Dalam rangkaian pameran kelompok On a Quiet Day, I Can Hear Her Breathing, telah berlangsung acara bedah buku dengan tajuk Belajar Lagi Perihal Kesetiakawanan. Acara yang dilaksanakan pada Rabu (19/03/2025) tersebut membahas buku Dari Yerusalem ke Armageddon (2024, Jakarta: Gang Kabel), kumpulan cerpen karya Danarto seputar Palestina. Dipandu oleh Grace Samboh, acara tersebut berlangsung di ruang depan Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat bersama Katrin Bandel dan M. Yaser Arafat.
Acara dibuka oleh Grace Samboh dari Danarto dkk. sebagai moderator dan lantas mengenalkan Danarto dkk. sebagai sebuah perkumpulan yang berkomitmen untuk menelusuri praktik artistik Danarto dari berbagai sudut pandang. Di dalamnya ada 13 anggota perkumpulan dari berbagai latar belakang disiplin, di antaranya adalah Grace Samboh, Saleh Husein, Abraham Togar, Anisa Rahadiningtyas, Andri Syarifuddin, Aji Asfani, Enin Supriyanto, dan Sakdiyah Ma’ruf. Mereka berkumpul sejak 2020 lalu bertemu setiap Rabu untuk mengenal proyek-proyek Danarto. Tak hanya sekadar berkumpul, mereka juga menemui orang yang pernah bekerja bersama Danarto, Arifin C. Noer salah satunya. Grace juga mengenalkan bahwasanya Danarto memiliki latar belakang berkuliah di jurusan seni rupa. Makanya tidak mengherankan jika karya sastranya memiliki bayangan visual yang kuat.
Dari berbagai aktivitas penelitian, Danarto dkk. banyak mengadakan pameran arsip sebagai upaya untuk mengunyah kembali praktik kesenian dan kesusastraan Danarto. Selain itu, mereka juga mengembangkannya dalam bentuk karya kolektif—salah satunya adalah Nayamullah, sebuah band tanpa anggota tetap, yang jumlah penampilnya bisa berkisar antara 9 hingga 80 orang. Nayamullah, selain sebagai band, juga merupakan sebuah radio tanpa jaringan bernama Nayamullah Station. Mereka memiliki program siaran, tetapi tidak memiliki kanal radio sendiri. Untuk mengudara, mereka bekerja sama dengan radio lain—salah satunya adalah Radio Norm. Saat ini, mereka berkolaborasi dengan Radio Alhara, yang menyiarkan program dari Betlehem. Program tersebut mulai mengudara pada 2 April 2025. Sejak Oktober 2023, Danarto dkk. juga aktif menerjemahkan naskah-naskah dari situs learningpalestine.net, yang turut dikelola oleh Radio Alhara.
Grace kemudian menjelaskan alasan Nayamullah Station mengerjakan kegiatan penerjemahan tersebut. “Yang waktu itu dibikin untuk radio tuh lebih karena ada sesuatu yang terjadi. Sebagai pekerja seni, selain posting di Instagram apa sih yang bisa kita lakukan? Dan menerjemahkan itu merupakan sesuatu yang tangible,” terangnya. Namun, awal mula ide penyusunan buku Dari Yerusalem ke Armageddon: Sepilihan Cerpen Danarto Seputar Palestina (1968-2009) (2024) muncul ketika Intan dan Andri sedang mengerjakan katalogisasi perpustakaan pribadi Danarto. Katalog tersebut saat ini dapat diakses di Perpusda Sragen. Pada proses katalogisasi tersebut, mereka menemukan banyak cerpen Danarto mengenai Palestina. Berangkat dari temuan tersebut, mereka mulai menerjemahkan cerpen-cerpen tersebut agar dapat diperdengarkan di Radio Alhara.
