Solidaritas antarmanusia tumbuh dengan organik sebagai sebuah kodrat manusia (human nature). Solidaritas tersebut hadir sebagai respons atas ketidakadilan, penindasan, dan kezaliman yang tidak dapat ditoleransi oleh norma dan akal budi. Salah satu bentuk solidaritas termutakhir sekaligus yang telah berlangsung selama bertahun-tahun merupakan solidaritas global terhadap korban-korban–penindasan, kekerasan, dan aneksasi–agresi militer di Palestina. Berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis, jurnalis, dan seniman, menyuarakan dukungan mereka melalui aksi protes, gerakan boikot, serta kampanye di media sosial.
Pada ranah aktivisme seni, berbagai karya, baik rupa, musik, film, hingga sastra, menjadi alat perlawanan yang mengungkap penderitaan rakyat Palestina sekaligus membangun kesadaran global atas ironi tersebut. Solidaritas terhadap Palestina bukan sekadar isu politik, tetapi panggilan moral untuk membela hak asasi manusia. Gerakan ini menegaskan bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan universal demi keadilan dan kebebasan.
Gagasan Arundhati Roy mengenai seni sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan menginspirasi Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, berkolaborasi dengan Forum Film Dokumenter mempersembahkan pameran On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing. Tajuk tersebut merupakan sebuah kutipan dari buku War Talk yang ditulis Arundhaty Roy yang mendedah imperialisme dan solidaritas global. Oleh karenanya, jalan revolusi yang intim dan tajam melalui seni menjadi jalan taktis serta elegan untuk menghadapi keadidayaan.
Pameran yang diselenggarakan pada 13 Maret–18 April 2025 ini menegaskan peran seni dalam melawan ketidakadilan dan merebut kembali narasi. Dalam pembukaannya, Mira Asriningtyas, Direktur Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, menjelaskan, “Dengan pemahaman atas solidaritas antar manapun, di dalam pameran ini kita akan melihat beberapa karya mulai dari Palestina sampai Papua.” Oleh karenanya, pameran ini menghadirkan ragam narasi personal dalam keterkaitannya terhadap lanskap pergulatan politik yang lebih luas, solidaritas global, dan ruang interaksi antargerakan di berbagai belahan dunia. Karya-karya yang dihadirkan dalam pameran ini merupakan pantulan sekaligus cerapan atas perjuangan, perlawanan, dan solidaritas. “Saya (cuman) berharap kita semua kita tidak kelelahan dengan perjuangan kita ini,” tutur Mira.
Pameran ini tidak hanya dihadirkan dalam ruang pamer kubus yang tertutup, melainkan pada beberapa titik secara tematik. Begitu tiba, kita akan akan langsung disambut oleh fasad bangunan depan Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat karya mural Enka Komariah yang menggambarkan perlawanan rakyat Palestina terhadap Zionis Israel. Lantas, ketika melewati lorong teras dalam, kita akan menyaksikan lini masa karya-karya cerita pendek Danarto dari 1968 hingga 2009. Karya tersebut disusun dan dikurasi secara tematik oleh Danarto Dkk. untuk menyibak pemahaman solidaritas antar manusia dalam lintasan linimasa kekaryaan Danarto yang memiliki respons artistiknya masing-masing dalam memotret setiap kejadian.
Ketika masuk ke ruang tertutup pameran, kita akan langsung dihadapkan dengan sebuah film pemenang e-flux Film Award 2025, A Night We Held Between (Noor Abed, 2024) yang dikaryakan oleh seorang seniman Palestina. Dalam film ini, ia membicarakan mengenai tindakan dari sebuah perjuangan melalui arsip suara dan rekaman subjek ruang-ruang marginal–underground.
