Film Turang (1957), karya Bachtiar Siagian (1923–2002), telah ditemukan pada sekitar 2023. Setelah segala bentuk pencarian hingga reenactment mengajak penonton membayangkan arsip film yang hilang dari para pegiat film di Indonesia, ditemukannya arsip film Turang (1957) bukan saja penemuan, tetapi juga perjumpaan, khususnya terhadap sutradara Bachtiar Siagian sebagai bagian dari khasanah dan keragaman sejarah sinema Indonesia.
Pada masa lalu, Bachtiar Siagian mengalami diskriminasi dan menjadi tahanan politik yang berdampak pada banyak karya sutradara yang berafiliasi dengan politik kiri ini mengalami penghilangan, yang serta-merta dihilangkan dalam sejarah sinema Indonesia. Padahal pada masanya, Turang mendapatkan tempat penting dalam sejarah sinema Indonesia. Pemutaran perdananya bahkah berlangsung di Istana Negara Jakarta. Film ini juga telah memenangkan penghargaan dalam Pekan Apresiasi Film Nasional yang kelak akan menjadi FFI (Festival Film Indonesia) pada 1960.
Film Turang ditemukan dalam arsip film di Taschen, Uzbekistan ketika diputar di Festival Film Asia Afrika (The Afro-Asian Film Festival [AAFF]) pertama yang digelar di negara pecahan Uni Soviet pada 1958 sebagai agenda kebudayaan dari kelanjutan semangat negara-negara dekolonial di Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia pada 1955. Ketika pemutarannya di Taschen, Turang menjadi film yang populer. “Penonton di Teater Iskra, yang penuh sesak, menatap layar dengan napas tertahan,” ujar penyair dan penerjemah Mikhail Kurgantsev, “…di mana seberkas sinar matahari perlahan melintasi wajah-wajah Rusli dan Tipi yang tak bergerak. Matahari terbit meluncur di atas tanah Indonesia yang berlumuran darah. Sebuah lagu yang menghantui dan menyayat hati dimulai, lalu mereda di kejauhan,” (Elena Razlogova, 2021: 117).
Ditemukannya film Turang bukan sebuah repatriasi benda-benda bersejarah, tetapi semacam “kepulangan” dan perjumpaan Semangat film Turang yang berisikan semangat kewargaan, baik sebagai pemain maupun sebagai tokoh, adalah juga “kepulangan” Turang yang diinisiasi oleh para warga sinema Indonesia.
Lokasi film Turang yang diambil di Seberaya dan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatra Utara adalah realisme berdasarkan latar belakang “real” tentang gambaran perjuangan kemerdekaan yang berlangsung di semua wilayah Indonesia. Sebagaimana juga peran warga desa, termasuk sebagai pemain, juga sebagai narasi yang menggambarkan bahwa warga dari berbagai pelosok di Nusantara, dan bukan militer saja, telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Penanda lanskap film Turang yang berlangsung di desa-desa Tanah Karo menunjukkan keragaman lanskap di dalam sejarah sinema Indonesia pada masanya. Keragaman lanskap menjadi penting mengingat lanskap Jawa masih menjadi sentris pada masa itu, sebagaimana dalam film Anak Perawan di Sarang Penyamun (Usmar Ismail, 1962) yang menggambarkan narasi di hutan di antara Lahat dan Pasemah, Palembang menggunakan lokasi pengambilan gambar hutan yang ada di Jawa. Penanda lanskap di dalam Turang tentu saja bukan sekadar ruang, tetapi juga bagaimana ia dihidupi oleh para pemainnya yang notabene juga penduduk setempat. Beberapa ambilan gambar jauh (long take) di dalam Turang seakan merayakan keindonesiaan, yang juga konsisten di dalam adegan-adegan lain seperti adegan Rusli yang luka tertembak, dimuati oleh ritual-ritual tradisi Tanah Karo sebagai bagian dari bagaimana lanskap dalam sinema dihidupi oleh para warga yang bermain.
“Pil Kina Bandung”, kira-kira begitulah ungkapan Bachtiar Siagian dalam menyikapi diskursus ideologi-ideologi politik dan sinema global yang khas Indonesia. Pil Kina sebagai metafora pengobatan yang pahit; dan Bandung sebagai sebuah lanskap yang indah dan narasi romantik, adalah semacam praktik dekolonial ala Bachtiar Siagian di dalam sinema. Film Turang adalah perjuangan warga Karo mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang penuh luka dan duka, tetapi dikemas dalam lanskap-lanskap keindahan alam dan juga romantisme.
Dalam konteks produksi, Turang tidak lepas dari dominasi melodrama film Hollywood pada masanya serta semangat sosialisme melawan dominasi kolonial. Ditemukannya Turang seakan menegakkan hak hidup, khususnya hak hidup akan arsip film, sebagai bagian dari keindonesiaan itu sendiri. Di dalam dialectical image, Walter Benjamin, bukan berarti apa yang lampau menerangi apa yang kini, atau apa yang kini menerangi masa lalu; melainkan, citra adalah tempat di mana apa yang telah terjadi bertemu dalam sekejap dengan masa kini untuk membentuk sebuah konstelasi. Melalui image, hubungan keduanya adalah hubungan yang temporal. Kepulangan Turang bukan hal yang arkaik, tetapi membentuk konstelasi segar tentang bagaimana peran “warga” di dalam spasialitasnya mendekolonial sejarah sinema dan keindonesiaan yang temporal.