Setelah mengenalkan Danarto dkk. dan latar belakang penyusunan buku Dari Yerusalem ke Armageddon, Grace lantas mengenalkan para pembicara Katrin Bandel dan M. Yasser Arafat. Sesi bedah buku kemudian dilanjutkan oleh paparan Katrin Bandel. Ia merentangkan ingatannya pada masa ketika mencoba membaca cerpen awal-awal Danarto dan akhirnya menyerah karena sulit memahaminya. Namun, perasaan tertarik muncul ketika disodori kumpulan cerpen ini. Ia merasakan pengalaman berbeda ketika membaca buku ini karena disusun secara kronologis dan tematik. “Ternyata sangat mengasyikkan. Memang cerpennya sangat menarik,” ujarnya.
Perkembangan pengetahuan dan pengalamannya dalam membaca karya sastra menjadi landasan pemahamannya terhadap cerpen-cerpen Danarto. Namun, faktor utama yang membentuk pemahamannya terhadap cerpen-cerpen tersebut adalah babak baru dalam hidupnya setelah memilih menjadi seorang muslimah. Pengetahuan mengenai spiritualitas Islam membuatnya mampu memahami konteks narasi dalam karya-karya Danarto yang kental dengan nuansa sufistik. Salah satu cerpen yang menurut Katrin paling mewakili spiritualitas yang melekat dalam karya Danarto berjudul Lempengan-Lempengan Cahaya. Menurutnya, bahkan sejak dari judul, sudah muncul kata yang sangat penting dalam spiritualitas Islam, yakni cahaya. Kisah mengenai alasan dan cara beberapa ayat diturunkan di awal cerita membuat cerpen tersebut begitu kental dengan khazanah Islam. Cerita kemudian berlanjut pada kisah seorang gadis kecil di Palestina yang menelan ayat-ayat yang diceritakan di awal cerita. Tindakannya tersebut membuatnya dicurigai oleh tentara Israel. Peristiwa itu membuat gadis tersebut dipaksa untuk memuntahkan kembali ayat-ayat yang telah ia telan. Ia beralasan bahwa tentara Israel gemar mengambil dan mencuri ayat-ayat tersebut—yang dalam ceritanya berbentuk lempengan.
Kisah tersebut menurut Katrin menarik karena berkaitan dengan ayat yang dikaitkan dengan cahaya. Dalam spiritualitas Islam cahaya dapat berarti hati dan penerang untuk mendapatkan petunjuk dari Tuhannya. Imaji yang dihadirkan melalui cahaya dan lempengan yang menjadi kedirian seorang gadis Palestina tersebut merupakan simbolisasi mengenai tak semua hal bisa ditelan oleh Israel. Cerita tersebut terhubung secara naratif dengan cerpen Bintang Betlehem yang menceritakan munculnya benda bercahaya di langit yang dicurigai oleh tentara Israel sebagai sesuatu yang mengancam. Cerpen-cerpen tersebut menggambarkan adanya kekuatan yang tidak terpahami secara nalar oleh Israel dan pihak internasional lainnya.
Dalam cerpen lain berjudul Unta Masuk Lubang Jarum, Danarto mengisahkan seorang perempuan bersama bayinya yang tidak bisa dirobohkan. Melihat kejadian tersebut, salah seorang tentara Israel berkomentar, “Kitab suci dapat dirobek-robek, tetapi ia tetap kitab suci.” Peristiwa yang bernuansa realisme magis tersebut kembali terulang dan tersambung dengan resistensi Palestina terhadap Israel. Katrin menjelaskan bahwa dalam cerpen-cerpen Danarto, spiritualitas digambarkan sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan rasionalitas Barat, sehingga memunculkan kebingungan di pihak mereka (Israel). Sementara itu, kumpulan cerpen yang disusun secara kronologis oleh Danarto dkk. memperlihatkan variasi gaya penceritaan dan pendekatan spiritualitas yang dituangkan Danarto dalam setiap karyanya. Ia seolah mencari imaji spiritualitas dalam diri Palestina dan dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di sana. Beberapa bagian terkesan sangat abstrak, sureal, dan spiritual; sementara bagian lain justru mengadopsi gaya naratif ala penulisan berita. Ada pula kisah yang menceritakan pengalaman pribadi Danarto saat bepergian ke Palestina. Begitulah cara Danarto merekam realitas kehidupan–realitas dunia yang membumi dalam kehidupan sehari-hari, tapi di saat yang sama menghadirkan spiritualitas yang sangat mendalam.
