Mengulik Sisi-Sisi Segudang Wajah: Sesi Tanya-Jawab bersama I Gde Mika

— Berita
FFD 2022

Yogyakarta, 17 November 2022 – Sutradara I Gde Mika hadir di tengah-tengah penonton seusai penayangan film dokumenternya yang berjudul Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (2022) di Gedung ex Bioskop Permata. Selama 91 menit, penonton diajak untuk menyaksikan kolase sejarah sinema Indonesia di masa Orde Baru; masa di mana sensor masih beroperasi dengan ketat dalam mengatur serta menjaga narasi yang boleh dan tidak boleh ditampilkan di layar kaca.

Sesi tanya-jawab bersama penonton dimulai, berikut adalah rangkumannya: 

 

Apa maksud dari frasa segudang wajah dalam film ini?

Itu citra yang ikonik. Kita bisa mengimajinasikan citra, tapi kita nggak tahu sebetulnya itu wajah siapa. Ini interpretasi bebas yang menurut saya di Orde Baru itu sangat signifikan digambarkannya. Maka, di sini kami memilih sekumpulan wajah tanpa nama-nama. Jadi, nggak spesifik pada wajah tertentu.

 

Film ini dapat membedah film-film di Orde Baru secara tekstual. Bagaimana proses pembuatan filmnya? Berawal dari mana dan kenapa struktur penceritaannya seperti itu?

Sebenarnya, ketika film sudah ditayangkan, dia sudah sepenuhnya menjadi milik penonton. Kita nggak bisa menghakimi apakah itu salah atau benar. Tapi, kalau diminta untuk menjelaskan prosesnya, sebenarnya kami nggak menetapkan apa yang mau mulai duluan; apakah dari ide, observasi, atau teks duluan. Semuanya berjalin secara paralel. Di dalam film ini, ada banyak peralihan yang muncul secara simultan. Kita mengobservasi dulu apa narasi yang dominan, lalu apa gejala di era itu, citra mana yang dominan? Kita memetakan struktur filmnya lalu membaca konteks historisnya bagaimana, lalu kita menyusun idenya. Jadi ini seperti film detektif, kita hanyut dalam pencarian itu.

 

Keresahan apa yang muncul sehingga film ini bisa terbentuk?

Sebenarnya sederhana, bukan dari keresahan saya. Saya sering ngobrol sama kawan-kawan, terus notice kenapa jarang menyebutkan sinema di Indonesia. Ada apa, sih, di sana? Sebenarnya berawal dari diskusi kecil itu, kemudian menjadi rutin, kemudian lama-lama berlanjut. Kok kayaknya ada yang missing ya dari sinema Indonesia?

 

Esai film mengandung banyak literatur. Berapa lama proses pengumpulan data untuk esai film ini?

Kalau tanya tentang waktunya, sih, kita ngerjain film ini sampai 1,5 tahun. Nonton film-film masa Orde Baru dulu. Mengamati tanpa ada andaian atau prakonsep. Apa sih yang absen atau luput dari sana? Baru kemudian mencari tahu, kok bisa, sih, ini begini-begitu? Jadi, pertanyaan-pertanyaan itu yang kami kumpulkan. Titik mula kita bukan berangkat karena saya mau ngomongin ini nih, karena ini penting bagi masyarakat, tapi lebih ke kok bisa, sih, ada kemunculan atau gejala ini? Dari situlah kita mulai mencari.

Film ini adalah film tanpa shooting, karena isinya potongan film-film di masa Orde Baru. Bagaimana proses kurasi film ini? Apakah ada film yang ingin kalian masukkan, tapi belum dapat aksesnya?

Metode kita lebih ke diagram. Misalnya kita lihat horizontalnya bagaimana atau paradigmanya seperti apa. Kita membacanya secara vertikal, horizontal, atau paradigma. Ada kombinasi di sana. Terus, pasti ada banyak film yang di-list tapi nggak ketemu. Ada banyak film yang akhirnya nggak dimasukin juga.

 

Di awal banyak bahas soal jemuran. Boleh dijelaskan, apa signifikansi adegan jemuran terhadap Orde Baru?

Jemuran itu seperti citra yang signifikan. Dia menyambung Orde Lama dengan Orde Baru. Jadi, kita ambil jemuran sebagai jembatan penghubung. Kita kayak membedah dan menganalogikan, kain yang dicuci apa bedanya sama layar yang digantung di sini, gitu. Bermain dengan konsepsi. Kalau pemaknaannya  sendiri, bergantung pada masing-masing penonton.”

 

Seperti sinema, jemuran butuh cahaya.”, dari mana inspirasi quote itu?

Sebenarnya yaaaaaaaaaa, bermain asosiasi dari berbagai objek yang berbeda lalu apa kesamaannya. Bicara sinema tapi bukan sinema sebagai sinema, melainkan jemuran yang dijemur butuh cahaya, nah itu film, puisi. Bukan saya bilang esai saya puitis, tapi kami bermain dengan itu. Esai, puisi, kombinasi keduanya, kemudian baru visual.

 

Apakah ada ketakutan tersendiri ketika dalam film ini menyinggung/mengkritik ideologi/pihak/kelompok yang disinggung dalam film ini?

Di situlah permainan seni, itu tantangannya. Ini bisa kita samakan dengan semacam komedi. Di mana dia mengkritik sesuatu tapi sekaligus menetralisir apa yang mau dikritik itu. Menurut saya, seni itu bermain di ranah spekulasi yang seperti itu, khususnya di film esai, di mana kita bermain dengan citra-citra yang sudah punya paten. Seni yang sublim istilahnya; gimana bicara sesuatu yang sensitif di dalam masyarakat dan membongkarnya dengan permainan-permainan yang dalam arti bukan tipu muslihat, tapi membongkarnya dengan cara yang estetis.