Piring Tirbing merupakan kolektif seni asal Yogyakarta yang berfokus di ranah sinema. Piring Tirbing dihidupi oleh anak-anak muda yang sejak 2016 lalu mengerjakan proyek film bersama. Di rumah produksi ini, mereka sekaligus mencipta karya-karya film yang eksploratif. Dalam perjalanan karyanya, Commision Artist pilihan FFD ini selalu mencari capaian artistik dan medium alternatif tanpa batasan yang saklek.
Dalam satu kesempatan, tim FFD mewawancarai beberapa anggota Piring Tirbing, di antaranya Aditya Krisnawan, Achmad Rifqon, Agge Akbar, Arief Budiman, Bagas O.A, dan Muhamad Erlangga Fauzan. Mereka menyampaikan pandangan hingga seluk beluk karya yang dibuat untuk helatan FFD tahun ini.
Bagaimana Piring Tirbing melihat FFD secara umum?
Kalau kita ngomongin festival film di Jogja itu sendiri, FFD berpengaruh sekali. Kebetulan kami juga sekolah di jurusan audiovisual. Dengan adanya festival film, bisa membuat kami belajar banyak, bisa menonton film yang belum pernah kami tonton sebelumnya. Lalu soal akses, dengan adanya FFD bisa mempermudah.
Ngomongin festival di Jogja, FFD merupakan salah satu yang bertahan cukup lama. FFD menjadi salah satu festival film dokumenter yang cukup penting untuk dibicarakan dan diikuti pergerakannya. Dalam wilayah festival film di Jogja kalau dilihat tidak ada yang berfokus pada dokumenter seperti FFD.
Apa kaitannya dengan karya yang dibuat?
Kalau kaitanya dengan karya yang dibuat, sebenarnya lebih membicarakan ketahanan FFD untuk tetap hadir selama 20 tahun ini, sih. 20 bukan waktu yang pendek untuk menyelenggarakan festival. FFD juga bukan festival yang anggaran selalu mengucur. Karena juga setahuku FFD bergerak secara kolektif.
Bisa dijelaskan lebih lanjut terkait “ketahanan” FFD? Mengapa ingin menggambarkan itu dalam karya?
Kalau secara kronologis, di awal kami disodorkan satu teks tentang retrospektif FFD selama ini. Kemudian kami mengambil kata kunci yang paling tidak itu menggambarkan keseluruhan dari FFD. Kata kunci yang kami ambil adalah keberdayaan dan kegigihan. Terus kami kembangkan lagi bagaimana caranya gambaran ini bisa ada ruh tentang keberdayaan, tentang kritisisme di dunia dokumenter, sama tentang dokumenter itu sendiri. Kami berdiskusi dan mengembangkan ide, sampai akhirnya merumuskan konsep dan teknis produksi. Garis besarnya adalah tentang filmmaker dokumenter kelaparan yang akhirnya ditolong oleh narasumbernya. Soal teknis produksi atau konsep artistiknya itu kami menggambarkan ada dua hal yang kira-kira bisa dilihat bagaimana ketahanan atau keberdayaan itu ada.
Pertama adalah, kalau kita bicara tentang bikin film itu sekarang alatnya hebat-hebat ya, alatnya sudah lumayan oke. Ada tripod, kamera, segala macam gitu. Nah, di karya ini, alat kami gambarkan dengan manusia. Dengan konsep: ada yang jadi tripod, ada yang jadi kamera, ada yang jadi mic. Di karya itu yang tidak siap malah si filmmakernya. Lalu terjadilah sebuah insiden dan akhirnya ditolong oleh si narasumber tadi. Begitu.
Kami ngomongin soal jarak antara manusia dengan alat produksi. Sekarang, alat-alat sudah cukup canggih. Alat yang berkembang itu kemudian diiringi dengan sumber daya manusianya yang berkembang juga gak? Hal ini yang kemudian digambarkan dengan meragakan anatomi alat-alat produksi. Kalau secara internal, kita sering kali bicara soal alat-alat yang harus proper. Kenapa alatnya yang harus proper? kenapa bukan manusianya? Sebenarnya sejauh mana, sih, gap antara manusia dengan alat yang ada? Paling tidak seperti itu, sih.
