Menenggala Lapisan dan Mengurai Lipatan dalam Proses Memonumenkan Pater Bert

— Berita
FFD 2024

Pemutaran film The Silent Path (Soebertono Mote) (2024) pada 8 November 2024 pukul 21.00, diikuti oleh sesi diskusi bersama Sutradara Yonri Revolt dan Produser Rendy Rizal. Dimoderatori oleh Gerry Junus, diskusi ini membahas mulai dari proses inkubasi, riset, pengumpulan catatan, pra-produksi, hingga proses penyuntingan film. Penonton bersama-sama mengurai setiap elemen yang tertera dari film mulai dari pengarahan narasi, penggayaan, dan unsur teknis dalam The Silent Path (2024).

Diskusi diawali dengan pertanyaan yang dilayangkan tentang apakah Yonri dalam penyuntingan film sempat harus menarik jarak terlebih dahulu karena ada faktor emosi yang menguasai atau tidak. “Ketika dalam proses edit film, saya nangis termehek-mehek,” gurau Yonri. “Ini prinsip kami ketika kami membuat film, film sedih itu sudah tidak ada. Sekalipun juga film ini sengaja dinarasikan dalam nuansa biografi, fokus dan penekanan saya lebih banyak berpikir untuk menyusun kolase visual yang bisa membedakan biografi ini dengan film-film lain.” Rendy menambahkan, “Ketika Pater meninggal, peristiwa itu kemudian memicu kami untuk menyelesaikan film ini, dan kami harus menciptakan film yang pantas untuk Pater dan visi film kami.”

Moderator Gerry Junus kemudian menanyakan bagaimana proses ketika meminta izin kepada mendiang Pater Bert untuk minta film mengenai beliau. “Sekalipun beliau tidak suka dengan film saya, dia tidak bisa intervensi keputusan saya, saya cuma bilang saya mau buat film tentang bapak, ‘Oh ya sudah,’ begitu saja, terus kita ngobrol mengalir saja tentang persiapan-persiapannya,” singkat Yonri. Melanjutkan pernyataan tersebut, seorang penonton kemudian membahas tentang alasan di balik pemilihan arsip yang seakan-akan seperti gambar yang tercecer dalam The Silent Path (2024). Sutradara Yonri kemudian menjelaskan bahwa visual tersebut ada dengan fungsi sebagai pendamping dari narasi audio. Beban konteksnya lebih diarahkan pada narasi audio, sedangkan ceceran gambar menjadi ruang bebas bagi penonton untuk mengimajinasikan arah gerak ceritanya. Berbeda ketika ada kesengajaan untuk mempertunjukkan sekuens montase, maka durasi visualnya diperpanjang oleh sutradara Yonri.

Yonri menjelaskan mengenai pengarsipan catatan Pater Bert yang tersisa kurang dari 50 catatan disaring dalam proses kategorisasi melalui tabel kronologis berdasarkan tahun. Awalnya, catatan disusun secara linear. Namun, pada akhirnya ada keputusan untuk proses penyuntingan melakukan jump-cutting sehingga urutan catatannya disusun tidak secara berurutan. Penyusunan narasi juga dirumuskan setelah melalui proses riset, dibantu dengan referensi catatan dari hasil wawancara tentang perjalanan dari awal sampai akhir Pater Bert di Papua. Ia menjelaskan bahwa sumber arsip didapat dari koleksi arsip film budaya Papua sejak tahun 1932 yang bersumber dari lembaga misionaris Belanda yang sekarang berfokus dalam kerja perawatan peninggalan benda budaya Papua.

Tiga penonton menanyakan penguraian trivial tentang beberapa montase dari film seperti adegan tikus yang kepalanya terjebak dalam bungkus camilan, adegan awal yang berlatar pantai, serta pemilihan pergantian antara adegan hitam-putih dan berwarna sebagai respon penggiringan nilai. Satu per satu Yonri menjelaskan proses untuk memutuskan adegan tikus sebagai montase yang diasosiasikan dengan catatan Pater yang melihat bagaimana Belanda dan Indonesia melihat Papua sesuai kepentingannya––yang awalnya hanya sebagai transisi tetapi akhirnya dijadikan penggayaan untuk memainkan penangkapan gambar terhadap catatan Pater Bert. Untuk adegan laut dan pantai di awal juga menjadi penanda penonton untuk ikut menyelam di dalam catatan-catatan perjalanan Pater Bert. Merespon pilihan-pilihan tersebut, mengutip Tarkovsky, Yonri menyatakan bahwa narasi visual yang dibawa dalam tampilan hitam-putih adalah film sedangkan yang berwarna bukan. Dalam The Silent Path (2024), Yonri mencoba untuk membalik logika Tarkovsky dengan menyatakan bahwa montase yang disajikan berwarna adalah film aslinya sedangkan rekaman hitam-putih yang lain hanya sebagai pendamping, sehingga pernyataan tersebut menjustifikasi adegan tikus dan laut––yang notabene berwarna––menjadi sebuah montase tersendiri.

Dari interaksi dan diskusi yang sangat produktif, banyak produksi perspektif dan pengetahuan yang dikemukakan sutradara Yonri dan produser Rendy yang semakin memperdalam lapisan dan memperluas perspektif untuk mengeksplorasi film The Silent Path (2024). Dua penonton membahas mengenai adanya tendensi dari pembacaan personalnya bahwa film ini menampakkan Belanda sebagai negara yang superior sehingga melanggengkan citra Papua dengan tendensi perpanjangan tangan atas sistem kolonialisme. Pertanyaan terakhir memantik pendapat mengenai posisi politis dari film yang menyinggung isu kemerdekaan Papua yang juga masih terasosiasikan dengan interdependensi dengan negara Barat. “Mudah-mudahan saya salah, tapi pembacaannya terhadap film ini memang begitu… Selama Pater Bert mengobrol dengan saya, ketimuran saya dan keberatan Pater tidak pernah benar-benar bertemu,” jawab Yonri. Memetik contoh dari adegan ketika mendiang Pater Bert ditanya tentang alasannya untuk mengabdi di Papua, pandangan beliau yang masih melihat Papua dahulu sebagai peradaban primitif terakhir di muka bumi cukup menjelaskan pendapat dari Yonri sendiri. Yonri secara tegas juga memosisikan bahwa filmnya memainkan keberpihakan yang jelas untuk mendukung kemanusiaan, atau untuk lebih meyakinkan lagi mendukung kemerdekaan dari segala belenggu bentuk kolonialisme.

 

Diliput oleh Gantar Sinaga pada 8 November 2024. (Ed. Vanis)