Ketaksaan
Setiap karya membuka jendela baru dalam spektrum dan tema yang beragam. Tanpa aksesori kata dalam pendekatan gambar bergerak, membawa film melampaui medium, wilayah, bentuk, dan ruang-ruang yang mengujinya. Ia berjalan di antara hiruk pikuk definisi gambar bergerak yang mempertanyakan motif dan makna, fiksi dan nonfiksi, realitas dan surreal. Kekaburan tersebut memberi celah terhadap eksplorasi medium, dan kesempatan untuk mengamati benturan teks-teks sejarah dengan masa kini.
Celah ini membawa kita pada perenungan panjang atas bagaimana tugas seniman dan sinema berpadu, saling menawarkan kesegaran telusur tutur dan cara pandang pada penonton. Hal ini juga membuka ruang imajinasi untuk mengisi kekosongan pergerakan berbagai spektrum dalam definisi sinema, di pikiran kita sendiri. Sebagai upaya menghadirkan kesadaran resiprokal tentang kehadiran penonton dan gambar bergerak, dengan benturan di antara yang tampak dan tidak, di antara teks dan gambar, pengalaman ini membawa kita berada di ruang liminal yang memberi kita ketaksaan dalam memaknai ekshibisi mini di FFD 2024.
Melalui tahapan mise-en-scene performatif, upaya memfiksikan suasana auditif melalui produksi suara yang dikoreografikan, kita dibawa pada eksplorasi dua aktor yang menampilkan repertoar, membangun dan membongkar gagasan tentang monumen, hantu dan ketiadaan, dalam interaksi dibawah pancaran cahaya temaram Ghost Light. Kehadiran dua kamera mampu menangkap gestur dan ekspresi secara detail, juga berbagai hal “simbolik” pada pedestal sebagai upaya menghadirkan yang tidak hadir. Menyelami hiruk pikuk hitam putih A Leap in Time, Stillness Whispers sebagai salah satu dari realisme fotografis pada semesta sinema, kita diajak untuk bisa menembus batas material kamera sebagai alat yang mampu menggerakkan ingatan atas ruang dan waktu.
Sinema terdiri dari fragmen-fragmen dan kumpulan elemen yang pada kenyataannya berbeda. Pemaknaan gambar dalam film maupun kombinasi bahan baku dari film propaganda kolonial pada Surrounding Silences, merupakan elemen prefabrikasi yang dapat dibongkar dan dipasang kembali oleh seniman ke dalam penjajaran baru. Sementara itu, pengalaman auditif bergerak melalui inkarnasi yang berbeda, seperti entitas dari kosmologi Buddha dalam No Exorcism Film, membawa kita pada korespondensi suara-suara yang menyatu dengan gambar pembangunan perkotaan Thailand yang agresif, ketakutan pribadi (dan historis), dan juga harapan-harapan antargenerasi.
Fragmen-fragmen dalam empat karya ini memberi implikasi bahwa penonton membawa reaksi emosional mereka sendiri–terhadap rangkaian gambar yang menjadi dasar sinema sebagai bentuk seni yang bertumbuh dan menginterpretasikan secara harfiah dari frasa “membuat film”.
— Alia Damaihati