Risa Permanadeli: Menerjemahkan yang Lokal menjadi Sesuatu yang Global

— Berita
FFD 2023

Haruskah kita selalu berkaca pandangan global? Apakah kita mesti berkarya sesuai dengan sudut pandang dunia luar yang global? Meski pun dalam kelas dan laboratorium internasional masih banyak anggapan mengenai lokalitas, tapi barangkali lokalitas yang erat dan lekat dengan keseharian malah menjadi sesuatu yang mahal. Kearifan lokal yang tak dimiliki oleh dunia luar bisa jadi dapat menjadi komoditas kebudayaan.

Risa Permanadeli, doktor psikologi sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial hadir dalam sesi kelas umum Laboratorium Dokumenter Indonesia (IDOCLAB) 2023 pada Kamis (7/12/2023). Ia membuka presentasinya dengan celoteh, “Ngapain harus menjadi global?” untuk menjawab tema yang diberikan padanya. Dalam forum ini, Risa membuka ruang pencarian platform untuk bersoal tentang peristiwa ’65 dan cerita hantu di Indonesia.

Berakar dari penelitiannya atas cerita hantu di Indonesia, Risa mengupas perbandingan perihal yang lokal dan global. Ia mempertanyakan kembali alasan kita memilih menjadi global. Barangkali, pilihan untuk menjadi global hanya perkara gengsi untuk terlihat “keren”. Alasan lain mungkin berkaitan dengan kenyataan bahwa pemberi pendanaan merupakan negara atau lembaga asing. Celakanya, mereka memiliki koridor tersendiri yang berkaitan dengan pandangan global. Namun, yang menjadi masalah adalah cara menjadikan “yang lokal” menjadi “yang global”. Kita sering terperangkap pada rasa tidak percaya diri sebagai bekas negara jajahan.

Perkara lokal dan global menjadi sesuatu yang bias di antara prasangka dan kenyataan. Prasangka bahwa kita (lokal) berada di bawah, dan global di atas, sehingga mendorong kita untuk menjadi global. Orang asing seringkali menilai kita dengan kriteria mereka. Padahal, kita memiliki standar tersendiri yang tidak pernah kita bandingkan dengan global. Misalnya, dalam setiap pembangunan kita harus menggunakan korban dan selamatan yang menjadi kearifan lokal. Namun, menjadi sesuatu yang asing dalam pandangan global. Untuk menjembatani hal tersebut, cerita hantu seringkali dipakai untuk menjelaskan sesuatu secara lebih universal.

Struktur berpikir masyarakat Indonesia seringkali terbawa oleh cerita hantu. Meskipun pada perkembangannya dalam cerita hantu tokoh protagonis tak selalu bersifat baik pula. Struktur ini pula yang membawa persepsi kita dalam melihat masa silam. Terlebih, terdapat kecenderungan untuk menjadikan perspektif masa kini sebagai corong untuk melihat masa silam. Hal ini terbukti dalam penelitian Risa mengenai hantu di Taman Langsat. Orang yang lebih dekat dengan Taman Langsat cenderung lebih bersahabat dengan cerita hantu yang ada di sekitar mereka. Namun, orang yang berada lebih jauh dan mendapatkan informasi dari sumber tersier cenderung memiliki perspektif hiperbola. Inilah yang kemudian menciptakan jurang pemisah yang curam antara prasangka dan kenyataan. Padahal dalam setiap film dokumenter, kenyataan merupakan kerangka utama alih-alih menghadirkan prasangka. Pembuat film tidak semestinya hanya berfokus pada estetika, tetapi harus pula memikirkan etika. Oleh karena itu, film yang bagus akan memiliki kuriositas.

Peristiwa 65 membawa banyak cerita hantu yang akhirnya beredar di masyarakat. Banyak kisah yang diciptakan dan beredar secara luas. Misalnya, cerita tentang hantu yang kebal dan selalu berkeliling membawa genjer dan menari. Ini merupakan salah satu contoh paranoia ditransformasikan oleh kekuasaan. Ketakutan inilah yang membuat kita (dipaksa) lupa dengan kisah-kisah di sekitarnya. Namun, setelah diteliti lebih lanjut, bukan perkara ideologi yang membuat kita lupa, melainkan kematian. Cerita hantu bersumber karena kematian subjek yang tidak pernah sempurna. Oleh karena itu, akhirnya ada tradisi mengembalikan ke makam dengan nyekar, sehingga terhubung lagi dengan kehidupan lain dalam kehidupan kosmos yang lebih besar. Sayangnya, hal ini menjadi sesuatu yang sepele di mata global.

Risa berpesan, “Kalau mau bikin film, amati cara hidupnya, lihat jalan pikirnya, amati momen apa yang akan dipakai untuk bercerita tentang gagasan.” Kita perlu memahami identitas dan tidak harus menjadi global, dan tidak perlu merasa gundah jika film lokal tidak terpilih dalam ajang internasional.

Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 7 Desember 2023.