Giat-Giat Perlawanan Masyarakat Adat yang Terekam dan Tersisa

— Berita
FFD 2023

Apa yang terjadi bila masyarakat adat harus hidup berhadapan dengan praktik industri yang ekstraktif dan masif? Bagaimana peristiwa dan narasi terkait hal tersebut muncul dalam media dan film dokumenter? Apa yang kita bayangkan ketika bicara estetika perlawanan, utamanya dalam dokumenter? Adakah cara dan praktik tertentu untuk membicarakan dan membingkai perlawanan dalam film dokumenter? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terangkum dalam DOC Talk bertajuk “Deduksi dan Didaksi” dan dibahas melalui film dokumenter pendek arahan Wulan Putri berjudul Mama Lihat Awan Jatuh (2023).

Diskusi ini dilaksanakan pada Senin, 4 Desember 2023 di Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat. Memimpin diskusi, telah hadir Wulan Putri (Sutradara Mama Lihat Awan Jatuh), Asep Komarudin (Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace), dan Fahri Salam (Pemimpin Redaksi Project Multatuli). Memandu diskusi, telah hadir pula Suluh Pamuji (KDM CINEMA).

Hutan Papua menjadi tempat tinggal bagi banyak spesies flora maupun fauna di Indonesia. Hilangnya hutan Papua tidak hanya menandakan hilangnya kekayaan alam milik Indonesia tapi ancaman kepunahan bagi suku bangsa Papua sebab sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup dari hutan tersebut. Hal ini yang menjadi alasan mengapa Suku Awyu dengan berani melawan keserakahan korporasi hingga meja persidangan. Hutan Papua, selain menjadi tempat tinggal bagi berbagai spesies flora dan fauna, juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang tinggal di sana. Rusak dan hilangnya hutan tak hanya akan mengancam ekosistem alam, tetapi juga kelangsungan hidup suku Papua. Suku Awyu telah lama hidup berdampingan dan berada dalam naungan hutan adat. Namun, kehidupan mereka terancam sejak perusahaan-perusahaan perkebunan sawit mulai diberi izin oleh Pemprov Papua untuk mengelola hutan adat mereka. Sebagai pemilik wilayah adat, masyarakat Suku Awyu bahkan tidak mendapatkan informasi tentang aktivitas perusahaan. Parahnya, upaya mempertahankan wilayah adat mereka melalui jalur hukum ditolak oleh majelis hukum di persidangan.

Asep Komarudin menyampaikan bahwa Mama Lihat Awan Jatuh merupakan suatu bentuk kampanye tentang isu kepemilikan hutan adat milik Suku Awyu. Film merupakan media kampanye yang efektif menarik dukungan sebanyak-banyaknya dari berbagai kalangan masyarakat. Film dapat menjadi corong suara bagi mereka yang kesulitan melantangkan diri. Mama Lihat Awan Jatuh merupakan dokumenter dengan format trilogi. Terdapat pertimbangan yang melibatkan pilihan artistik dalam hal tersebut. Menurut Fahri Salam, pendekatan dan eksekusi yang diperlukan dalam proses penggodokan dokumenter ini memakan waktu yang cukup lama. “Kami terus belajar. Sejak awal memang sudah mempertimbangkan resikonya.”

“Masyarakat tahu Indonesia punya hutan yang bagus di Papua. Tapi, mereka nggak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya. Hutan itu sudah dipunyai izinnya oleh oknum-oknum. Itu yang coba kami tunjukkan kepada publik,” ungkap Asep. “Saya menemukan satu catatan bahwa ada kekhawatiran orang Papua soal masuknya perusahaan (sawit). Apa yang terjadi dengan Suku Awyu ini termasuk peristiwa yang sebenarnya tidak baru juga. Ini (film Mama Lihat Awan Jatuh) jadi semacam ingatan kolektif perempuan Awyu yang didengar dari berbagai catatan berbeda. Ingatan kolektif perempuan Papua ketika berhadapan dengan ekspansi perusahaan dan mereka harus melihat bagaimana hutan-hutan itu sekarang jadi perkebunan sawit,” kata Wulan Putri.

Film dokumenter nyatanya masih menjadi salah satu alternatif jitu untuk melihat dan merespons berbagai isu. Lebih dari itu, dokumenter juga dinilai mampu menjadi medium representatif yang efektif dalam berkampanye dan melakukan usaha-usaha subversi dengan lantang. Diskusi-diskusi lain dalam DOC Talk masih tersedia dan dilaksanakan secara luring dan gratis. Temui informasi terkait melalui laman web Festival Film Dokumenter 2023.

Ditulis oleh Hesty N. Tyas pada 4 Desember 2023