Hari kedua Lokakarya Tahap Pertama IDOCLAB 2023 diawali dengan sesi diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang dipandu langsung oleh Shalahuddin Siregar. Shalahuddin mengawali diskusi dengan pertanyaan pemantik, “Di mana posisi dokumenter Indonesia saat ini?”. Ia mengajak seluruh peserta untuk menjelajahi peta dokumenter Indonesia dan melihat gambaran besarnya melalui kutipan pernyataan dari Amelia Hapsari, Direktur Program In-Docs, sebagai berikut,
“Meskipun dengan berat hati, tetapi kita semua harus bersama mengakui, bahwa perkembangan film dokumenter di Indonesia masih amat tersendat—bila dibandingkan dengan film fiksi atau animasi. Amat banyak faktor yang biasanya dituding sebagai penyebab, tapi marilah kita sebagai penggerak dan juga pembuat film dokumenter melakukan sesuatu yang paling tidak menawarkan sebuah langkah baru untuk mendorong lebih kayanya dunia film dokumenter Indonesia.” – Amelia Hapsari (DIGDoc, 2014)
Faktor apa yang membuat dokumenter Indonesia dikatakan tidak berkembang?
Berangkat dari pernyataan di atas, Shalahuddin melemparkan pertanyaan kepada forum. Ia meminta para peserta menjawabnya sesuai dengan pengalaman, pemahaman, dan konteks lokalnya masing-masing. Berikut adalah rangkuman jawaban peserta.
Salah satu peserta merasa bahwa isu-isu yang diangkat dalam dokumenter Indonesia tak jarang terasa sangat berjarak dengannya. Keberjarakan itulah yang kemudian membuatnya sulit terhubung dengan tema yang diangkat dalam dokumenter. Sebagai alternatif, pembuat film perlu memikirkan gaya penceritaan lain yang lebih relevan dan pas dengan jangkauan pemahaman penonton pada umumnya.
Peserta yang lain berpendapat bahwa faktor utama yang membuat dokumenter Indonesia tidak berkembang adalah kurangnya variasi, baik itu dari segi tema maupun bentuk. Kedalaman dan kesabaran dalam berproses untuk dapat menyelami subjek dan menemukan variasi penceritaan yang lain perlu diasah oleh para pembuat film dokumenter. Terkadang, pembuat film merasa sudah nyaman bergerak di tema atau bentuk yang telah lama dijejakinya sehingga kemauan untuk terus mengulik keragaman dalam dokumenter menjadi kurang.
Peserta berikutnya menyebutkan bahwa di wilayah Indonesia bagian timur, akses terhadap referensi dokumenter masih terbatas. Di sana, festival film tidak setiap tahun terselenggara seperti halnya di Jawa. Sekalipun ada, tidak banyak penikmat dan pembuat film yang berkesempatan untuk ikut serta. Selain itu, tidak banyak juga yang rela untuk merogoh kantong demi menonton dokumenter lewat laman-laman streaming film. Alasan keterbatasan akses terhadap referensi turut diamini oleh peserta lain. Hal itu dianggap menjadi salah satu faktor utama pendorong keringnya perspektif dalam dokumenter Indonesia. Untuk itu, adanya program lokakarya seperti IDOCLAB ini dirasa penting karena dinilai mampu menjawab kebutuhan pembuat film akan referensi dokumenter yang lebih variatif, baik dari segi tema maupun bentuk.
Pasar dokumenter di Indonesia juga dirasa kurang luas. Pembuat film terkadang kebingungan hendak membawa proyek dokumenternya ke mana. Dalam hal ini, ruang-ruang diskusi dan apresiasi perlu diperlebar lagi. Kolektif khusus yang bertujuan untuk mendistribusikan dokumenter pun juga perlu diperbanyak. Tidak hanya terpusat di kota-kota besar, tetapi juga tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Untuk mewujudkannya, tentu butuh proses, tenaga, biaya, dan waktu yang lama.
Menurut peserta lain, faktor eksternal juga memainkan peranan penting dalam membuat penjelajahan dokumenter di Indonesia tersendat. Di daerah asalnya, Indonesia bagian timur, masyarakat tak terlalu berminat menyaksikan dokumenter karena merasa bosan ketika menonton. Kemasan dokumenter yang dinilai tak semenarik sinetron pun membuat ruang-ruang apresiasi dokumenter cenderung sepi. Mereka hanya akan tertarik apabila ada seseorang yang dikenalnya muncul dalam tayangan film.
Apa tolok ukur kesuksesan film dokumenter di Indonesia?
Setelah mengarungi faktor penyebab macetnya perkembangan dokumenter di Indonesia, Shalahuddin Siregar kembali melemparkan pertanyaan pemantik kedua. Shalahuddin meminta mereka untuk merumuskan tolok ukur kesuksesan sebuah film dokumenter. Apa yang menjadi patokan?
Jawabannya tentu tak tunggal. Menentukan tolok ukur film dokumenter merupakan agenda yang kompleks. Ada beragam variabel yang mesti diperhitungkan. Salah satu peserta menjawab, keberhasilan dokumenter utamanya dapat dilihat dari jumlah penonton. Hal ini didasari oleh keyakinan sekaligus kenyataan bahwa film dibuat untuk ditonton. Dengan begitu, semakin banyak penonton, semakin sukses pula film tersebut. Peserta yang lain menyebut bahwa festival film dapat juga digunakan sebagai tolok ukur.
Pendapat-pendapat tersebut tidak salah. Namun demikian, Shalahuddin menandaskan, yang semestinya menjadi tolok ukur kesuksesan dokumenter adalah kepuasan pembuat film terhadap hasil karyanya sendiri. (Hesty N. Tyas)
Diliput pada 16 Oktober 2023 pada Lokakarya Tahap 1 IDOCLAB 2023 di DI Yogyakarta.