Di sebelah tayangan film Noor Abed, tersaji karya seniman Palestina lain, Basma al-Sharif, dengan judul The Story of Milk & Honey. Sebuah karya instalasi multimatra yang dihadirkan secara simultan untuk merebut narasi dan menciptakan ulang sejarahnya sendiri. Sedangkan di sudut lain ruangan tersebut, dua film dokumenter ditayangkan dalam single channel video yang masing-masing merentangkan narasi dan membuka wacana lain tentang Papua. Dua film tersebut yaitu A Tale of My Daughter (Tutaha Subang) (Wulan A. Putri, 2024) dan Kota Emas (Arief Budiman, 2025).
Dalam pembukaan pameran ini hadir pula Kurnia Yudha Fitranto, Direktur Forum Film Dokumenter. Ia turut menjelaskan mengenai upaya pencatatan peristiwa dan penciptaan ruang solidaritas, khususnya kepada Palestina. “Beberapa karya yang coba dihadirkan merupakan upaya-upaya pencatatan atas peristiwa yang sampai saat ini masih berlangsung. Artinya, ada beberapa keadaan yang memang butuh untuk menciptakan ruang-ruang solidaritas. Karena dalam waktu yang sama, di Palestina sampai hari ini masih dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Bahkan, di negara kita sendiri juga terjadi hal yang sama,” jelasnya.
Selanjutnya, masing-masing seniman diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan serta sedikit memberikan pengantar atas karya yang dipamerkan dalam pameran. Grace Sambo mewakili Danarto Dkk. menjelaskan asal mula kolektif ini dan ragam aktivitas yang mereka kerjakan sejak 2020. “Pertanyaan-pertanyan mengenai estetika karya dan visi artistik Danarto dalam karya-karya yang melintang dalam berbagai matra—film, lukisan, dan tulisan–membuat kerja-kerja penelitian ini dilakukan dan hadir dari berbagai disiplin,” ucapnya. Seniman Arief Budiman mendeskripsikan karyanya sebagai sebuah refleksi singkat atas perjalanan residensinya pada tahun 2021 di Papua dalam rangka Biennale Jogja. Dalam karya ini, Arief bekerjasama dengan kawannya, Edi dari MES 56. Mereka mencoba berbagi pengalaman dan perspektif mengenai Papua, peristiwa-peristiwa yang terjadi di Papua, serta pengalaman mereka selama berada di sana. Dengan perspektif Arief yang merupakan orang Jawa yang datang ke sana, dan Edi yang dari Papua yang lama di Jawa. Karya ini terinspirasi dari kumpulan cerpen Izaak Samuel Kijne, seorang misionaris/zending yang datang ke Papua pada awal 1900-an. Cerpen itu bercerita tentang 2 sahabat yang berkelana mengunjungi hutan dan gunung emas di Papua. Yang menarik, Izaak sangat memuliakan orang Papua. Ia berpendapat suatu hari nanti orang-orang Papua dapat bangkit, berdiri di tanahnya sendiri, memimpin bangsanya sendiri.
Tepat sebelum acara pembukaan pameran ditutup, Enka Komariah tiba dan langsung diberikan kesempatan untuk menjelaskan karya muralnya. Ia lantas menjelaskan bahwa karyanya tersebut merupakan jawabannya atas tantangan Dito Yuwono dan Mira untuk membuat karya mural di depan Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat yang menarasikan wacana Palestina. Meskipun sempat ragu, ia akhirnya memberanikan diri untuk menarasikan wacana tersebut dalam mural yang hadir pada dinding fasad Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat tersebut. “Ini lebih ke kemanusiaanya. Memang Israel di masa lalu menjadi korban. Mungkin aku kalau hidup di masa Yahudi mengalami Holocaust dari Nazi aku akan menggambar sesuatu. Karena aku hidup di zaman ini yang sebaliknya. Makanya aku menggambarkan yang terjadi hari ini, bahwa orang Palestina tertindas, dipaksa pergi dari tanahnya, pembunuhan besar-besaran terjadi,” jelas Enka mengenai muralnya.
Pameran On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing dapat disaksikan di Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat, Yogyakarta hingga 18 April 2025. (Ahmad Radhitya Alam)