Kisah Personal dan Liminal di Balik Proses Kreatif Pembuatan Dokumenter Pendek

— Berita
FFD 2023

“Mohon maaf kursinya sudah penuh,” begitulah kiranya pembuka percakapan yang terjadi di depan Bioskop Sonobudoyo pada slot terakhir pemutaran film dokumenter (5/12/2023). Semenjak 15 menit sebelum pemutaran film, kursi penonton sudah penuh. Beberapa penonton bahkan rela datang lebih awal demi menyaksikan pemutaran 4 film dokumenter dalam kompilasi program Kompetisi Pendek. Keempat film yang ditayangkan yaitu, Sailum: Song of the Rustling Leaves (Felix K. Nesi, Moses Parlindungan Ompusunggu; 2023),  Kanaka (Regina Surbakti, 2023), Mother of the Sea (Clarissa Ruth Natan, 2023), dan The Whistle Starts Whispering (Yusuf Jacka Ardana, 2023).

Berbagai wacana dan narasi yang dibawa tiap masing-masing film membuat penayangan slot ini begitu ditunggu. Kisah kakek Felix K. Nesi yang diberikan kehidupan dan diambil hidupnya pula oleh pohon lontar menjadi jembatan untuk membawa narasi intim dan personal dalam Sailum: Song of the Rustling Leaves (2023). Bersama Moses, Felix mempersembahkan ritus penghormatan terhadap budaya agraris yang berpusat pada arak serta relasinya terhadap religiositas Katholik di negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Di film Kanaka (2023), sebagai sutradara, Regina menceritakan kisah kehidupan urban dari sudut pandang, Mikha, seorang pelukis kuku di Yogyakarta. Pekerjaan di studionya membuat Mikha sedikit berjarak dengan keluarganya. Sebagai seorang ibu, ia ingin merawat anaknya tetapi tempatnya bekerja tidak memungkinan untuk melakukan hal tersebut. Tawaran kepada suaminya untuk berbagi pekerjaan domestik–mengurus anak–tak diterima dengan baik membuat film ini begitu tebal membahas isu perempuan.

Isu perempuan juga menjadi wacana yang dibangun dalam film Mother of the Sea (2023). Meski mendapatkan pandangan sinis terhadap posisi gendernya yang tak semestinya ikut melaut, Siti Darwati tetap bertahan hidup mempertaruhkan nyawa di tengah laut. Ia bersama kelompok nelayannya di Demak terus berjuang mendapatkan perhatian pemerintah. Sedangkan film terakhir, The Whistle Starts Whispering (2023) membahas mengenai peristiwa kekerasan oleh negara di sebuah lapangan sepakbola.

Pada penayangan ini hadir pula perwakilan dari setiap film yang ditayangkan. Mereka adalah Moses Parlindungan Ompusunggu (Sutradara Sailum: Song of the Rustling Leaves), Regina Surbakti (Sutradara Kanaka), Kinanthi Larasati (Produser Mother of the Sea), dan Yusuf Jacka Ardana (Sutradara The Whistle Starts Whispering). Selepas penayangan film usai, dengan dipandu Rugun Sirait selaku pengelola program kompetisi, penonton dapat mengikuti sesi tanya jawab bersama para pembuat film.

Jacka, selaku sutradara The Whistle Starts Whispering (2023) menjelaskan alasannya memilih arsip visual sebagai media untuk merangkai kisah di balik Tragedi Kanjuruhan. Kecintaannya terhadap sepak bola–yang lebih besar dari kecintaan terhadap film–membuatnya kembali merasakan atmosfer pertandingan sepak bola yang seharusnya ketika merekam arsip-arsip visual ini. Bukan kerusuhan dan represi yang dilakukan oleh aparat negara ketika berusaha mengurai massa. Jacka memilih mengabadikan sudut-sudut Stadion Kanjuruhan sebagai arsip yang kelak dapat menjadi pengingat ketika ingatan itu lamat-lamat mulai dihapus pemerintah daerah. Ia memilih tidak melakukan observasi dan wawancara secara langsung terhadap korban untuk menghindari menambah luka mereka. Untuk menarasikan suara para korban Tragedi Kanjuruhan, Jacka menampilkan keberpihakan dan secara liminal lebih memilih untuk mengarsipkan suara-suara yang tertulis di tembok-tembok stadion.

Selanjutnya, pertanyaan tertuju kepada pembuat film Kanaka (2023), Regina, mengenai proses bertemu dan berkomunikasi dengan tokoh dalam film sehingga mendapatkan cerita yang sangat personal. Regina menjelaskan bahwa ia pada mulanya merupakan pelanggan dari studio milik Mikha sebelum kemudian menemukan keunikan dari studio tersebut. Kisah-kisah personal yang berkelindan di ruang tersebut menjadi wacana yang dialihwahanakan dalam film dokumenter Kanaka (2023) secara intim dan personal.

Beralih dari kisah yang liminal dan personal, Moses mengisahkan pembagian tugasnya dengan Felix sebagai sesama sutradara Sailum: Song of the Rustling Leaves (2023). Pembagian itu dilakukan untuk menghindari bias narasi dan menjaga ruang diskusi kreatif. Dalam mengerjakan film ini, Moses dan Felix sepakat untuk mengurus 2 medium yang berbeda. Felix berfokus mengurus narasi dan kisah yang dibawakan, sedangkan Moses lebih mengerjakan urusan teknis komposisi film untuk membawakan film ini secara lebih personal. Keduanya pun saling memberikan masukan ketika proses penyuntingan setelah syuting selama 11 hari.

Berbeda dengan 3 film sebelumnya yang dihadiri sutradaranya dalam sesi tanya jawab. Diwakili oleh Kinanthi Larasati, Kinan menjelaskan keterbatasan yang tim produksi rasakan dalam proses pembuatan film The Mother of the Sea (2023). Ia bercerita proses riset yang dilakukan secara daring dengan bantuan LSM untuk menemukan subjek yang sesuai untuk film ini. Bantuan inilah yang akhirnya dapat mengaitkan ide dan fokus isu yang dimiliki subjek.

Proses kreatif dalam pembuatan film-film dokumenter memiliki perjuangan dan keunikan masing-masing. Terdapat kisah-kisah–baik personal maupun liminal–yang terjalin satu sama lain untuk membawakan narasi yang diwacanakan. Begitu pula dengan tantangan teknis yang seringkali harus dihadapi oleh para pembuat film. Menarik untuk melihat proses kreatif film-film lainnya yang tayang dalam Festival Film Dokumenter 2023 yang dilaksanakan sampai 9 Desember 2023.

Diliput oleh Ahmad Radhitya Alam pada 5 Desember 2023.