Barangkali kita semua setuju bahwa waktu merupakan penyembuh. Namun, di sisi yang lain, ia juga hadir sebagai pembunuh. Kita semua pernah mengalami bahwa seiring berjalannya waktu, banyak hal yang dulunya kuat dan berarti bisa sirna begitu saja. Pertemanan yang dulu akrab sering kali memudar. Entah tergerus kesibukan atau jarak. Hubungan keluarga yang hangat bisa berkurang karena rutinitas yang mengisolasi. Bahkan, kenangan indah yang dibangun bersama terkadang tenggelam dalam hiruk pikuk kehidupan. Hal yang sama juga terjadi dengan tradisi yang telah dibangun selama puluhan tahun. Ia dapat lenyap dan tergantikan oleh hal-hal baru yang lebih mutakhir dan aksesibel.
Di tepi Danau Poso, Sulawesi Tengah, A Way of Life–judul asli Waya Masapi–(Ifdhal Permana, 2024) menyelami dilema Ello, seorang remaja yang berdiri di persimpangan antara impian dan beban warisan leluhur yang berada di ambang kepunahan. Waya masapi adalah alat penangkap ikan tradisional, yang–bisa dibilang–melampaui fungsinya. Karena dalam kebiasaan masyarakat Tentena, waya juga menjadi simbol persatuan yang mengikat komunitas, tempat kala tawa dan cerita berpadu, serta menyimpan warisan budaya. Waya yang dimiliki oleh keluarga Ello adalah satu-satunya yang tersisa, menjadikannya semakin berharga dalam konteks pelestarian tradisi. Cepat atau lambat, proyek PLTA Poso berpotensi menggusur waya masapi, menyisakan nasib yang mungkin sama dengan waya-waya lainnya yang telah hilang.
Ello, sebagai anak bungsu yang diharapkan untuk melanjutkan kelestarian waya masapi, menghadapi beban berat. Di dalam dirinya bergejolak keinginan untuk menjelajahi dunia, meraih pengalaman, dan mengukir jalannya sendiri, sementara harapan keluarganya untuk melestarikan warisan ini membayangi setiap langkahnya. Tidak ada jawaban pasti—hanya harapan dan keraguan yang silih berganti, menuntut Ello untuk menemukan keseimbangan antara melestarikan warisan yang berharga dan mengejar impian yang membara dalam hatinya.
Mampukah kita melawan waktu untuk menjaga warisan tetap hidup? Harus mulai dari mana?
Jawabannya, sebagian, terletak pada kesadaran dan pengetahuan kolektif. Dokumenter ini menunjukkan bahwa generasi muda seperti Ello tidak berjalan sendirian. Generasi muda di Tentena terbukti mampu menyampaikan dan menjelaskan pengetahuan budaya mereka dengan percaya diri, menunjukkan kedalaman pemahaman dan rasa cinta terhadap warisan yang mereka miliki. Dengan membawa pengetahuan ini ke permukaan, mereka memberi harapan bagi kelangsungan tradisi yang berharga.
A Way of Life (2024) menyuarakan harapan agar kita dapat menyadari pentingnya hal-hal yang terancam hilang. Mungkin, dengan kesadaran, upaya dan pengetahuan, kita dapat memberi mereka kesempatan untuk tetap ada, bukan hanya untuk generasi yang akan datang, tetapi juga untuk makna yang kita jaga hari ini. (Tirza Kanya) (Ed. Vanis)
Detail Film
A Way of Life (Waya Masapi)
Ifdhal Permana | 25 Min | 2024 | Central Sulawesi
Official Selection for Lanskap
Festival Film Dokumenter 2024
Jadwal Tayang
Nov. 7 | 19:00 WIB | Militaire Societeit, TBY
Nov. 9 | 13:00 WIB | Ruang Seminar, TBY