Festival Film Dokumenter 2010

  • Bukan perkara mudah untuk mempersiapkan Festival Film Dokumenter tahun ini. Beberapa minggu sebelum festival, Gunung Merapi, salah satu bagian dari kosmologis masyarakat Yogyakarta, memuntahkan awan panas yang meluluhlantakkan beberapa desa dan merenggut nyawa. Dalam suasana vang mash hiruk-pikuk karena bencana, festival ini tetap berjalan–bukan untuk mengolok-olok bencana–namun untuk memanusiakan manusia yang mencoba bertahan dan memperbaiki keadaan.

    Ya, inilah Festival Film Dokumenter 2010, festival yang telah ada sejak tahun 2002 dan in adalah kali kesembilan perayaan dokumenter in terselenggara. Festival ini adalah arena apresiasi, rang pertukaran ide, dan tempat terbuka untuk merayakan keberagaman dokumenter. FFD 2010 ini menyajikan program Kompetisi, Perspektif, Spektrum, SchoolDoc, diskusi, dan workshop.

    Kompetisi Film Dokumenter Indonesia FFD tahun ini diikuti oleh 80 pembuat film dari seluruh Indonesia. Kompetisi FFD in dibagi dalam tiga kategori, dokumenter pelajar, dokumenter pendek, dan dokumenter panjang. Bukan sekedar kompetisi menang dan kalah, namun lebih dari itu, kompetisi ini menciptakan peluang untuk perkembangan film dokumenter Indonesia dari tahun ke tahun. Seluruh film peserta kompetisi akan didokumentasikan yang kemudian dapat digunakan untuk merunut perubahan sosial dan kebudayaan sekaligus perkembangan perfilman dokumenter Indonesia

    Selain kompetisi, FFD 2010 menyuguhkan beberapa program lain yang dapat mendukung atmosfer perfilman dokumenter di Indonesia. Diskusi dan Masterclass di Taman Budaya Yogyakarta akan menjadi rang pertukaran ide dan pengalaman dari berbagai kalangan, yang akan merangsang pertumbuhan pemikiran dan kekayaan wacana.

    Kemanusiaan mash menjadi ide besar kami dalam festival ini. Kekerasan, konflik kepercayaan, korupsi, pertentangan kultural, dan bencana menjadi benang merah permasalahan Indonesia, bangsa ini menjadi limbung dengan derasnya informasi. Membaca fenomena ini, Festival Film Dokumenter 2010 menawarkan alternatif tontonan, untuk memandang Indonesia dari kacamata lain. “Hipocracy” menjadi perspektif kami dalam merespon fenomena-fenomena sosial yang termediakan, tidak hanya mengajak untuk melihat lebih kritis, namun juga menjadi acuan refleksi atas hidup. Sedikit mengutip kalimat John Grierson, “look on cinema as a pulpit”. Peran dokumenter tidak hanya menjelaskan, namun juga inspiratif, seperti panggung dialog yang tent tidak hanya satu arah, namun juga membuka celah untuk menelaah serta member tempat untuk ketidaksetujuan. Selain itu terdapat program Spektrum yang menjadi wadah bagi keberagaman tema dan genre film dokumenter. Schooldoc, adalah salah satu dari program FFD tahun in yang memfokuskan pada pelajar untuk lebih dekat dengan film dokumenter.

    Pada akhirnya, di tengah kondisi yang masih rawan, Festival Film Dokumenter 2010 ini diselenggarakan! Terimakasih untuk semua pihak yang mendukung festival ini, selamat menikmati menu dokumenter tahun ini.

     

    Franciscus Apriwan

  • Program tahun ini dibungkus dengan sebuah isu besar mengenai kemunafikan. Ekses negatif dari manusia sebagai makhluk sosial. Program tahun ini kami mulai dengan kesadaran bahwa film dokumenter adalah medium yang sangat berkuasa untuk membawa alam pikir penonton menuju perspektif lain yang disajikan oleh si pembuat film. Bahwa di film dokumenter lah pembuat film memiliki kebebasan untuk berbicara tentang kebenaran tanpa harus mempertimbangkan kebenaran versi si A atau si B.

