Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Sinema Indonesia melahirkan nama-nama besar yang masih dibicarakan sampai sekarang. Masa di mana sensor beroperasi dengan ketat dalam mengatur serta menjaga narasi yang boleh tampil ataupun tidak boleh ditampilkan di layar. Ini adalah masa di mana oposisi hanya dapat direpresentasikan melalui sudut pandang pemerintahan Orde Baru sendiri, untuk merawat suatu bahaya laten–musuh imajiner. Namun, dapatkah sinema mewakilkan keresahan zamannya? Dapatkah sinema berbicara tentang apa yang tidak boleh dibicarakan atau belum pernah dibicarakan?