Catatan Program

Sinema Ketiga

 

Pada tahun 1960-an, beberapa pembuat film Amerika Latin meluncurkan sebuah gerakan yang menyebut diri sebagai sinema ketiga. Mereka mendeklarasikan sinema ketiga sebagai sebuah alternatif terhadap sinema pertama Hollywood dan sinema kedua Eropa. Sinema ketiga bagi para pembuat film ini adalah sinema yang berorientasi revolusioner, sinema dengan pendekatan estetika dan politik yang sensitif dengan situasi dunia ketiga. Istilah dunia ketiga pun berasal dari intelektual Amerika Latin yang melihat dalam istilah dunia ketiga sebuah kondisi ketergantungan dan kemiskinan, tetapi juga sebuah kemungkinan—ideologi, mimpi, jalan kemajuan. Menurut dua eksponen gerakan ini—Octavio Getino dan Fernando Solanas, sinema ketiga adalah “sinema yang mengakui bahwa dalam perjuangan masyarakat dunia ketiga melawan imperialisme terkandung manifestasi kebudayaan, ilmiah, dan artistik paling mulia dari masa kini, sebuah kemungkinan untuk membentuk kepribadian yang terbebaskan, dengan setiap orang menjadi titik awal perubahan—dengan kata lain, dekolonisasi kebudayaan” (1969). Melalui film The Hour of the Furnaces (La hora de los hornos) (1968), mereka menggambarkan perjuangan anti-imperialis ini melalui analisis komprehensif penindasan di Argentina.

Film-film dalam program Perspektif tidaklah berasal dari masa kebangkitan sinema ketiga pada tahun 1960-an. Namun, film-film yang dibuat dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini membawa spirit dan pendekatan yang sama pada persoalan estetika dan politik kontemporer, yaitu kelindan antara penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan. Film pertama, The Trial (2023), dibuat dari arsip pengadilan jenderal-jenderal militer yang terlibat dalam kekerasan dan teror selama junta militer Argentina (1974–1983). Film ini tidak hanya memperlihatkan kekejaman rezim militer, terutama terhadap aktivis mahasiswa, serikat buruh dan seniman kritis, tetapi juga kekuatan sinema untuk menjadi saksi dari drama sebuah bangsa yang ingin meluruskan sejarahnya sendiri.

Sebuah kisah dari Inadelso Cossa di The Nights Still Smell of Gunpowder (2024) membawa kita pada meditasi panjang tentang kekerasan, menggugat temporalitas tegas antara masa lalu dan masa sekarang, kolonial dan pascakolonial, ingatan dan sejarah, hantu dan kenyataan di Mozambique. Di tengah bunyi-bunyi malam, serangga-serangga yang bersahutan, persoalan-persoalan dunia ketiga terus menyerta di tanah yang mengalami penjajahan dan sejarah perbudakan selama ratusan tahun. Kemerdekaan menjadi sebuah jalan, tetapi juga kutukan.

Film terakhir dalam program ini, Fifth Cinema (2018) dari pembuat film Nguyễn Trinh Thi memberikan tawaran kritis bagi kemandegan sinema ketiga. Pembuat film masyarakat adat (indigenous filmmakers) telah mengambil tempat di sinema keempat, mendeklarasikan betapa sinema ketiga, meski berorientasi kerakyatan dan revolusioner telah melupakan hubungan-hubungan yang dibangun oleh genosida, ketidakadilan gender, dan rasisme. Berangkat dari konteks Vietnam, salah satu bangsa yang berhasil mengalahkan hampir semua imperialis dunia (Cina, Prancis, dan Amerika Serikat), “Fifth cinema” membawa kita pada perenungan tentang tugas seniman dan sinema: memberikan kemungkinan-kemungkinan dan menawarkan dunia-dunia baru.

 

— Veronika Kusumaryati