Seni Mengolah Realitas dalam Film: Dari Struktur Hingga Interaksi Antarbentuk

— Berita
FFD

Bersama Shalahuddin Siregar, seluruh peserta Lokakarya Tahap Pertama IDOCLAB diajak menyimak dua film dokumenter untuk kemudian didiskusikan bersama. Dua film tersebut adalah A Letter to the Future (Kurnia Yudha F., 2021) dan Sepanjang Jalan Satu Arah (Bani Nasution, 2016). Kedua film tersebut menjadi studi kasus untuk pembahasan mengenai interaksi antara fiksi dan dokumenter.

A Letter to the Future (2021) menjadi contoh dokumenter yang, menurut Shalahuddin Siregar, berstruktur baik. Ritme, asosiasi, suasana, dan mood yang terjalin di dalam film saling mendukung eksistensi satu sama lain. Hal ini dapat menjadi refleksi sekaligus referensi bagi proyek dokumenter terpilih para peserta. Untuk memantik diskusi, Shalahuddin bertanya pada Kurnia mengenai pendekatan yang dipakai di filmnya. Kurnia memaparkan bahwa ia menggunakan pendekatan gabungan karena isu yang diangkat, seperti kerentanan pembuat film di masa pandemi Covid-19 serta kelahiran anak pertamanya, dinilai dapat lebih tersampaikan dengan beberapa pendekatan sekaligus.

Sebagai film yang personal, Kurnia mengungkapkan bahwa terdapat bank adegan yang sebenarnya hendak turut ditampilkan. Namun, niat tersebut kemudian diurungkan karena ada banyak adegan yang terlalu kuat yang membuatnya tidak sampai hati untuk melibatkan adegan tersebut dalam rangkaian cerita. Menurutnya, tetap ada batasan dalam mengeksplorasi adegan dalam dokumenter personal. Pembuat film tetap perlu memperhatikan sejauh mana hendak membuka diri lewat filmnya. Dalam penarasian film, sejak awal Yudha telah memiliki ide untuk menggunakan teknik rekaman suara (voice over). Hal ini ia lakukan utamanya untuk membantu mengembangkan alur cerita. Proses pengambilan rekaman suara dilakukan ketika seluruh adegan telah terekam sehingga narasi yang dibuat dapat pas dengan konstruksi serta logika cerita.

Shalahuddin menuturkan, A Letter to the Future (2021) memiliki sinematik yang kuat dengan caranya sendiri. Gambar yang sebagian besar direkam menggunakan kamera gawai mampu memperkuat kesan personal dan intim di dalam film. Ada kesadaran teknis yang kemudian menggiring pembuat film pada kesadaran tentang bahasa gambar. Dengan demikian, tone cerita film pun menjadi relevan dengan realitas yang dikonstruksikan dalam dokumenter.

Selanjutnya, Sepanjang Jalan Satu Arah (2016) menjadi dokumenter yang digunakan Shalahuddin untuk memantik diskusi mengenai batas antara fiksi dengan dokumenter di dalam genre film. Film yang bercerita tentang interaksi satu arah antara ibu dengan anaknya ini, yakni Bani sendiri, dianggap menawarkan dokumenter yang mengandung fiksi. Pasalnya, di akhir film, Bani sengaja menyelipkan adegan yang menggambarkan bagaimana ia secara gamblang meminta ibunya berakting di depan kamera.

Melalui pantikan ini, forum terbelah menjadi dua kubu. Kubu yang meyakini bahwa itu dokumenter dan kubu yang meyakini bahwa itu adalah film fiksi. Ketidakjelasan genre tersebut justru dinikmati Bani sebagai bagian dari respons penonton. Ia membiarkan penonton terjebak dalam asumsi, prediksi, dan tafsirannya sendiri. Sementara itu, dengan jenaka Bani bercerita bahwa ibunya yang menjadi pemeran dalam dokumenter tersebut malah menyangsikan ada-tidaknya penonton yang mau menyimak film anaknya. “Puterin aja di pengajian,” kata Bani menirukan ceplosan ibunya.

Salah satu peserta menilai bahwa penentuan genre dalam film, entah itu fiksi ataupun dokumenter, sebenarnya tak perlu terlalu dipusingkan. Keduanya bergantung pada pertanyaan yang sama, yakni realitas seperti apa yang hendak disajikan dalam film? Dalam dokumenter, meskipun merekam realitas, tetapi dalam praktiknya tak jarang pembuat film sengaja merekonstruksi cerita sehingga yang hadir adalah realitas baru. Hal yang sebetulnya menjadi penting dan esensial adalah bagaimana film tersebut dapat memberi pengaruh pada penonton. (Hesty N. Tyas)

 

Diliput pada 20 Oktober 2023 pada Lokakarya Tahap 1 IDOCLAB 2023 di DI Yogyakarta.