Yaser Arafat kemudian melanjutkan pada sesi kedua bedah buku. Menurutnya, cerpen yang paling menarik untuk membuka buku ini adalah Lempengan Cahaya. Yaser menjelasakan bahwa cerpen tersebut menghubungkan dimensi yang bukan dimensi kepada realisme. Selain itu, juga menghubungkan antara cahaya dengan manusia yang hidup serta sedang berkonflik di sebuah tanah yang menjadi tempat peperangan umat manusia.
Ketika membaca cerpen Lempengan Cahaya, Yaser menceritakan jika ia langsung membayangkan Kungfu Panda. Ia terbayang ketika Po masuk ke alam roh bertarung dengan Kai yang sudah menyedot semua energi roh. Ketika mereka bertarung di alam roh, Kai dipersilahkan untuk menyedot energi Po lalu kekenyangan dan meledak. Ia lantas menarik pantulan bahwa manusia tidak boleh melebihi apa yang seharusnya ia ambil dan seharusnya ia berikan. Dari situ kita akan paham dalam setiap agama setiap tahu harus dimuliakan, karena tamu datang mengambil penyakit pemilik rumah. Karena ketika tamu datang kita menyuguhkan sesuatu yang pada dasarnya merupakan ‘penyakit’ untuk kita. Karena pemberian memiliki kemuliaan-kemuliaan yang dalam bahasa Danarto diimajikan sebagai cahaya.
Yaser melihat sesuatu yang ingin disampaikan Danarto merupakan tema-tema kemanusiaan. Namun, standpoint (titik berdiri/sudut pandang, ed.) yang digunakan adalah religiusitas keislaman. Berbeda dengan Katrin yang menangkap spiritualitas Islam. Itulah yang kemudian membuat Yaser justru terlontar pada bayangan adegan Kungfu Panda.
Pemahaman Yaser terhadap teks-teks sastra Danarto berkembang ketika ia membawa bagasi pengetahuan dari budaya populer, seperti film dan video YouTube, sebagai pengantar untuk memahami karya-karya Danarto. “Imajinasi akan dapat dipahami ketika masuk ke dunia realita,“ begitu refleksinya saat membaca Armageddon karya Danarto. “Tidak ada satu karya yang menceritakan banyak hal,” ucap Yaser.
Yaser lalu merentangkan penjelasan pada serial Dragon Ball GT. Ia menceritakan kemunculan naga dari setiap bola yang dikumpulkan yang kemunculannya dapat mengancam umat manusia. Setiap permintaan yang diajukan pada Shenron (Dewa Naga) maka akan menghasilkan satu naga yang akan membawa kehancuran. Jika dipantulkan pada realitas hari ini maka dapat ditarik makna bahwa setiap permintaan yang bersumber dari keinginan menciptakan residu. Pemahaman tersebut, menurut Yaser, sama dengan imajinasi yang ingin disampaikan Danarto, bahwa di balik isu yang disuarakan dan hal baik yang diceritakan dari cerpen Danarto maupun hal lain mungkin tidak bisa mencakup hampir seluruh tuntutan kemanusiaan. Terdapat karya yang menjadi residu dan mungkin akan menjadi persoalan yang akan diselesaikan penulis setelah Danarto.
Selepas penjelasan Yaser yang merentangkan cerpen-cerpen Danarto pada pantulan-pantulan lain dari budaya populer melalui Kungfu Panda dan Dragon Ball, acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Salah satu penanya memulai dengan menceritakan rasa penasarannya mengenai pendudukan Israel di Palestina suatu narasi yang dibenarkan oleh narasi orientalisme. Penjajahan tersebut dibenarkan oleh narasi mengenai kepemilikan tanah Israel sebagai sebuah hadiah. Ia lantas mempertanyakan ketika pengetahuan untuk melihat persoalan tersebut belum cukup memadai dan mudah terakses, bagaimana Danarto dalam cerpennya memosisikan Israel sebagai entitas yang menjajah.
