Tahun 2006 pascatragedi gempa bumi di Yogyakarta, Vendy Methodos memulai langkah pertamanya berkarya di jalan dengan nama “stalker”. Dalam ingatannya, hanya tiga kali Ia menggambar di jalanan waktu itu. Setelah vakum cukup lama, Vendy Methodos kembali berprofesi atau (ungkapnya kepada kami) menekuni hobi menggambar di jalan pada tahun 2011. Methodos menjadi nama baru yang dipilih kemudian. Festival Film Dokumenter (FFD) 2022 berkesempatan untuk berkolaborasi bersama seniman mural Vendy Methodos sebagai collaborating artist.
“Kalau saya boleh menilai secara subjektif, dari perspektif saya, karya saya itu lebih menyadarkan, bukan mengobati, sih. Lebih membuat orang sadar atau aware bahwa ini ada sesuatu atau gejala, fenomena yang terkadang tidak kita sadari, tetapi itu ada dan dekat dengan kita.”
Keterlibatan Vendy Methodos dalam perhelatan FFD membuat kami penasaran untuk mengulik, bagaimana pandangannya terhadap kolaborasi ini. Menurutnya, dokumenter itu terkesan tidak populer. Ini tidak terlepas dari kenyataan kalau dokumenter menjadi genre yang non-mainstream dan jarang sekali diputar dalam gedung-gedung bioskop. Dalam pandangan Vendy Methodos, film-film semacam ini hampir serupa dengan karya seni visual: esensinya mencari sesuatu yang tidak terlihat, tetapi sesungguhnya itu sangat dekat dengan kita. Maka, FFD itu menarik, sebab festival semacam ini mampu mengintervensi masyarakat untuk aware dengan kondisi di sekitar.
Meskipun baru mengenal FFD secara mendalam dalam beberapa bulan terakhir ini, Vendy Methodos menyatakan bahwa ada perasaan senang dan excited ketika diajak kolaborasi. Menurutnya, ini adalah kolaborasi yang lintas disiplin. “Saya backgroundnya visual artist yang diajak kolaborasi untuk festival film. Dan, itu menjadi pengalaman baru saya, di dalam karir saya.” tuturnya.
Vendy Methodos membuat beberapa artwork untuk FFD 2022. Keseluruhan artwork tersebut menyuguhkan visual subjek yang bergerak. Ketika kami bertanya, mengapa seperti itu? Ia menjawab bahwa kata kunci dan ide utama dari artwork ini adalah olahraga gimnastik.
Sebab seperti olahraga gimnastik di Indonesia yang tergolong tidak populer, representasi film dokumenter dalam benak Vendy Methodos juga demikian: eksis, tetapi tidak terlihat. Namun, di sisi lain, tetap memiliki peminatnya sendiri.
Ia berharap perhelatan FFD terus ada, berkarya, mengintervensi, dan menyajikan film-film yang terkadang sering tidak disadari oleh filmmaker lainnya. Tentu saja, Vendy Methodos juga berharap karyanya dapat dikenal secara luas, tetapi yang hal lain yang tidak bisa dimarjinalkan adalah harapan bahwa pesan yang dituangkan dalam artwork yang dikerjakannya ini sampai kepada mereka yang melihat: bahwa film dokumenter itu selayaknya olahraga gimnastik yang ada, tetapi tidak populer. Menyadarkan bahwa ada filmmaker-filmmaker yang berkecimpung dan bergerak memperkenalkan film dokumenter ke khalayak luas.
Ditulis oleh Cindy Gunawan | Disunting oleh Vanis