Di luar isu yang diangkat dalam dokumenter, Shalahuddin Siregar menegaskan bahwa pembuat film juga perlu sadar dengan bahasa gambar dan efek suara yang digunakan dalam karyanya. Ia mengajak peserta IDOCLAB untuk berandai-andai, bagaimana jika pembuat film sepenuhnya bergantung pada kehidupan protagonis yang dramatis dan justru mengesampingkan aspek sinematografi dan suara? Bahkan, jika film tersebut akhirnya sukses melenggang di festival dan mendapatkan berbagai penghargaan, bagaimana dengan keberlanjutan film-film berikutnya? Apakah pembuat film akan terus mengulangi pola yang sama dengan cara mencari protagonis yang hidupnya dramatis juga?
“Apakah kita harus selalu bergantung pada penderitaan orang yang menjadi protagonis untuk membuat film kita disukai?”
Dokumenter bukanlah film fiksi yang bisa terus dikarang-karang. Begitu subjek cerita berganti, bentuk dan tema dokumenter pun tak sama lagi. Semua dirancang dari nol kembali. Prosesnya harus dijahit dengan hati-hati. Penting bagi pembuat film dokumenter untuk mengetahui, mempelajari, dan betul-betul memahami aspek sinematografi serta suara untuk meningkatkan mutu film mereka. Sinematografi tidak sama dengan gambar cantik. Lebih dari itu, sinematografi merupakan bahasa gambar yang fungsional dalam mengomunikasikan pesan dan makna di dalam film.
Shalahuddin mengajak peserta IDOCLAB untuk menjelajahi sinematografi melalui literasi visual. Literasi visual merupakan kemampuan kritis untuk dapat memaknai gambar sehingga ide dan emosi yang diekspresikan melalui pilihan adegan, komposisi gambar, ritme, warna, dan tata cahaya di dalam film dapat tertangkap dengan baik oleh penonton. Kemampuan literasi visual pembuat film ekuivalen dengan kualitas film. Literasi visual menjadi penting karena beberapa hal. Pertama, untuk menyampaikan pesan secara efektif. Kedua, membuat proses produksi menjadi lebih efisien. Ketiga, memperkuat film ketika kisah protagonis yang disorot ternyata tidak dramatis. Keempat, menghindari film menjadi klise. Kelima, untuk menggambarkan karakter. Keenam, untuk menciptakan suasana. Ketujuh, untuk menemukan bahasa film.
Tiap film tentu memiliki kebutuhan dan pendekatan yang berbeda. Oleh karena itu, literasi visual yang perlu dipelajari pun juga harus disesuaikan. Namun, setidaknya terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman selama proses pembuatan film Pertama, kemampuan untuk memahami peristiwa. Pembuat film perlu memiliki kemampuan editorial thinking yang berarti dapat memproyeksikan keterhubungan dan kesadaran dengan kondisi di lokasi syuting sehingga mampu memaksimalkan potensi-potensi adegan selama di lapangan. Pembuat film semestinya dapat mengonstruksikan peristiwa di tempat agar produksi film dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Selain itu, pembuat film juga tidak akan kehilangan momen karena dengan bekal editorial thinking yang matang, ia dapat secara sadar, lembut, dan natural membuat momen tersebut.
Kedua, kemampuan mengarahkan persepsi untuk mengekspresikan ide dan emosi melalui teknik sinematik. Pembuat film mesti menyadari bahwa satu adegan pun penting untuk membangun semesta, suasana, sekaligus menunjukkan karakter dalam film. Adegan demi adegan penting untuk membangun ritme film. Kesemuanya harus bermakna dan berkesinambungan satu sama lain. Sinematik sepaket dengan suara.
Shalahuddin berbagi materi mengenai desain suara dalam dokumenter. Menggunakan kasus studi film berjudul Octopus (Karim Kassem, 2021), Shalahuddin mengajak peserta untuk merasakan dan mengamati kekuatan bahasa dan suara dalam film tersebut. Octopus (2021) tidak bergantung pada bahasa verbal. Hanya ada sedikit percakapan di dalam film berdurasi 64 menit tersebut. Namun, gambar yang dihadirkan dalam film telah berhasil bercerita tanpa perlu keterangan eksplisit yang panjang dari karakter di dalam film. Dalam dokumenter, suara yang berkualitas tinggi, efek suara yang relevan, serta musik yang sesuai akan mengeskalasi imersi dan emosi penonton. Elemen-elemen dalam desain suara di antaranya seperti dialog, musik, efek suara, dan lingkungan suara (soundscape). Dengan demikian, Shalahuddin menganggap film ini berhasil dari segi sinematik dan desain suaranya.
Pada akhirnya, bahasa gambar dan desain suara dalam dokumenter bertujuan untuk membantu pembuat film meneriakkan makna dalam karyanya secara lantang, meski tanpa sebuah pelantang.
Diliput pada 19 Oktober 2023 pada Lokakarya Tahap 1 IDOCLAB 2023 di DI Yogyakarta.