia menjumpai keluarga Serge dan Jocelyne Klur. Pasangan bekas pekerja yang hampir kehilangan rumah akibat PHK yang dilakukan oleh LVMH Group. Usianya yang menjelang senja membuat ia kesulitan untuk mencari pekerjaan baru dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Ruffin kemudian berinisiatif untuk mengirim surat tuntutan kepada LVMH Group atas nama keluarga Klur. Kendati pihak LVMH Group berkenan untuk menemui keluarga Klur, negosiasi berjalan alot dan tuntutan keluarga Klur tak lantas dikabulkan.

Jalan lain kemudian ditempuh Ruffin dengan menjebak juru bicara LVMH dengan kamera dan perekam tersembunyi. Berbekal footage tersebut ,LVMH yang terpojok terpaksa menaati tuntutan keluarga Klur dengan memberikan pekerjaan tetap kepada Serge Klur dan melunasi hutang-hutangnya. Kabar ini disambut baik oleh segenap keluarga Klur dengan berpesta dan berteriak Merci Patron!! Merci Patron!! sebagai satir atas ‘kebaikan hati’ yang dilakukan oleh bos LVMH Group yaitu Bernard Arnault untuk memenuhi sebagian hak atas pekerja-pekerjanya.

Di dalam konteks Prancis sendiri, film ini menjadi pembicaraan hangat  karena mampu menyeret nama besar korporasi dunia seperti LVMH Group. Keberadaan pasar bebas yang memindahkan modal ke negara-negara lain dengan tenaga kerja murah, juga turut menjadi sorotan utama di Eropa akhir-akhir ini karena memicu hilangnya banyak lapangan kerja.

François Ruffin melakukan metode yang berbeda dalam mengisahkan eksploitasi korporasi besar kepada pekerja. Alih-alih sekedar mewawancarai pekerja dengan sudut pandang yang nelangsa. Pada film ini, Ruffin tak hanya menunggu hadirnya realita untuk direkam sebagaimana jamak terjadi pada dokumenter observasional. Namun ia juga secara partisipatif memantik hadirnya realitas itu dengan memprovokasi mantan pekerja LVMH untuk melakukan protes, hingga berkongkalikong dengan keluarga Klur untuk menjebak juru bicara LVMH.