Wahai Hantu-Hantu di Seluruh Dunia, Bangkitlah!
Dalam situasi rezim kekuasaan yang hendak menuliskan sejarah yang dianggap lebih sesuai, saya ingin memulai catatan program ini dengan beberapa pertanyaan.
Bagaimana jika kita memulai dengan kembali kepada hakikat storytelling?
Bagaimana jika kita melihat bahwa setiap cerita sama berharganya untuk diceritakan?
Bagaimana jika kita lebih memilih menyusun kebenaran alih-alih merekamnya?
Kemudian, bagaimana jika kita membebaskan diri untuk bercerita dengan lebih imajinatif mengenai apapun dan dengan menggunakan berbagai macam bentuk atau model pendekatan untuk bercerita?
Dengan kata lain, bagaimana jika kita melihat subjektivitas sebagai metode, dan tentu saja tanpa mengurangi rasa hormat, atas kebenaran?
Reading You (Angeline Teh, 2023), L’Mina (Randa Maroufi, 2025), Lion’s wrinkle and Crow’s feet (Juliette Léonard, 2024), The Flow of Resilience (Pranami Koch, 2024), My Grandmother is a Skydiver (Polina Piddubna, 2025), Apoleon (Amir Youssef, 2024), Last May in Theaters (Arief Budiman, 2025), dan Sharp Objects (Taufiqurrahman Kifu, Hattie Wade; 2025) telah menjawab dan melampaui pertanyaan-pertanyaan di atas. Para pembuatnya percaya bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar hilang. Mereka selalu ada, hanya saja terpendam entah di mana, seperti hantu yang menunggu untuk ditemukan kembali. Hantu-hantu masa lalu itu bisa hadir sekaligus absen. Mereka berupa fragmen dalam berbagai bentuk; video atau film footages, benda-benda, suara, foto yang sudah memudar, arsip tulisan, atau potongan-potongan ingatan yang tidak utuh dan kabur, seperti hantu yang menyusup sebagai narasi yang tidak selalu kronologis dan/atau hadir sebagai fakta.
Hantu-hantu masa lalu itu dihadapkan kepada kita sebagai upaya untuk menghadirkan pengalaman afektif. Mereka dihadirkan bukan lagi untuk melihat apa yang terjadi di masa lalu sebagai kebenaran yang sepenuhnya faktual, tetapi lebih pada cara masa lalu sebagai kebenaran yang diingat atau dirasakan. Kemudian, apakah mungkin ia dapat mengisi celah-celah kosong atau retakan-retakan dalam spektrum narasi yang lebih besar dan menjadi perspektif tandingan bagi narasi yang disusun oleh kekuasaan? Saya kira, hal ini akan menjadi sebuah keniscayaan jika hantu-hantu masa lalu berhasil kita bangkitkan.