Grace kemudian menjelaskan bahwa narasi mengenai penjajahan mulai mencuat cukup kuat dalam cerpen Puputan PLO yang ditulis pada periode 80-an (tahun 1982, ed.). Namun, menurut Grace, pada 1972 ada puisi mbeling berjudul Kesetiakawanan Asia-Afrika karya Remy Sylado yang mendedah bahwa Asia-Afrika hanyalah konsep. Semua orang mungkin mengalami hal yang serupa, tetapi mereka mengalaminya di tempat yang berbeda dan sebenarnya tidak terhubung. Sederhananya, Grace bersama Danarto dkk. membaca posisi Danarto mengenai persoalan penjajahan berakar dari puisi tersebut. Warisan intelektual Kongres Asia-Afrika beresonansi terus dalam trayektori proses kekaryaan Danarto.
Menurut Katrin, yang menarik untuk ditelusuri dari segi poskolonial adalah sumber resistensi tersebut. Hal itu terkoneksi dengan spiritualitas Islam di kalangan tertentu di Indonesia yang memiliki peran besar. Alhasil, dari sudut pandang poskolonial, kesadaran rasional yang muncul dalam cerpen-cerpen Danarto justru menemui kebuntuan—beralih menjadi sesuatu yang sureal. Imaji yang dihadirkan dalam cerpen-cerpen tersebut merupakan bentuk sindiran yang sangat mengena. Oleh karena itu, resistensi tidak hadir melalui metode penjajah, melainkan lewat bentuk pengetahuan yang sama sekali berbeda.
Pertanyaan selanjutnya muncul dari Ape yang menanyakan soal penggunaan terma dalam Alkitab sebagai justifkasi Israel segala macam pengorbanan yang masih berlangsung hingga sekarang serta waktu lampau yang menjadi pijakan. Ia juga mempertanyakan mengenai patahan pasca pada pascakolonial, atau mungkin bentuknya saja yang berbeda. Menanggapi pertanyaan tersebut, Grace menjelaskan bahwa Danarto dkk. memutuskan memunculkan lini masa dalam proyek ini karena medium karyanya yaitu buku. Oleh karenanya, pembaca dapat memutuskan urutan pembacaan secara kronologis ‘dari depan’ ataupun terbalik ‘dari belakang’. Itu pula alasan pemilihan menampilkan lini masa di ruang pameran menyesuaikan mediumnya, dalam konteks ini adalah tembok.
Dalam cerpen Danarto, Katrin menjelaskan bahwa ia tak terlalu merasakan adanya lompatan anakronis. Ia lantas mendedah kisah yang hadir dalam cerpen Danarto merupakan lompatan realita ala berita yang sesuai dengan kenyataan. Ia juga menjelaskan mengenai logika sirkuler dalam agama Islam terdapat dalam Al-Qur’an cerita nabi pada masa lalu. Namun, bukan sebagai pengetahuan sejarah, tetapi untuk dihidupi saat ini.
Mengenai pasca dalam pascakolonial, kajian pascakolonial tidak pernah menganggap kolonial sudah berakhir. Namun, bentuknya selalu terulang dengan cara yang baru. Dalam karya Danarto hal itu tercermin ketika Danarto menghubungkan Puputan dengan Palestina. Kedua peristiwa tersebut terjadi pada masa yang berbeda, tetapi perlawan yang serupa bisa terulang pada konteks masa dan budaya yang berbeda serta tetap relevan.
Yaser turut menjelaskan melalui jagad Jawa sebagaimana dalam Wirid Hidayat Jati, di mana Palestina disebut Baitul Muqaddas–wilayah di bawah perut, wilayah pertengkaran seluruh umat manusia. Alhasil, persoalan yang disuarakan Danarto bukan sekadar soal perang, melainkan tentang keharusan akan pertemuan antara kawula dan Gusti, atau dalam penjelasan Ronggowarsito, antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, anakronisme menjadi bagian penting dari kemanusiaan–bagian yang tidak semuanya dapat dijelaskan secara logis. (Ahmad Radhitya Alam)