    Festival tahun ini akan dibuka oleh Prison and Paradise. Sebuah film dokumenter berdurasi satu setengah jam sekaligus merupakan film dokumenter Indonesia yang pertama kali kami pilih untuk memulai tradisi membuka festival dengan film Indonesia. Dimana lagi film Indonesia bisa menjadi tamu di festival filmnya sendiri. Di satu sisi bahwa Daniel Rudi Haryanto telah berusaha sekuat tenaga, seperti yang dilakukan oleh pembuat film dokumenter lainnya, untuk menyajikan ide yang jelas tentang sesuatu. Di sisi lain bahwa film tetaplah film. Sebuah medium yang rentan terhadap teknis sekaligus memiliki resonansi yang sangat kuat ketika semua aspek terangkum menjadi satu di ruang menonton. Dengan pertimbangan itu kami memilih Prison and Paradise atau Penjara dan Surga untuk membiasakan kita menonton dan berbicara setelahnya. Karena film dokumenter sering kali bukan film yang membuat kita tersenyum setelah lampu bioskop menyala.

    Di program Perspektif anda bisa menonton banyak hal tentang Hypocracy di negeri-negeri seberang. Kami menghadirkan dua film dari sutradara Nelofer Pazira, Return to Kandahar dan Audition, yang bercerita tentang tanah Afghanistan, lalu Hair India mengenai rambut palsu dan mistifikasi kecantikan. Orgasm Inc. akan membuka mata anda mengenai modifikasi kenikmatan seksual, bahwa saat ini semua hal bisa dikomersialisasi bahkan tentang hal yang sangat pribadi sekalipun. Yang terakhir In Complete World oleh Shelly Silver memberikan anda potret interaksi manusia dengan manusia bisa dimulai dengan hanya sekedar bertanya atau bertegur sapa.

    My Asian Heart menjadi film pertama yang kami sajikan di program Spektrum. Film ini menyoal tentang integritas jurnalistik sekaligus keteguhan hati untuk tetap merekam momen. David Bradbury sutradara film in meluangkan waktu untuk datang ke Jogja untuk memberikan masterclass bertajuk “Keep the Camera Rolling, No Matter What!”. Kompilasi film pendek Bridging the Gap dari Skotlandia menawarkan program semacam omnibus film dokumenter yang tahun ini bertema Future. Dalam program SEADoc kami menawarkan perspektif lain memandang negara tetangga kita yang sering membuat telinga dan mata kita merah marah. Malaysia, akan kami sajikan dari mata pembuat film Malaysia sendiri. Masihkan kita menganggap diri kita satu rumpun yang bersaing atau dari dulu kita hanya bisa membiarkan diri kita melihat dari satu sudut pandang saja? Kami mempersilahkan anda menyimpulkan sendiri setelah melahap program ini.

    Akhir kata festival film dokumenter kami harap bisa membuka pintu-pintu dialog dan obrolan bagi anda, teman, rekan kerja dan kerabat untuk memetakan kerumitan bersama. Jangan karena buruk muka lalu cermin dibelah. Selamat bercermin.

     

    Abraham Mudito

  • Societet Militaire TBY, Amphitheatre TBY
  • 7–11 Desember 2010
  • Unduh katalog

Penghargaan

Patron

Agung Kurniawan

Moderator

Daniel Rudi Haryanto

Pembicara

David Bradbury

Juri

Elisabeth D Inandiak

Pembicara

Eric Sasono

Juri

Landung Simatupang

Pembicara

Lisabona Rahman

Juri

Nicolaas Warouw

Juri

Noor Huda Ismail

Pembicara

Statistik

0
Film pendaftar
0
Film diputar
0
Volunteer
0
Mitra