Ruang (dialihkan dari kata site di teks versi bahasa asli) adalah bagian yang mendasar dan kekal dalam tubuh sinema. Ruang membentuk sinema, dan sebaliknya, sinema mengajak kita mempermasalahkan ruang. Ruang, dalam pengertian program ini, bukanlah sebuah tempat bersifat fisik yang direpresentasikan, ia bukan perwujudan dari apa yang terberi, melainkan ruang sebagai wujud yang mengalami proses penciptaan terus-menerus melalui praktik sinema. Lima film yang terkumpul dalam program ini memperhatikan bagaimana ruang diciptakan, dengan harapan bahwa penonton dapat meninjau ulang makna ruang yang ada.
Film pertama, Images of Tunisia (Younès Ben Slimane, 2025) memetakan ulang kota Tozeur, Tunisia, yang sebelumnya dijajah oleh Prancis. Film ini mengambil serpihan rekaman kolonial tentang kota tersebut kemudian menimpanya dengan rekaman masa kini di mana pembuat film menggenggam kamera dan berjalan-jalan menyusuri reruntuhan kota yang sama. Pergerakan tubuh yang berjalan melangkah dan memutari ruang menjadi cara film menciptakan sketsa baru yang mengkritik tatapan kolonial. Arsip dengan tatapan kolonialnya mengambil dan mengekstrak apa yang ia lihat, dan film ini melelehkan ekstrak itu dengan cara mengembalikan ruang ke dalam persoalan pengalaman sensori dengan mediasi kamera-manusia.
Ruang yang memuat cerita masa lalu adalah ruang yang bisa terasa akrab tapi juga bisa asing. Film kedua, Statues Rule the Waves (Noah Berhitu, 2024), mengikuti perjalanan seorang warga negara Belanda keturunan Maluku yang mengunjungi tanah nenek moyangnya di Ambon. Film ini memosisikan proses pembuatan film sebagai bagian dari mengalami ruang, dan bagi si pembuat film, memproses ruang adalah menerjemahkannya–tentu dengan risiko menjumpai interaksi sosio-politik yang gagal diterjemahkan. Proses menjadi perjalanan yang menuntut kejujuran yang tidak mencoba untuk menutupi retakan tak kasat mata gara-gara hantu kolonial.
Film ketiga, Dissipate (Victor Laet, 2024), diposisikan untuk mulai menggeser makna ruang. Kamera merekam sebuah kolam renang di mana sebuah keluarga sedang berenang masuk dan keluar dari bingkai kamera. Dengan pengambilan gambar berdurasi panjang yang disengaja, ruang fisik berubah menjadi ruang filmis–ruang yang kini memiliki dimensi temporal dan spasial, tercipta oleh kerja pembingkaian.
Dalam penciptaan ruang, tidak ada ruang yang stabil. Film Rapture I – Visit (Alisa Berger, 2025) memperlihatkan ketegangan ini. Seorang laki-laki berdiri di tengah ruang gelap, ia diminta mengenakan headset realitas virtual dan mengunjungi apartemennya yang tak lagi dapat dijangkau secara fisik karena serangan Rusia. Kamera berjarak dan mengamati laki-laki tersebut yang sedang berjalan mondar-mandir dalam gelap. Sesekali, ia mengomentari titik-titik yang sedang ia kunjungi secara virtual. Oleh kamera, di mata penonton, pengalaman virtual tersebut terpampang secara nonvirtual; bagi penonton dan mungkin juga laki-laki tersebut, ruang menjadi tidak stabil karena ia secara terus-menerus ditafsir dalam mental, dan selalu berada dalam ketegangan arus virtual-nonvirtual.
Film terakhir, Mountain Roars (Pobwarat Maprasob, Chonchanok Thanatteepwong; 2024), bergulat dengan ruang yang tidak bisa direpresentasikan sebab ia bukan ruang fisik dan/atau ruang konseptual. Film ini menyusun kepingan-kepingan cerita tentang sebuah gua, di mana alam semesta serta para makhluk terhubung oleh pertalian mistik. Dengan taktik artistik yang memutarbalikkan bahasa dan logika, yang mencampur adukan pengetahuan sains dengan magi, ruang menjadi ruang translusens (tembus cahaya tapi tidak tembus pandang). Dibiaskan dan terhambur, tak persis seperti yang terlihat, namun itu apa adanya.
Sinema mengisi ruang, lalu mengosongkannya, untuk kemudian mengisinya kembali–memberi napas baru dalam pemaknaan dan imajinasi. Ruang, dalam praktik sinema, bukanlah sesuatu yang selesai, melainkan selalu dalam proses penciptaan.