Intinya karya ini ngomongin alat produksi yang mendukung manusia itu sejalan gak sama ide yang dibawa filmmaker ya?
Sebenarnya kalau ditarik lebih umumnya lagi ngomongin soal FFD sebagai sebuah festival yang gak mungkin jalan kalau tidak ada orang-orang di dalamnya. Dua puluh tahun, orang-orang yang terlibat secara kolektif di dalamnya itu seberjuang apa? Itu kan gak mudah. Ya, itu tadi kalau ngomongin soal kebertahanan dan kegigihan.
Jadi alat produksi itu sebenarnya untuk menopang produksi karya audio visual. Kemudian kalau di karya ini untuk menopang manusianya. Ditarik lagi ke FFD, orang-orang di dalamnya itulah yang menjadi perhatian khusus.
“Jangan Lupa Makan” itu kami gambarkan pula soal kritik kami terhadap dunia dokumenter, diwakilkan dengan si filmmaker itu yang lupa makan. Istilahnya dalam film ini: durung pondasi. Intinya alat-alat sudah oke, tapi malah si director lupa makan.
Bagaimana Piring Tirbing melihat kehadiran dan posisi FFD di tengah gairah festival seni?
Lebih banyak acara lebih beragam itu lebih bagus. Lebih mengasyikkan untuk dinikmati, apalagi di jogja. Itu gak jadi masalah.
Tapi kalau ngomongin posisi FFD di tengah festival seni, menurut kami ya adanya FFD jadi keharusan untuk diselenggarakan tiap tahun. Meski terdapat beberapa festival seni lain yang karya-karyanya juga mengandung produk audio visual, yang secara spesifik ngomongin soal dokumenter saya pikir gak ada selain FFD. Khususnya dalam scope Jogja, FFD cukup penting dan harus.
Ini soal konsistensi juga. Dua puluh tahun sejak 2002, yang katanya awalnya dari nonton film kemudian jadi sebuah festival, menurutku FFD harus terus ada. Buat update soal film dokumenter itu juga penting. Kami pun gak sering nonton film dokumenter selain dari FFD dan internet.
Bagaimana melihat keinginan FFD yang secara konsisten menghadirkan isu dan memantik diskusi di masyarakat melalui medium dokumenter?
FFD yang menampilkan film-film dokumenter itu menjadi pintu masuk buat banyak orang melihat apa yang terjadi di Jogja, nasional, bahkan internasional. Kami melihatnya ini sebagai media untuk membuka mata. FFD cukup membantu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Baik isu seputar dokumenter itu sendiri, maupun tema-tema yang dibawakan oleh film yang diputar dalam FFD.
Kami melihat upaya FFD itu harus diapresiasi. Karena pilihan festival yang secara spesifik ngomongin dokumenter di Jogja ini belum ada, FFD yang secara konsisten tetap ada setiap tahunnya menjadi ruang bagi kami untuk update tentang dunia dokumenter itu sendiri.
Bagaimana soal akses atau keterjangkauan masyarakat umum terhadap dokumenter menurut kalian?
Soal akses lumayan bisa dijangkau. Kalau kami datang ke festival, mayoritas untuk mengobrol di luar ruang pemutaran, bertemu teman-teman dari luar kota, bertemu teman-teman filmmaker lain, atau teman sebagai lain yang senang menonton film. Sisanya baru untuk menonton. Jadi dengan aktivitas itu, kami jadi memiliki jarak yang lebih enak untuk memandang sesuatu, khususnya FFD. Soal akses pun oke, gak jauh-jauh banget bahkan kalau dilebarkan lagi buat masyarakat yang sangat umum. FFD jadi semacam terminal atau tempat janjian; entah mau nonton film atau enggak, ya ketemunya di venue acara. Kemeriahan festivalnya begitu. Nah, itu kemudian jadi tantangan tersendiri kalau kita bicara menyiasati pandemi. Kata ‘festival’ itu akhirnya pakai konsep hybrid. Wilayah festivalnya ada di sebelah mana? Pertanyaan itu sendiri yang akhirnya menjadi pertanyaan menarik.
Penulis: Dina Tri Wijaya