Usai menonton dokumenter Roda-Roda Nada (Yuda Kurniawan, 2022) yang berdurasi selama 98 menit, Shalahuddin Siregar memulai sesi penyampaian materi sekaligus diskusinya dengan para peserta IDOCLAB 2023. Film dokumenter panjang tersebut ia jadikan pemantik sekaligus pengantar bagi materi Elemen Film yang telah disiapkannya.
Shalahuddin membuka materi dengan menguraikan pengertian dari cerita. Ia menyampaikan bahwa cerita dalam konteks ini merupakan serangkaian peristiwa yang disusun untuk menyampaikan pesan atau gagasan tertentu. Shalahuddin mengingatkan para peserta bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah cerita ketika ada perkembangan alur di dalamnya. Ada pergerakan atau perpindahan dari satu titik ke titik yang lain dan bukan hanya penggambaran suatu situasi.
Selanjutnya, sebagai suatu cerita, film wajib memiliki tema. Tema memberi fokus pada plot dan karakter di dalam cerita. Tema menjadi nafas bagi berbagai unsur faktual dan detail visual di dalam film yang letaknya sejajar dengan makna. Dengan demikian, film yang baik adalah film yang dapat mengomunikasikan makna yang terkandung di dalamnya tanpa mengatakannya secara gamblang. Selain itu, pembuat film juga perlu memperhatikan pentingnya proyeksi dalam pembuatan film. Proyeksi yang dimaksud adalah kemampuan pembuat film dalam menceritakan hal kecil untuk menunjukkan hal yang bermakna lebih besar.
Pada sesi pembukaan IDOCLAB sebelumnya, Shalahuddin sempat meminta peserta untuk menuliskan film dokumenter favorit mereka. Pada sesi materi Elemen Film ini, ia menampilkan deretan judul dokumenter yang telah dituliskan oleh para peserta dan meramu satu formula cerita yang menurutnya menjadi dasar cerita bagi film-film tersebut. Formula tersebut dirangkumnya menjadi satu kalimat, yakni, “Seseorang menginginkan sesuatu, tetapi kesulitan untuk mendapatkannya.”
Formula cerita yang demikian tentu memiliki kekurangannya tersendiri, yakni mudah diprediksi, monoton, kehilangan kejutan, dan terkesan klise. Untuk mengatasinya, Shalahuddin menegaskan, pembuat film perlu cermat dalam membuat karakter yang menarik, seraya memperhatikan kedalaman cerita, keunikan perspektif, dan juga pengoptimalan elemen audiovisual sebagai unsur penting dalam film.
Lebih lanjut, Shalahuddin memaparkan setidaknya terdapat dua teknik penceritaan yang dapat digunakan dalam media tutur film dokumenter. Dua teknik itu adalah story driven, yakni penceritaan yang menekankan pada plot dan peristiwa cerita sebagai fokus utama, serta character driven yang lebih menonjolkan karakter cerita. Keduanya tentu memiliki keunggulan tersendiri. Teknik story driven dinilai lebih efektif dalam menguraikan ide, pesan, atau tema yang kompleks secara lebih terstruktur. Sementara itu, teknik character driven dapat lebih efektif dalam menciptakan empati dan hubungan personal antara penonton dengan karakter cerita.
Selanjutnya, pembahasan bergeser masuk pada elemen-elemen film. Sebagai permulaan, Shalahuddin mendaratkan materinya pada plot. Dalam plot cerita, perlu adanya hubungan kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Hubungan sebab-akibat tersebut fungsional membantu penonton dalam memahami cara peristiwa demi peristiwa saling berkesinambungan dan berdampak bagi satu sama lain. Tanpa hubungan ini, dokumenter akan menjadi kumpulan peristiwa yang tidak teratur dan sulit dimengerti oleh penonton.
Salah satu unsur dalam plot yang tak boleh luput diperhatikan ialah konflik. Konflik menimbulkan ketegangan di dalam alur. Ketegangan ini dihasilkan dari pertentangan-pertentangan yang dihadapi oleh karakter utama dalam usahanya meraih tujuan tertentu di dalam cerita. Konflik dapat terjadi di dalam diri karakter (internal), antarkarakter (eksternal), atau dengan lingkungan di sekitar karakter. Dalam konteks dokumenter, konflik dapat menyaran pada benturan antara ide, konsep, atau elemen-elemen visual di dalam film.
Elemen film lain yang tak kalah penting adalah karakter. Karakter merupakan subjek yang dikenai dan menjalani berbagai peristiwa di dalam cerita. Ia mengemban plot. Karakter dapat berupa individu, makhluk, atau entitas. Karakter tak hanya soal nama tokoh, tetapi juga soal kepribadian, sifat, sikap, atau ciri fisik tertentu yang membuatnya menonjol dan menarik di mata penonton. Karakter yang kuat mampu menghidupkan ikatan emosional antara penonton dengan karakter dalam dokumenter.
Terdapat beberapa hal yang perlu diingat dan menjadi perhatian mengenai karakterisasi. Pertama, karakter yang ditampilkan sebaiknya tidak mutlak hanya dalam satu aspek, satu dimensi, dan hitam atau putih saja. Kedua, perlu ada kontradiksi dalam perilakunya. Ketiga, karakter mempunyai mimpi dan secara aktif berusaha untuk meraihnya. Keempat, di sisi lain, ia tetap merasakan dilema dan takut dalam usahanya meraih impian tersebut.
Dalam mendeskripsikan karakter, tak jarang ditemukan adanya pertentangan ego dalam diri pembuat film dengan karakter dokumenter. Untuk menghadapi hal tersebut, pembuat film perlu mengatur sudut pandang sehingga sesuai dengan sudut pandang karakter yang ada di dalam dokumenter. Selain itu, pembuat film perlu jeli agar tidak terjebak dalam membingkai karakter melalui sudut pandangnya sendiri. Apabila sudut pandang antara karakter dengan pembuat film ternyata berbeda, perlu usaha lebih dalam untuk mencari titik temu antara keduanya.
Lebih jauh, Shalahuddin juga menyoroti perihal pendekatan. Ia menyampaikan bahwa pilihan pendekatan dalam film dokumenter bergantung pada tujuan, jenis cerita, dan pesan yang hendak dibawa oleh film tersebut. Setiap pendekatan dapat menghasilkan pengalaman yang berbeda bagi masing-masing penonton. Tak jarang, pembuat film menggabungkan berbagai pendekatan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Selain pendekatan, cara sutradara melihat dan menyajikan topik atau subjek di dalam film juga perlu disimak. Ini menyangkut perspektif. Terkadang, perspektif dapat mencakup ideologi atau pandangan dunia sang pembuat film. Untuk menguatkan perspektif, pembuat film perlu untuk membangun tone. Tone merupakan suasana atau perasaan yang diciptakan oleh film yang diekspresikan melalui gambar, suara, hingga narasi atau diksi. Apabila elemen-elemen dalam film tersebut dirangkum, kiranya dapat diilustrasikan menjadi sebuah piramida bentuk terbalik. Puncak piramida adalah tema. Di bawahnya, secara mengerucut, terdapat berbagai elemen lain, seperti perspektif, cerita dan pendekatan, serta plot dan karakter. (Hesty N. Tyas)
Diliput pada 16 Oktober 2023 pada Lokakarya Tahap 1 IDOCLAB 2023 di DI Yogyakarta.